Distorsi Makna Jihad dan Kepatuhan Pada Orang Tua

Distorsi Makna Jihad dan Kepatuhan Pada Orang Tua

- in Keagamaan
1662
0

Di media online kini beredar propaganda yang mengajak anak-anak muda untuk ikut berjihad tanpa harus meminta izin kepada kedua orang tua, bahkan menganggap jihad itu sebagai fardhu ain di mana setiap orang harus ikut melakukannya dengan asumsi bahwa wilayah-wilayah Islam kini tengah dikuasai oleh orang-orang musyrik, sehingga izin kepada kedua orang tua untuk turun ke medan perang dapat ditinggalkan. Termasuk wilayah yang dianggap penuh dengan orang musyrik adalah Indonesia, negeri ini diyakini dikuasai oleh orang-orang musyrik yang harus diperangi.

Entah dari mana kelompok radikal terorisme mendapat pemahaman yang kacau seperti itu, dalil dan buku apa gerangan yang mereka baca hingga pemahaman terkait jihad terdengar begitu picik dan jahat. Pahaman jihad semacam ini jelas salah dan tidak berdasar, mereka membabi buta dan berani mempelintir semua hadis-hadis yang terkait dengan jihad, padahal dalam sejumlah literatur Islam klasik khususnya, kitab-kitab hadis tetap konsisten memandang jihad sebagai sebuah kemuliaan yang memiliki makna yang sangat luas, yang bukan saja berarti turun ke medan perang, tetapi menuntut ilmu dan mengabdi kepada kedua orang tua; kebaikan itu merupakan bagian penting dari makna jihad, dan ini didukung dengan sejumlah ayat dan hadis hadis Nabi Muhammad Saw.

Berbeda dengan sudut pandang kelompok-kelompok tertentu saat ini yang sangat ekstrim dalam menafsirkan makna jihad dan secara tegas menyatakan bahwa berjihad di jalan Allah adalah turun ke medan perang melawan orang musyrik dan hukumnya adalah fardhu ain dan tidak perlu meminta izin kepada kedua orang tua.

Dalam propaganda itu mereka mengambil dalil dari sebuah kisah seseorang yang datang kepada Rasulullah Saw dan menyatakan ingin ikut serta dalam berjihad. Namun Rasulullah kembali bertanya kepada pemuda itu apakah kedua orang tuamu masih hidup? Pemuda itu menjawa “ iya”, lalu Rasulullah Saw bersabda bahwa berbuat baik dan melayani keduanya merupakan jihad yang paling mulia. Hadis ini disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim. Namun kelompok radikal teroris memelintir kisah ini dan menyebut bahwa Rasulullah tetap mempersilahkan pemuda itu untuk tetap berjihad jika itu yang dianggap baik. Padahal beberapa hadis menyebutkan kisah yang sama dan mereka yang datang kepada Rasulullah mengikuti amanah Rasulullah untuk tetap melayani dan berbakti kepada kedua orang tuanya.

Berbakti kepada kedua orang tua, Bapak dan Ibu, jauh lebih mulia daripada turun ke medan perang, bahkan sejumlah sahabat sempat ingin ikut berjuang bersama nabi, akan tetapi Rasulullah melarangnya dan meminta agar mereka tetap bersama kedua orang tuanya. Salah satu kisah menyebutkan bahwa seorang sahabat datang bersama ibunya kepada Ibnu Abbas dan menyampaikan bahwa anaknya ingin ikut serta berjihad tetapi ibunya tidak rela jika anaknya ikut berjihad. Ibnu Abbas lalu mengatakan kepada pemuda itu, “patuhilah ibumu dan tinggallah bersama dia”.

Kisah lain menyebutkan bahwa seseorang datang kepada Rasulullah Saw dan menyatakan, “Ya Rasullah saya ingin berbaiat kepadamu untuk berjihad bersama Engkau Ya Rasulullah.” Rasulullah menjawab, “apakah kedua orang tuamu masih hidup?”. Pemuda itu menjawab “iya.” Rasulullah berkata, “pergilah engkau berjihad dan menjadi mujahid yang paling baik di hadapan kedua orang tuamu.”

