Urgensi “Tabayyun” Sejarah dan Kontroversi Propaganda Film Jejak Khilafah di Nusantara

Urgensi “Tabayyun” Sejarah dan Kontroversi Propaganda Film Jejak Khilafah di Nusantara

- in Narasi
564
0
Urgensi “Tabayyun” Sejarah dan Kontroversi Propaganda Film Jejak Khilafah di Nusantara

Beberapa waktu lalu, umat Islam Indonesia digemparkan dengan launchingnya film Jejak Khilafah di Nusantara bertepatan pada tanggal 1 Muharram 1442 H. Film ini diinisiasi oleh kelompok Hizbut Tahrir melalui akun Youtube Khilafah Channel.

Film yang memuat fiksi sejarah yang tidak memiliki data dan sumber yang otoritatif tentang jejak sejarah Islam di Indonesia. Hal ini merupakan suatu bentuk pembohongan sejarah yang dipaksakan. Tak bisa dipungkiri bahwa sejarah, sejak lama dipecaya sebagai alat untuk mengontrol masa depan dan masa kini. Sebagaimana penulisan sejarah Indonesia di masa Orde Baru, yang seluruh narasi sejarahnya ditulis perspektif Orde Baru. Hal ini secara tidak langsung berfungsi sebagai invisible weapon mereka untuk memperdaya masyarakat Indonesia.

Strategi Orde Baru ini secara tidak langsung juga dilakukan oleh kelompok HTI. Mereka berupaya melakukan manipulasi sejarah dengan mengaitkan sejarah peran Turki Utsmani dengan perang Diponegoro atau yang dikenal sebagai perang Jawa. Mereka menyebut bahwa Turki Utsmani memiliki relasi yang cukup kuat dengan perang Jawa, padahal sejarah yang otentik tertulis bahwa tidak ada kaitannya sama sekali antara perang diponegoro (baca: perang Jawa) dengan kekhilafahan Turki Utsmani, sebagaimana dijelaskan dalam risetnya Peter Carey tentang Perang Jawa.

Kelompok Pengasong Khilafah ini berupaya menggaet emosi masyarakat Islam Indonesia untuk tergiur akan romantisme kekhilafahan di abad pertengahan. Padahal siapapun yang pernah belajar Islam dan memahami sejarah Islam dengan baik, pasti berkesimpulan bahwa tidak ada jejak historis khilafah di Nusantara.

Baca juga : Eks-HTI dan Ideologi Khilafah yang Masih Hidup

Hal ini juga diafirmasi oleh Professor Sejarah Kebudayaan Islam UIN Jakarta, Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa tidak ada jejak khilafah di Nusantara dan tidak ada kaitannya antara Turki Utsmani dengan kerajaan Islam di Nusantara. Dan sebenarnya Turki Utsmani itu bukan kekhilafahan, tetapi ia adalah dinasti, dan keduanya sangatlah berbeda.

Film besutan Nicko Pandawa Cs ini menjadi kontroversi, karena mereka mencatut nama Peter Carey, sejarawan sekaligus guru besar Emeritus Trinity College, Oxford. Peter Carey keberatan dengan pencatutan namanya tanpa ijin yang seakan mengafirmasi dan mendukung proses rilis film tersebut di Indonesia. Sebagaimana cuitan dalam akun twitter yang dibagikan oleh TwitterChristopher Reinhart, seorang asisten Cardiff Professor dan Oxford Professor.

…sangat tidak jujur dan tidak sopan untuk mencantumkan nama seorang narasumber dalam poster film tanpa izin dari narasumber tersebut. Menurut pengalaman saya, saya hampir selalu dimintai foto dan CV oleh penyelenggara acara untuk keperluan reklame,” ungkap Peter.

Peter Carey sendiri memang seorang peneliti yang meriset selama kurang lebih 40 tahun tentang perang Diponegoro. Suatu perang yang cukup melegenda dalam masyarakat Jawa. The Java War sendiri terjadi dalam rentang waktu tahun 1825-1830 M, akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi.

Sebagai seorang peneliti, professor berusia 72 tahun ini mengaku keberatan dengan pencatutan nama baik penelitiannya selama ini. Sebagaimana dalam cuitan yang lain:

Menggunakan nama seseorang dengan tujuan publisitas tanpa seizin mereka adalah pelanggaran Undang-undang (pencurian hak kekayaan, intelektual, penipuan, pencemaran nama baik).Saya tidak senang karena saya telah ditempatkan dalam posisi di mana nama baik dan penelitian yg telah saya lakukan dilibatkan dengan sebuah proyek yang menurut saya sangat menjijikkan-yakni agenda HTI yang berupaya untuk mengarang sebuah narasi sejarah yang sama sekali tidak didukung oleh kenyataan,” ujar Peter di Twitternya yang mengancam akan mengambil jalur hukum atas insiden ini.

Melihat realitas ini, kita semakin disadarkan bahwa agenda propaganda khilafah yang mereka lakukan telah sedemikian rupa, dengan membangun narasi hoaks berbasis sejarah. Mereka berupaya “mengibuli” masyarakat agar dapat memuluskan rencana “khilafahisasi sejarah Nusantara” melalui media film. Di waktu yang lain, mereka juga berdalih dibuatnya film dengan alasan bahwa di tengah kehidupan yang sudah menuju akhir zaman, khilafah mau tidak mau harus ditegakkan. Karena bagi mereka, yang akan melawan Dajjal dan menumpas perang besar di akhir zaman pastinya kekhilafahan Islam.

Terbukti, bahwa kemudian data dan sumber sejarah film ini tidak berdasar dan hanya berisi propaganda belaka. Hal tersebut menjadi persoalan yang harus kita sikapi bersama. Apakah mungkin kita begitu mudah percaya terhadap propaganda yang tidak memiliki garis historis dengan sejarah Nusantara?. Karena berdasarkan riset yang ada tentang Perang Jawa, Turki Utsmani tidak memiliki muatan relasional secara politik dengan wilayah Nusantara. Dinasti Turki dan Islam hanya berdiri dalam wilayah persaudaraan Islam. Karena pun di zaman dulu belum ada teknologi komunikasi secanggih saat ini.

Peter Carey berpendapat bahwa keinginan tim produksi film Jejak Khilafah di Nusantara dengan menampilkan Diponegoro sebagai sosok pemimpin Khalifah Islam di Jawa dengan dukungan dari Dinasti Utsmaniyah pada masa Perang Jawa memuat narasi yang cacat. Selain itu, Sultan Mataram dan Sultan Banten ditampilkan oleh mereka sebagai dua kerajaan Islam yang memiliki relasi historis keislaman dengan Turki Utsmani, hal ini merupakan suatu kebohongan sejarah yang fatal.

Akhirnya, kedepan jangan sampai masyarakat kita terpengaruh akan propaganda para pengasong khilafah itu. Mari kita jangan terbuai dengan konstruksi narasi berbalut sejarah dari para pengusung Khilafah yang ambiguistik tersebut. Kita harus Tabayyun terlebih dahulu dalam membaca sejarah, karena kebenaran sejarah harus terus kita tegakkan.

Facebook Comments