Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) secara kelembagaan boleh saja sudah tumbang dan tersungkur hingga ke dasar. Ini ditandai dengan pembubaran organisasi itu tahun 2017 disusul dengan penggodokan larangan penyebaran ideologi khilafah tahun 2019. Akibat pembubaran itu, tidak sedikit anggota eks-HTI hijrah ke organisasi lain dan banyak di antaranya melakukan strategi yang lebih tertutup.
Yang bubar adalah lembaganya, ideologi dan nalar radikalisme ala HTI yang ingin mendirikan khilafah masih hidup di benak para anggotanya. Ideologi dan lembaga adalah dua yang berbeda. Yang pertama adalah ibarat mesin yang bersifat abstrak yang tertanam di alam sadar manusia. Sementara yang kedua adalah perwujudan konkritnya di dalam dunia realita.
Jika yang terakhir mudah dideteksi, dilacak, dan dibasmi, maka tidak dengan yang pertama. Ia sangat sulit dideteksi dan dibasmi kalau tidak dengan secara serius dan terus menerus. Kita boleh bergembira dengan pembubaran HTI, tapi tugas kita belum selesai.
Ideologi khilafah ala manhaj tahririyah dalam konteks tertentu bisa melahirkan benih-benih, yang selanjutnya bisa memunculkan aksi terror, yakni menganggap orang/pihak lain kafir, halal darahnya, harus dimusnahkan –masih terus ada, dan mungkin masih berkeliaran di sekitar kita.
Sama dengan kelompok Khawarij, secara kelembagaan sudah musnah berabad-abad yang lalu, tapi pola pikir dan cara pandang ala Khawarij –kaku, mau benar sendiri, tekstualis, menegasikan orang lain –masih hidup sampai sekarang.
Tugas kita dalam konteks ini adalah upaya terus menerus untuk memutus mata rantai ideologi dan nalar khilafahisme itu. Ideologi yang tidak mengakui pluralitas, tidak menghargai pihak lain, tidak mengakui hukum manusia sebagai pegangan bersama, berusaha untuk mengubah sistem Negara yang sudah disepakati, menegasikan orang/pihak lain –harus sedini mungkin diputus.
Keyakinan dan paham seperti ini masih banyak dijumpai di media sosial, bahkan dengan bebas dan riangnya mereka mengampanyekannya. Nalar dan paham seperti inilah yang harus diberantas secara bersama-sama.
Ibarat pohon besar, HTI adalah batang pohonnya, sementara akar yang menghujam ke dasar tanah adalah idelogi, paham dan nalarnya. Menumbangkan pohon, tentu tidak berhenti hanya memotong batangnya saja, tapi harus mengikis dan membongkar akar-akarnya juga.
Karena boleh jadi, sisi batang pohon ini masih bisa menumbuhkan cabang batang pohon lagi. Artinya nalar dan ideologi tertutup bisa tumbuh secara kelembagaan sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Pemahaman dan nalarlah yang mengarahkan manusia. Paham kebencian, akan melahirkan tindakan kebencian. Paham kekerasan, akan melahirkan tindakan kekerasan. Begitu juga, paham perdamaian, akan melahirkan tindakan yang membawa kedamaian.
Paham ibarat mesin yang bersifat abstrak yang tertanam di alam sadar manusia. Alam bawah sadar ini baik bersifat personal, yakni individu manusia, maupun bersifat kolektif, yakni masyarakat.
Untuk itu, membasmi khilafahisme dan radikalisme tidak bisa hanya dengan melawan perwujudannya saja, tetapi harus memutus sumber dan akarnya, yakni paham dan nalar yang terpatri di belakang manusia. Sebab, jika Hizbut Tahriri (HT) itu itu ibarat kue, maka paham dan ideologi khilafah yang ada di belakngnya ibarat tuangan kue.
Memperbaiki atau menghancurkan kue, tidak bisa hanya sekadar berhenti pada kue, tetapi harus masuk kepada tuangan kue. Sebab bagus dan buruknya kue tergantung dari model tuangannya.
Dua Paham Yang Harus Ditolak
Dalam konteks ini, apa sih paham khilafahisme yang harus ditolak itu? Atau jika dipermudah bahasanya, apa itu tuangan yang menyebabkan seseorang jadi mau-maunya memperjuangkan khilafah ?
Para pakar menjawab, bahwa ideologi khilafah ala manhaj tahririyah tidak lepas dari al-hakimiyah(hanya Allah hakim yang sesungguhnya) dan jihad fi sabilillah (berjihad di jalan Allah).
