Sejak awal kemunculannya, fenomena Artificial Intellegence (AI) telah memantik debat panjang bagi banyak kalangan. Mulai dari para ahli teknologi, para ilmuwan sosial, agamawan, pemerintah, swasta, sampai masyarakat umum.
Ada setidaknya dua narasi yang berkembang terkait fenomena AI ini. Pertama, adalah narasi yang berpandangan optimis. Narasi ini berkeyakinan bahwa kemunculan AI adalah capaian terbesar manusia dan akan membawa peradaban modern ke arah yang lebih baik.
Pandangan ini terutama diusung oleh para ahli teknologi dan para para pelaku dunia ekonomi yang meyakini bahwa AI bisa menjadi solusi atas berbagai problem sosial-ekonomi yang selama ini menghantui manusia.
Kedua, narasi yang berpandangan pesimis terhadap AI, karena dianggap akan menimbulkan berbagai persoalan baru. Sejumlah pemerintah dari negara-negara berkembang misalnya mengkhawatirkan penggunaan AI akan menggeser peran manusia dan pada akhirnya melahirkan gelombang pengangguran baru. Belum lagi fakta bahwa AI bisa menghadirkan ancaman baru bagi keamanan dan pertahanan sebuah negara.
Kekhawatiran yang sama dirasakan oleh tokoh dan umat beragama yang beranggapan peran AI bisa mendistorsi ajaran agama. Lebih jauh, para tokoh agama mengkhawatirkan AI digunakan oleh kelompok ekstremis untuk menyebarkan ideologinya.
Optimalisasi AI oleh Kelompok Ekstrem
Kekhawatiran itu ironisnya mulai terbuktikan belakangan ini manakala sejumlah kelompok ekstremis seperti ISIS dan Al Qaeda mulai menggunakan AI sebagai alat propaganda mereka. ISIS sejak awal sudah menggunakan berbagai piranti kecerdasan buatan untuk memproduksi konten propaganda. Sedangkan Al Qaeda belakangan ini gencar mensosialisasikan AI ke anggota dan simpatisannya di seluruh dunia.
Dalam laporan bertajuk Algorithm and Terrorism, yang dikeluarkan oleh UNCCT (United Nation Counter-Terrorism Centre) dijelaskan bahwa dalam satu dekade terakhir terjadi peningkatan penggunaan AI oleh kelompok terorisme. Laporan itu menyebutkan bahwa ada potensi di masa depan, kelompok teror ini meng-upgrade senjata teror mereka dari konvensional (senapan, pistol, bom, dll) ke senjata digital (cyber-terrorism).
Namun, di saat yang sama laporan itu juga menyebut bahwa keberadaan AI sejatinya juga bisa dimanfaatkan untuk melawan gerakan terorisme itu sendiri. Dalam konteks pemberantasan terorisme, keberadaan AI memang dilematis. Di satu sisi, kemunculan AI menghadirkan ancaman baru. Misalnya teknologi deepfake yang dapat digunakan utuk memanipulasi wajah dan suara tokoh agama tertentu untuk (seolah-olah) menyebarkan pesan ekstremisme dan radikalisme.
Namun, di sisi lain, harus diakui bahwa kemunculan AI sebenarnya juga membawa peluang baru dalam pemberantasan terorisme. Misalnya, saat ini ada banyak aplikasi yang berfungsi untuk menyaring situs atau konten yang mengandung unsur radikalisme dan ekstremisme agama. Jika di-install di perangkat seperti laptop, komputer, atau HP, maka aplikasi itu akan secara otomatis memblokir situs atau konten yang mengandung unsur radikalisme dan ekstremisme agama.
Edukasi Umat Beragama
Jadi, kembali ke adagium klasik, bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat netral. Baik buruknya sesuatu itu bergantung pada pengguna alias manusia itu sendiri. Ketika fisikawan Oppenheimer menemukan “racikan” tepat untuk membuat bom atom yang lalu digunakan Amerika Serikat untuk membom Hirosima dan Nagasaki, banyak kalangan menganggap itu sebagai temuan yang mengerikan.
Namun, tidak sedikit kalangan yang menganggap bom atom buatan Oppenheimer itu justru berperan penting mengakhiri Perang Dunia 2. Bisa dibayangkan, jika tidak ada bom atom itu mungkin perang akan terus berlanjut. Itu artinya, jumlah korban diperkirakan justru akan lebih banyak ketimbang korban bom atom tersebut.
Jadi, kembali ke pertanyaan retoris pada judul di atas, apakah kemunculan AI ini akan menjadi peluang atau justru ancaman baru bagi pemberantasan terorisme? Jawabannya adalah tergantung siapa yang paling dominan menguasai AI.
Jika AI dominan dikuasai kelompok ekstremis, besar kemungkinan teknologi itu akan menjadi ancaman baru bagi pemberantasan terorisme. Sebaliknya, jika kaum moderat menguasai AI, maka hal itu akan sangat menguntungkan bagi pemberantasan terorisme.
Pekerjaan rumah yang berat bagi kita pemerintah, lembaga, dan tokoh agama saat ini adalah bagaimana membangun kesadaran umat tentang keberadaan AI. Banyak umat beragama, terutama generasi baby boomer (berusia 50 tahun ke atas) yang belum memiliki awareness terhadap teknologi baru ini.
Sehingga tidak jarang, mereka gagal membedakan mana konten yang original dan konten yang sudah dipoles dengan teknologi AI generative. Alhasil, mereka kerap termakan oleh konten yang misinformatif atau bahkan menyesatkan. Mengedukasi umat beragama akan karakteristik AI, berikut produk turunannya dan sisi negatifnya adalah hal yang mutlak harus dilakukan.
Di saat yang sama, pencegahan dan pemberantasan terorisme kiranya juga tidak bisa menggunakan cara-cara konvensional, melainkan adaptif pada teknologi AI. Propaganda ekstremisme berbasis AI harus diredam dengan narasi moderasi yang juga mengoptimalkan teknologi AI. Dengan begitu, algoritma digital kita tidak akan dikuasasi oleh kelompok ekstremis saja.