Dipanegara dan Dakwah-Dakwah Kultural Warisannya

Dipanegara dan Dakwah-Dakwah Kultural Warisannya

- in Tokoh
639
0
Dipanegara dan Dakwah-Dakwah Kultural Warisannya

Seusai 1830, jauh sebelum KH. Hasyim Asy’ari merumuskan apa yang kini dikenal sebagai “nasionalisme religius,” pada dasarnya sikap keberagamaan yang bersifat autochthonous atau berpijak pada tempatnya berada sudah diteoritisasikan sekaligus dipraksiskan oleh Pangeran Dipanegara dan laskar-laskarnya (Jejak Dipanegara dalam “Ilmu Pujian Roso Sampurno”, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Perang Jawa, atau juga disebut sebagai “Perang Sabil,” yang barangkali juga mengilhami peristiwa 10 November yang berasal dari fatwa jihad KH. Hasyim Asy’ari, dalam sejarah ideologi bangsa Indonesia ternyata adalah juga sepotong zaman dimana ideologi yang berbau keagamaan bersenyawa dengan ideologi kebangsaan. Hingga, pada derajat ini, sebuah sikap membela bumi yang dipijak tak dapat dipisahkan dari sikap membela agama.

Saya pribadi pernah meneliti bahwa seusai Perang Jawa, Dipanegara dan laskar-laskarnya tidaklah kabur atau bahkan lenyap dari catatan-catatan sejarah mainstream. Ternyata “Perang Jawa” atau “Perang Sabil” dan para pengikut Pangeran Dipanegara itu masih lestari hingga kini. Jejak mereka hingga detik ini dihidupkan oleh tarekat-tarekat atau gerakan-gerakan spiritual yang semuanya bermuara pada konteks Perang Jawa.

Perang Jawa sendiri, pada masanya, adalah juga semacam masa “kodifikasi” gerakan-gerakan spiritual pada awal abad ke-19. Di situ, dari sisi ilmu tarekat, aurad atau wirid-wirid yang jelas-jelas berasal dari luar Nusantara, yang lazimnya berbahasa Arab, mengalami transformasi menjadi apa yang dihari ini disebut sebagai “kawruh” yang menggunakan bahasa Jawa dan juga Sunda, yang sanadnya juga bersambung pada nama-nama seperti Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, dan juga Ibn ‘Arabi.

Telah menjadi rahasia umum bahwa Pangeran Dipanegara sendiri adalah penganut tarekat Syatthariyah sebagaimana kemudian keluarga besar Ronggawarsita di Surakarta. Dan dalam catatan Bruinessen, tarekat yang dinisbahkan pada Syekh Abdullah al-Syatthar itu, adalah tarekat yang paling mempribumi.

Pada masa perang Jawa itulah Syatthariyah digabungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah yang kemudian menjadi tarekat Akmaliyah, sebuah tarekat yang khas Perang Jawa dan para pengikut Dipanegara. Seusai Perang Jawa, ketika Dipanegara dan para pengikutnya betul-betul diburu oleh Belanda, maka Akmaliyah ini bertransformasi menjadi gerakan-gerakan dengan kemasan-kemasan yang sama sekali lain dari pada masa Perang Jawa.

Di wilayah pedalaman Jawa bagian Timur, tarekat Perang Jawa ini bertransformasi menjadi Paguyuban Purwaning Dumadi Kasampurnan Kautaman (PDKK) yang, bagi para pengikutnya, dibabarkan oleh mantan senapati perang sekaligus paman Pangeran Dipanegara, Eyang Jimat Suryangalam Tambaksegara. Sementara, di pulau Jawa bagian Timur lainnya, tarekat Perang Jawa itu bertransformasi menjadi Pirukunan Ayu Mardi Utomo (PAMU) yang dibabarkan oleh sang cucu penasehat perang Dipanegara yang juga seorang pahlawan nasional, Nyi Ageng Serang. Sang cucu Nyi Ageng Serang, yang merupakan hasil besanan dengan Hamengku Buwana II itu, dikenal sebagai Pangeran Papak.

Tak sekedar berdiaspora ke pedalaman atau pedesaan Jawa, tarekat Perang Jawa itu, yang kumandang dengan nama Akmaliyah, juga merambah dan bersifat samar di keraton-keraton Jawa dan pesantren. Maka, adakah “nasionalisme religius” yang notabene dicetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari benar-benar muncul dari kekosongan sejarah mengingat Akmaliyah sendiri juga berdiaspora ke banyak pesantren meskipun samar?

Semboyan “Hubbul waton minal iman” yang menjadi ruh dari ideologi nasionalisme religius itu, pada masa Perang Jawa, sekedar diungkapkan dengan ungkapan “Sir Elor maujud ono Kidul.” Bahkan, saya kira, di tangan para orang yang terang-terang merupakan sisa-sisa Perang Jawa, konsep “sir” ternyata jauh lebih dalam daripada konsep “hubbun” yang mendasari jargon “Hubbul waton minal iman.” Jika “hubbun” hanyalah sebentuk perasaan, maka “sir” adalah sebentuk makhluk.

Dengan demikian, tanpa perlu berkoar-koar “aswaja”, saya kira dakwah keislaman ala Pangeran Dipanegara beserta dengan para pengikutnya sudah secara otomatis akan tetap bersenyawa dengan Bumi dimana ia dipijak. Bukankah konon manusia itu juga berasal dari anasir Bumi, dimana ketika Bumi asalnya berbeda secara otomatis sang Bumi akan pula menampiknya?

Facebook Comments