Al-hakimiyah adalah keyakinan yang menyatakan bahwa hakim, penguasa, dan pembuat hukum yang sejati adalah Allah. Tidak ada hukum (dalam pengertian umum) selain hukum Allah (la hukmaillallah). Siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia adalah kafir, munafik, dan fasik (wamallamyahkum bi ma anjallah fa ulaika hum al-kafirun).
Paham semacam ini dengan sendirinya tidak mau berpegang kepada aturan, kesepakatan, dan hukum yang dibuat oleh manusia. Menurut mereka, manusia itu terbatas dan tidak mungkin bisa memberikan hukum yang cocok dan adil kepada seluruh umat manusia.
Hukum dan segala turunannya yang dibuat oleh manusia tidak lepas dari hawa nafsu dan kepentingan duniawi. Untuk itu harus ditinggalkan, hanya hukum Allah sematalah (dan hanya satu-satunya) yang sah jadi pegangan.
Implikasi nyata dari nalar ini, bahwasemua aturan, hukum, dan hasil kesepakatanyang tidak berdasarkan pada Allah maka itu adalah thagut, yang harus diperangi. Akibatnya bagi kelompok ini Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI adalah berhala besar yang harus diganti, karena itu semua adalah hasil produk pemikiran manusia. Sebagai hasil pemikiran manusia, maka tidak wajib menaatinya.
Tidak berhenti di sini, semua sistem turunan dari keempat pilar itu baik itu politik, hukum, tata kelola negara, ekonomi, dan pendidikan tidak sah. Semuanya harus dirombak dan diganti dengan sistem yang sesuai dengan versi pengusung khilafah. Segala usaha untuk merombak, menghapuskan, dan mengganti terus-menerus dilakukan dengan segala cara, kapan dan di mana pun.
Bagaimana cara mereka untuk menegakkan kuasa dan hukum Tuhan (al-hakimiyyah al-ilahiyah) itu? Usaha itu tidak lepas dari ideologi yang kedua, yakni jihad fi sabilillah, berjuang dengan segala daya dan upaya di jalan Allah.
Di tangan pengusung khilafah, jihad menjadi tidak netral lagi, ia adalah usaha untuk memperjuangkan hukum-hukum Allah agar tegak dipersada bumi ini, meski harus dengan cara paksaan, kekerasan, bahkan perang dan pertumpahan darah.
Jihad menjadi sempit dan selalu diidentikkan dengan perang dan kekerasan. Segala macam cara, sekalipun dengan cara menebar ujaran kebencian, hoax, fitnah, provokasi asal demi “membela Allah” maka itu harus dilakukan. Jihad dilakukan dengan segala pengorbanan bahkan sampai mati. Tak syak lagi, perang sering dijadikan sebagai sarana. Bagi kelompok ini, mati di jalan Allah adalah syahid, dan pasti masuk surga.
Cara-cara kekerasan dan anarkis bukan sesuatu yang salah bagi mereka. Sebab bagi mereka, selama masih pada dan untuk Allah semua cara harus dilakukan. Menyebarnya virus radikalisme bahkan adanya aksi-aksi terorisme tidak bisa dilepaskan dari kedua ideologi ini..
Membunuh, mengebom, dan merenggut nyawa manusia yang dianggap musuh, harus dilakukan. Itu bukan tindakan berdosa. Itu adalah tindakan berpahala dan pelakunya jadi pahlawan.
Memutus Paham Khilafah
Untuk itu memutus kedua paham ini harus dilakukan. Kita harus memotong akar tunggang yang menghujam ke dasar tanah, bukan sekadar memotong ranting pohonnya saja. Apa langkah yang bisa diambil?
Dekonstruksi nalar perlu dilakukan. Otak para pengusung khilafah itu harus dicuci kembali dan dibersihkan agar sesuai dengan agama yang damai.
Cara pertamaadalah menggeser nalar dari al-hakimiyah al-ilahiyah (Tuhan adalah hakim/pembuat hukum) menuju al-hakimiyah al-basyariyah (manusia sebagai pembuat hukum).
Implikasinya, tidak ada lagi yang mengklaim, bahwa ini sistem thagut, itu sistem kafir, ini berhala besar yang harus ditumpas.
Cara kedua, dekonstruksi maknajihad fi sabilillah, bahwa jihad bukan hanya terbatas pada perang dan perang, melainkan jihad adalah totalitas hidup.Jihad bukan mati dijalan Allah, melainkan hidup damai di jalan Allah.
Pemutusan ideologi khilafah ala manhaj tahririyahi tentu butuh kerja bersama. Ini tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja. Kerja kolektif dengan partisipasi semua lapisan masyarakat adalah pra-syarat melakukan pemutusan nalar radikalisme ini. Proses dekonstruksi dari paham kekerasan menuju paham perdamaian butuh keaktifan semua lini, pemerintah, ormas, masyarakat. Semuanya harus bahu-membahu.