Pengajian Kitab Virtual, Evolusi Jihad Literasi Ala Santri

Pengajian Kitab Virtual, Evolusi Jihad Literasi Ala Santri

- in Narasi
1398
0
Pengajian Kitab Virtual, Evolusi Jihad Literasi Ala Santri

Larangan mengadakan kegiatan yang melibatkan kerumunan massa mendorong para lulusan pesantren yang berkecimpung dalam dunia dakwah, melakukan inovasi baru dalam melakukan jihad literasi. Diantaranya adalah mengadakan pengajian kitab virtual. Para santri yang notabene individu yang memiliki kecakapan mengolah informasi serta pengetahuan dari kitab kuning, menggunakan media yang di luar kebiasaan dalam menyampaikan pengetahuan agama dari kitab kuning. Yaitu membacakan kitab secara online maupun direkam, kemudian diunggah di situs penyedia konten video semacam Youtube.

Praktek ngaji kitab virtual ini penting untuk mendapat perhatian. Sebab, layaknya pengajian kitab di pesantren, materi atau kitab yang dibacakan serta penjelasan dari keduanya dapat kemudian lebih diarahkan ke langkah-langkah preventif penanggulangan radikalisasi agama. Ini merupakan peluang yang tak boleh di sia-siakan di tengah gempuran konten-konten provokatif, baik yang bersumber dari fakta maupun hoaks.

Selain itu, pesantren dipandang sebagai lembaga pendidikan Islam yang cukup terpercaya. Baik secara keilmuan, maupun terkait pandangan-pandangannya yang mendukung terpeliharanya pemerintahan dari rongrongan pihak yang menghendaki digantinya sistem pemerintahan. Maka lulusan pesantren diyakini memiliki kredibilitas serta pandangan yang sama dengan khalayak umum yakini pada pesantren.

Lalu masukan apa saja yang bisa kita berikan demi pengembangan ngaji kitab virtual, utamanya pengembangan ke arah deradikalisasi agama? Ada beberapa bagian ngaji kitab virtual yang bisa diolah. Antara lain dari sisi materi tertulis, bahasa penyampaian, dan penjelasan. Meski kadang terkendala dari sumber daya manusia yang ada pada sang santri sebagai juru dakwah, tiga bagian tersebut dapat terus diolah, diasah dan dimaksimalkan. Sehingga hambatan-hambatan yang berkaitan dengan kemampuan sang juru dakwah, juga dapat diminimalisir kemunculannya.

Bagian Pertama, Materi Tertulis.

Materi tertulis yang berupa kitab kuning dapat dipilih pada yang lebih memberi perhatian khusus terhadap isu deradikalisasi agama. Misalnya kitab yang membahas tentang kewajiban cinta tanah air. Contohnya adalah kitab Adi-Difa’ ‘Anil Wathan, Min Ahammil Wajibat ‘Ala Kulli Wahidin Minna (Bela Tanah Air, Merupakan Bagian Penting Kewajiban Individual Kita) karya Muhammad Ridwan Sa’id; salah satu pengajar di Pon. Pes. Lirboyo, Kediri. Atau kitab Tahliyah wat Targhib fi Tarbiyah wat Tahdzib karya Sayyid Afandi Muhammad, yang menjadi kurikulum pelajaran akhlak di pesantren besar salah satunya Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

Selain dua kitab di atas yang selain disusun dengan bahasa Arab juga tergolong materi yang tipis, sebenarnya bisa juga memilih materi berupa buku berbahasa Indonesia dengan isi mengulas kewajiban mencintai tanah air. Atau, mengambil hanya bagian-bagian tertentu dari kitab yang terbilang tebal. Misalnya membacakan bagian dari Tafsir al-Qurthubi yang mengulas tentang tema khilafah, dan kemudian memberi penjelasan tentang adanya prespektif lain tentang pandangan kewajiban mendirikan khilafah.

Bagian kedua, bahasa penyampaian.

Dalam menterjemahkan kitab yang dibacakan perlu adanya inovasi baru. Diantaranya menghindari bahasa-bahasa yang rumit terlebih yang hanya difahami oleh kalangan pesantren saja. Sebab, dengan minimnya dinding pembatas akses konten-konten di dunia maya, ngaji kitab virtual berpotensi besar dikonsumsi oleh masyarakat non pesantren. Sehingga bahasa penyampaian perlu dibuat semudah mungkin untuk difahami. Diantaranya dengan menggunakan istilah-istilah yang berkembang di masyarakat saat ini.

Bahkan perlu ada perhatian khusus terhadap bahasa yang dipakai kalangan muslim milenial. Yaitu bahasa yang tidak hanya sekedar menyampaikan informasi, tapi juga memberikan motivasi pada pendengarnya. Misalnya menggunakan istilah “cinta tanah air”, sebagai ganti dari “mencintai tanah kelahiran” yang notabene terjemah harfiah dari hubbul wathan.

Bagian ketiga, penjelasan

Penjelasan kitab tidaklah harus hanya sekedar mengkontekstualisasikan pemahaman yang hendak disampaikan kitab tersebut. Namun, bisa juga berisi sanggahan-sanggahan terhadap pemahaman yang perkembang dan berkaitan dengan materi dalam kitab tersebut. Misalnya tatkala membahas tentang kewajiban cinta tanah air, bisa diselipkan tentang sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan bahwa ajaran cinta tanah air tidak ada dalam sejarah kenabian. Sanggahan tersebut dapat berupa keterangan bagaimana kecintaan Nabi Muhammad terhadap kota kelahiran beliau yaitu Makkah.

Selain itu, penjelasan kitab dapat menyinggung adanya kekliruan-kekliruan atau pendangkalan dari masyarakat mengenai makna dari istilah-istilah yang ada dalam ajaran Islam, dan memiliki hubungan dengan gerakan radikal. Misalnya tentang istilah jihad, khilafah, khalifah, ghirah, serta istilah lain dalam kebudayaan Islam yang sering disalah artikan atau berpotensi besar disalah artikan.

Facebook Comments