Kearifan lokal, yang mengendap dalam berbagai warisan kebudayaan masa silam, cukup banyak menyimpan kiat tertentu yang masih berguna hingga kini. Pada bahasan Dzikir dan Metode Deradikalisasi I, pernah saya ungkap tentang karakteristik berbagai kedirian manusia dalam mengarungi kehidupannya. Dari beberapa penelitian, saya pun menemukan bahwa ternyata diri manusia dan transformasinya yang dikabarkan oleh al-Qur’an bersifat ilmiah dan medis (Kalacakra dan Penghayatan Waktu Orang Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Seumpamanya, diri ammarah, lawwamah, dan muthmainnah yang dikabarkan oleh al-Qur’an, dimana oleh orang Jawa di masa silam disebut dengan istilah “sedulur 4” (amarah, aluamah, supiyah, mutmainah). Pada kisah wayang Sastrajendra, digambarkanlah bahwa amarah yang dilambangkan oleh karakter Rahwana terlahir dari telinga. Sementara aluamah yang dilambangkan oleh karakter Kumbakarna terlahir dari mulut. Adapun supiyahyang dilambangkan oleh karakter Sarpakenaka terlahir dari mata. Yang terakhir, Gunawan Wibisana, yang melambangkan diri mutmainah, terlahir dari hidung.
Pada kisah Sastrajendra tersebut rupanya terdapat rincian yang bersifat ilmiah dan medis. Orang-orang radikal yang kondisi kediriannya berada pada tahap ammarah memang memiliki kecenderungan untuk gampang marah yang sudah pasti kerap mengalami sesak dada. Sebab, diri ammarah memiliki keterkaitan dengan empedu yang terletak di sekitar ulu hati. Hal ini mengindikasikan bahwa telinga merupakan pintu gerbang dari diri ammarahdan otomatis radikalisme. Bukankah tak ada sesak dada yang diakibatkan oleh memandang atau menghidu sesuatu? Kebanyakan dada sesak adalah karena mendengarkan sesuatu yang dirasakan tak enak, atau dalam istilah Jawa, “ngabangke kuping” (memerahkan telinga).
Sementara para teroris sudah pasti secara kejiwaan penuh kemuraman, atau setidaknya, memandang hidup laiknya penuh dengan penderitaan yang membuatnya seperti enggan untuk hidup dan memilih untuk menyakiti orang lain dengan mengorbankan dirinya sendiri. Kumbakarna konon terlahir dari mulut yang secara fisiologis memang terkait dengan rasa penyesalan atau ekspresi-ekspresi kekecewaan semacam sakit hati. Dalam lakon wayang Kumbakarna Gugur, adik Rahwana yang berwujud raksasa itu memang seperti nglalu, melankolis atau memilih untuk melenyapkan dirinya sendiri. Perangnya dengan para kera bala tentara Rama Wijaya seolah hanyalah alasan baginya untuk mati. Bukankah penyesalan sering berkaitan dengan bahasa verbal yang dilakukan oleh mulut? Bukankah hanya mulut yang dapat mengungkapkan rasa penyesalan dan bukannya mata atau telinga?
Supiyah, yang dilambangkan oleh adik ketiga Rahwana, Sarpakenaka, berkaitan dengan mata yang menyambung ke kelamin (syahwat). Orang yang dikatakan terpesona sudah pasti berkaitan dengan pesona atau citra yang berhubungan dengan mata. Rangsangan kelamin jelas lebih berkaitan dengan mata daripada hidung, mulut ataupun telinga. Jadi, syahwat memang cukup erat kaitannya dengan mata.
Ketiga sedulurtersebut—Rahwana, Kumbakarna, dan Sarpakenaka—adalah semacam samsara yang membutuhkan pembebasan dari Gunawan Wibisana. Artinya, kunci dari sedulur amarah (nafsu amarah), aluamah (ketamakan), dan supiyah (nafsu syahwat) adalah mutmainah yang berkaitan dengan hidung. Itulah kenapa dalam lakon wayang Wahyu Makutharama dikisahkan bahwa hanya Gunawan Wibisana-lah yang dapat menyempurnakan (menderadikalisasi) Kumbakarna.