Dalam sebuah riwayat disebutkan ketika ditanya seorang sahabat perihal amal yang paling baik, Rasulullah menjawab bahwa amal yang paling baik adalah Sholat pada waktunya, berbuat kepada kedua orang tua dan berjihad di jalan Allah. Dari hadis ini menunjukkan bahwa posisi berbuat baik kepada kedua orang tua masih lebih mulia daripada berjihad. Oleh karena itu sangat naif jika mengatakan bahwa turun ke medan perang tidak mesti harus meminta izin kepada kedua orang tua.

Masih terdapat sejumlah hadis-hadis nabi yang menegaskan bahwa berjihad di medan perang harus atas persetujuan orang tua, dan berbakti kepada kedua orang tua jauh lebih mulia daripada berjihad, bahkan Nabi menilai bahwa berbakti kepada kedua orang tua jauh lebih besar pahalanya dibanding bertempur di medan perang.

Jika demikian halnya, lalu atas dasar apa dikatakan bahwa turun ke medan perang tidak diharuskan meminta izin kepada orang tua? padahal jelas-jelas Rasulullah Saw melarang pergi berjihad bagi mereka yang masih memiliki kedua orang tua atau seorang ibu atau seorang bapak.

Adapun hukum jihad yang diklaim oleh kelompok radikal yang menyebur bahwa jihad adalah Fardhu Ain, itu adalah salah total karena justru sejumlah ulama mengatakan bahwa jihad adalah fardhu Kifaya, artinya jika sebuah kelompok telah melaksanakannya makan gugurlah kewajiban bagi yang lain. Yang mengatakan jihad adalah fardhu ain sangatlah sedikit, bahwa di antara ulama ada yang mengatakan bahwa jihad adalah sunnah (mandoub) bukan fardhu ain bukan pula fardhu kifaya. Para ulama ini tentu memiliki dalil-dalil yang kuat baik yang diambil dari Alquran maupun dari hadis-hadis Nabi Muhammad Saw.

Jika sebuah kelompok memfonis bahwa hukum jihad adalah fardu ain, lalu siapa yang akan bertugas mengurusi masyarakat jika semua orang harus turun ke medan perang ? Bahkan dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw sendiri sering kali tidak ikut dalam perang dan berdiam di Madinah saja untuk mengambil alih penanganan masalah-masalah kemasyarakatan di Madinah.

Sementara asumsi kewajiban turun ke medan perang karena wilayah-wilayah Islam telah dikuasai oleh orang-orang musyrik merupakan asumsi yang sangat keliru, apalagi jika diterapkan kepada negara-negara di mana mayoritas penduduknya adalah muslim yang taat beribadah dan menunaikan seluruh kewajiban yang ditetapkan oleh agama. Memandang orang-orang Islam yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai musyrik merupakan tindakan yang sangat salah.

Kemusyrikan yang sebenarnya bukanlah tidak menjalankan perintah-perintah Allah yang telah diwajibkan kepadanya, akan tetapi kemusryikan yang dimaksud dalam agama adalah tidak mengakui keberadaan tuhan serta ingkar terhadap risalah Nabi sebagaimana yang dilakukan orang-orang Arab ketika Rasulullah Saw menyampaikannya risalahnya lalu mereka menolak risalah itu dan tidak menerima dakwah Islam, bahkan menganggap Rasulnya sebagai tukan sihir.

Itulah kemusyrikan yang sebenarnya sebagaimana yang disebutkan Alqur’an yang artinya “Bahwa jika kalian mempersekutukan Allah, maka Allah akan menghapus semua amal-amal baik kalian,” dan juga yang dimaksud dalam hadis Rasulullah Saw yang menyebutkan bahwa “Semua dosa-dosa manusia akan diampuni oleh Allah kecuali yang musyrik atau yang mempersekutukan Allah Swt”. Itulah makna musyrik yang sebenarnya, bukan orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan pemikiran kelompok tertentu lalu dianggap musyrik. Ini adalah kesalahn total dalam memahami ayat dan hadis hadis Rasulullah. Wallahu A’lam

Facebook Comments