Era AI dan Radikalisme Sebagai Pseudo-Ideology

Era AI dan Radikalisme Sebagai Pseudo-Ideology

- in Narasi
81
0
Era AI dan Radikalisme Sebagai Pseudo-Ideology

Ideologi adalah sebuah perkara yang benar-benar telah selesai. Bukan karena tingkat kecerdasan orang yang makin hari makin menurun, ketika kecerdasan itu dapat diukur dengan bagaimana orang dengan gamblang dapat memproyeksikan masa depan sekaligus menggapainya dengan langkah-langkah yang taktis, namun tuntutan zaman seolah memang tak menghendaki idealitas dan realitas itu dapat terpilah dan terpilih.

Gamblang, teknologi, yang menurut Heidegger merupakan “Enframing” atau pembingkai kehidupan, adalah “the first principle” yang konon mendasari setiap epos zaman, sebagaimana dulu alam di era kosmosentrisme klasik, Tuhan di era teosentrisme abad pertengahan, dan manusia di era humanisme modern.

Apa yang dikenal sebagai bentuk masyarakat industri 4.0, dimana teknologi seakan-akan sudah menggeser peran manusia, atau bahkan telah benar-benar mengenyahkan orang-orang yang gagap di dalamnya, merupakan konsekuensi logis dari revolusi industri 4.0 yang ditandai oleh teknologi-teknologi digital yang jelas-jelas, karena otomatisasi, belum mampu menggantikan peran nurani yang konon dimiliki oleh manusia sebagai “pandam” atau “obor alamiah” dalam menentukan apa yang dianggap benar atau salah, baik atau buruk—yang bagi sebagian orang merupakan harapan pada revolusi industri 5.0 mendatang (Sufisme dan Society 5.0, Heru Harjo Hutomo, www.berdikarionline.com).

Maka ideologi, yang konon memiliki karakteristik tak mengenal ruang dan waktu, bukanlah sebentuk ideologi lagi. Ia sudah bertransformasi menjadi sekedar semangat atau bahkan “hantu” yang adanya tak benar-benar ada—sebagaimana film “bokep” yang kepentingannya tak benar-benar penting.

Artificial Intelligence adalah salah satu karya puncak revolusi industri 4.0 yang terbukti mampu melumat kembali lidah-lidah ideologis, yang berarti, adalah kematian ideologi itu sendiri. Dalam tampilan terakhir, dengan menggunakan AI, seorang mantan imam besar IS, Abu Bakar al-Baghdadi, tiba-tiba muncul dan berceramah dalam sebuah video yang jelas-jelas adalah sebentuk TBC atau takhayul, bid’ah, churafat dalam ideologi klasik IS.

Dengan demikian, salah satu langkah yang barangkali terbilang efektif untuk melawan propaganda radikalisme dan terorisme digital adalah dengan menyadari bahwa teknologi itu dengan sendirinya akan mendeideologisasikan mereka. Sebab, logika teknologi dan logika ideologi pada dasarnya adalah laiknya sebuah kondisi sedang bermain gitar dan berbicara tentang permainan gitar.

Maka, Heidegger, dalam Discourse on Thinking (Menyulam yang Terpendam: Kesusastraan, Sejarah, dan Filsafat Keseharian, Heru Harjo Hutomo, Bintang Semesta Media, Yogyakarta, 2022), ketika menyikapi dominasi teknologi, menyajikan sikap “Gelassenheit” dan “Offenheit” karena sejarah manusia adalah sejarah tentang penyingkapan Ada (Being). Jadi, pada dasarnya, dalam logika Heidegger, manusia sebagai agen hanyalah buah dari khayalan bahwa manusia adalah pusat dari kosmos yang telah terbantahkan, bahwa manusia sebagai pengada yang menentukan Ada. Padahal, dengan memperhatikan keterseokan manusia atas perkembangan teknologi, justru manusia sebagai pengada itu ditentukan oleh Ada.

Dengan demikian, orang memang tak dapat menghindar dari teknologi yang memang bersifat membingkai, namun karena teknologi adalah salah satu fase saja dalam sejarah penyingkapan Ada, maka harapan akan senantiasa ada dan inilah yang kini diangankan oleh sebagian orang: munculnya revolusi industri 5.0 yang melahirkan bentuk masyarakat 5.0 yang konon akan mengembalikan peran manusia meskipun sebatas pada aspek pengarahannya.

Facebook Comments