Elegi Palestina dan Narasi Alternatif Membangun Solidaritas Kemanusiaan

Elegi Palestina dan Narasi Alternatif Membangun Solidaritas Kemanusiaan

- in Narasi
985
0
Elegi Palestina dan Narasi Alternatif Membangun Solidaritas Kemanusiaan

Elegi barangkali ialah kata paling tepat menggambarkan kondisi Palestina dari masa ke masa. Elegi dalam dunia kesusasteraan diartikan sebagai kisah tentang kehidupan manusia yang penuh kesedihan, kepiluan dan keprihatinan. Elegi ialah gambaran kehidupan manusia yang tidak putus dirundung malang dan tragedi, baik karena ulah sendiri, nasib maupun karena ulah orang lain.

Cerita kelam tentang konflik, perang dan kekerasan mendominasi nyaris seluruh sejarah perjalanan Palestina dari sejak berdiri hingga sekarang. Musababnya apalagi jika bukan aneksasi yang dilakukan Israel. Negara Isreal bermula dari proyek zionisme yang mengagedakan terwujudnya negara Yahudi. Seiring berjalannya waktu, didukung dengan kekuatan politik dan lobi terutama berkat dukungan Barat, terutama Inggris dan Amerika, Israel tumbuh menjadi negara dominan di kawasan Timur Tengah (Arab).

Kini, Israel menjadi semacam duri dalam daging bagi dunia Arab serta menjadi isu yang kerap menghambat terwujudnya relasi harmonis antara Islam dan dunia Barat. Pendek kata, selama isu Palestina dan Israel ini belum selesai, maka relasi harmonis dunia Islam dan Barat agaknya akan sulit terwujud. Di saat yang sama, persoalan konflik Palestina dan Israel juga menjadi bahan bakar infiltrasi radikalisme agama di dunia Islam.

Isu Palestina menjadi komoditas kaum konservatif-radikal untuk mengobarkan jihad yang dipahami sebagai perang melawan agama lain. Jadi, jangan heran jika banyak kalangan yang justru ingin agar konflik antara Palestina dan Israel langgeng. Tidak sedikit pula para penumpang gelap yang berupaya menunggangi isu Palestina untuk kepentinan jangka pendek, seperti meraih popularitas di panggung politik.

Maka dari itu, penting bagi umat Islam untuk mendesain gerakan solidaritas kemanusiaan bagi Palestina yang bebas kepentingan politik praktis apalagi sampai mengancam kebinekaan. Indikasi politisasi isu Palestina yang mengancam kebinekaan bangsa ini mulai menguat belakangan ini. Di media sosial misalnya, muncul narasi yang mempersepsikan masyarakat yang tidak mendukung Palestina sebagai anti-Islam atau musuh Islam. Narasi yang demikian ini tentu kontraproduktif terhadap upaya penyelesaian konflik Palestina dan justru menyemai bibit perpecahan di kalangan bangsa sendiri.

Memahami Isu Palestina Secara Kritis

Di tengah suasana Idul Fitri yang identik dengan kemenangan dan kebahagiaan ini, umat Islam khususnya di Indonesia idealnya bisa membangun solidaritas kemanusiaan untuk Palestina tanpa kehilangan spirit untuk menjaga komitmen kebangsaan dan kebinekaan. Kita perlu mendudukkan isu Palestina dalam perspektif obyektif-kritis sehingga tidak mudah dihasut oleh isu atau narasi sesat yang bertujuan memecahbelah bangsa.

Kita patut belajar dari kasus konflik Suriah yang dipelintir sedemikian rupa oleh kaum konservatif-radikal untuk mengampanyekan khilafah. Kaum konservatif-radikal selalu mempersepsikan konflik Suriah sebagai jihadmelawan rezim anti-Islam. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. Konflik Suriah terjadi karena pemberontakan kaum militan yang menghendaki berdirinya kekhalifahan Islam.

Sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia bisa menjadi pelopor bagi munculnya solidaritas kemanusiaan global demi membela kedaulatan Palestina. Sebagai muslim kita wajib bersolidaritas atas penderitaan sesama muslim di belahan bumi lain sebagai bagian dari ketauhidan kita. Sebagaimana hadist Nabi yang menyebut bahwa belum lengkap atawa sempurna keimanan seorang muslim manakala ia belum membantu sesamanya yang tertimpa kesusahan.

Sedangkan sebagai manusia Indonesia kita memiliki tanggung jawab moral-konstitusional untuk membela Palestina dari okupasi Israel. Sebagai warganegara Indonesia, bersolidaritas terhadap Palestina ialah tugas konstitusional sebagaimana diamanahkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Tugas konstitusional ini tentu harus ditunaikan sejalan dengan kepentingan untuk tetap menjaga sekaligus merawat kebinekaan bangsa. Jangan sampai, isu Palestina menjadi ajang politisasi demi kepentingan sesaat yang mengabaikan komitmen kebangsaan.

Pendekatan Alternatif Mengurasi Konflik Palestina

Jalan untuk berpartisipasi menyelesaikan konflik Palestina-Israel tanpa mempertaruhkan keutuhan bangsa sebenarnya sudah dilakukan, salah satunya oleh mendiang Gus Dur. Semasa hidupnya, Gus Dur dalam kapasitasnya sebagai tokoh keagamaan dan aktivis kemanusiaan aktif menyuarakan isu Palestina di depan komunitas Yahudi dan forum-forum internasional. Tujuannya ialah membuka jalur komunikasi dunia Islam dengan Yahudi yang buntu karena Israel dikuasai oleh tokoh-tokoh ultra-konservatif pro-zionisme.

Ironisnya, apa yang dilakukan oleh Gus Dur dan belakangan dilanjutkan oleh penerusnya, Kiai Yahya Cholil Staquf justru kerap disalahpahami oleh sebagian umat Islam di Tanah Air. Bahkan, tidak sedikit umat Islam yang menuduh Gus Dur dan Kiai Yahya sebagai antek Yahudi atau agen zionis. Padahal, diakui atau tidak, Israel meski negara kecil namun memiliki kekuatan yang sukar dikalahkan. Kemenangan Israel dalam “Perang Enam Hari” melawan koalisi negara Arab ialah bukti bahwa Israel ialah negara yang tidak bisa dianggap remeh dari segi kekuatan militernya.

Apalagi saat ini, didukung dengan militer bersenjata lengkap dan canggih serta dukungan negara Barat, Israel kian jemawa menganeksasi wilayah Palestina. Jika pendekatan militeristik seperti dipakai oleh Hamas dan Hizbullah (Lebanon) kurang efektif melawan imperialisme Israel atas Palestina, maka jalur dialog dan diplomasi agaknya perlu diintensifkan kembali. Dialog dan diplomasi kiranya bisa menjadi narasi alternatif untuk mengurai konflik Palestina dan Israel yang telah kusut oleh berbagai kelindan kepentingan (politik, agama, ekonomi dan lainnya).

Facebook Comments