Aswaja dan Dalil Mencintai Agama dan Negara

Aswaja dan Dalil Mencintai Agama dan Negara

- in Narasi
445
0
Aswaja dan Dalil Mencintai Agama dan Negara

Ahlussunah wal Jamaah, selanjutnya disebut Aswaja, adalah paham keagamaan inklusif dalam agama Islam yang merupakan esensi dan substansi ajaran Islam itu sendiri. Tegas kata, Aswaja adalah Islam itu sendiri. Maka bisa dikatakan, Aswaja adalah mayoritas umat Islam sepanjang masa dan zaman. Kelompok lain menyebut mereka dengan “al ‘ammah” (orang-orang umum) atau “al Jumhur”, sebab lebih dari 90 % umat Islam memiliki cara pandang keagamaan berpaham Aswaja.

Hal ini sesuai dengan jawaban Nabi saat beliau ditanya: “siapa kelompok Aswaja”? Jawaban beliau: “mereka yang mengikuti ajaranku dan para sahabatku”. Sampai sekarang ajaran dari Nabi, sahabat, tabi’in dan pengikut tabi’in tetap bertahan berkat jasa para ulama salaf yang mengkodifikasikan tradisi beragama tiga generasi umat Islam era awal dalam berbagai karya-karya. Inilah yang disebut sanad dalam agama.

Salah satu yang menjadi ciri khas (khshaish) penganut paham keagamaan Aswaja adalah konsep final tentang kewajiban mencintai tanah air. Istilah “Hubbul wathan minal iman” atau cinta tanah air bagian dari keimanan merupakan terjemahan dari beberapa ayat al Qur’an hadits Nabi.

Allah berfirman: “Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) al Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali”. (Al Qashash: 85).

Fakhruddin al Razi dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib mengatakan, terdapat ragam penafsiran tentang “tempat kembali” (ma’ad) dalam ayat di atas. Ada yang menafsirkan dengan Makkah, akhirat, kematian dan hari kiamat. Menurut al Razi, penafsiran yang paling mendekati kebenaran adalah Makkah.

Ismail Haqqi al Hanafi dalam Ruhul Bayan menulis, pada ayat di atas terdapat petunjuk dan isyarat bahwa cinta tanah air sebagian dari iman. Makkah yang merupakan tempat kelahiran Rasulullah sering beliau sebut ketika hijrah ke Madinah. Seringkali beliau menyebut “tanah air, tanah air”, sampai akhirnya Allah mengabulkan permohonan beliau, mengembalikan lagi ke Makkah.

Pada ayat yang lain dikatakan: “Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik): ‘bunuhlah diri kamu, atau keluarlah dari kampung halaman kamu’, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka”. (an Nisa: 66).

Wahbah al Zuhaili dalam al Munir fil Aqidah wal Syari’ah wal Manhaj, beliau mengatakan bahwa beratnya meninggalkan kampung halaman setara dengan bunuh diri. Begitulah gambaran beratnya seseorang ketika akan hijrah meninggalkan tempat kelahiran.

Begitu pula yang dialami oleh Nabi, kecintaan beliau terhadap tanah air begitu tinggi. Sebagaimana diceritakan oleh sahabat Anas, Rasulullah setiap kembali dari suatu perjalanan, dan melihat dinding-dinding kota Madinah, beliau mempercepat hewan tunggangannya karena kecintaan beliau terhadap Madinah. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ibnu Hibban dan Turmudzi.

Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari menyimpulkan, hadits di atas menjadi dalil akan keutamaan kita Madinah, perintah mencintai tanah air dan rindu akan tanah air. Pendapat senada disampaikan oleh Badruddin al Aini dalam kitabnya Umdatul Qari Syarah Shahih Bukhari, Imam Jalaluddin al Suyuthi dalam Al Tausyikh Sayarah Jami’us Shahih dan Al Mubarakfuri dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi Syarhut Tirmidzi.

Kecintaan Rasulullah terhadap tanah air juga tergambar dari riwayat Suhaily dalam hadits (tentang) Waraqah. Saat itu, Waraqah berkata kepada Rasulullah, bahwa suatu saat nanti beliau akan didustakan. Mendengar hal itu beliau diam tanpa reaksi. “Engkau juga akan disakiti”, kata Waraqah berikutnya, beliau juga diam seolah-olah hal itu tidak berarti baginya. Namun pada saat Waraqah berkata: “Engkau akan diusir”, beliau berkata: “Apakah mereka akan mengusirku”?

Ada beban berat pada diri Nabi manakala suatu saat nanti beliau akan diusir dari kampung halaman. Berdasarkan hal itu, menurut Al Suhaily, bahwa hadits di atas jelas sebagai dalil wajibnya mencintai tanah air.

Dengan demikian, mencintai tanah kelahiran adalah syariat Islam. Hubbul wathan minal iman memang bukan hadits, namun terjemah dari beberapa hadits Nabi. Disamping itu, mencintai tanah air merupakan tabiat alamiah setiap manusia. Seindah apapun negeri lain tempat kelahiran akan terasa lebih indah dan menyenangkan.

Inilah yang kemudian menjadi pedoman Aswaja tentang konsep cinta tanah air. Bahwa, cinta tanah air adalah bagian dari iman dan merupakan kewajiban. Sudah benar apa yang diimani oleh mayoritas umat Islam di Indonesia, cinta tanah air atau nasionalisme adalah keharusan. Apalagi, Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 45 sangat mencerminkan ajaran Islam. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seluruhnya tidak bertentangan dengan prinsip universal ajaran Islam.

Kalau kemudian ada sebagian kecil umat Islam mengatakan NKRI thagut, hal itu merupakan cerminan keberagamaan yang salah, nihil ilmu agama dan menjadi ciri umat Islam yang tidak Aswaja. Siapapun mereka, dari keturunan siapa, harus belajar kembali tentang Aswaja sebagai warisan Nabi dan ulama salafus shalih. Beberapa orang yang kembali kepangkuan Aswaja sebagai bukti kuat paham keagamaan yang selama ini cenderung radikal dan eksklusif merupakan cara beragama keliru, jauh dari tradisi keberagamaan yang dicontohkan Nabi.

Facebook Comments