Mengurai Problem Palestina: Dari Nalar Sektarian ke Solidaritas Kemanusiaan

Mengurai Problem Palestina: Dari Nalar Sektarian ke Solidaritas Kemanusiaan

- in Narasi
1044
0
Mengurai Problem Palestina: Dari Nalar Sektarian ke Solidaritas Kemanusiaan

Kekerasan demi kekerasan terhadap warga Gaza, Palestina oleh militer Israel ialah sebuah pemandangan yang meneror mental. Bagaimana tidak? Kesucian hari-hari terakhir Ramadan dan kebahagiaan Idul Fitri yang seharusnya menjadi momen sakral bagi umat Islam di seluruh dunia rusak oleh teater kekerasan berdarah di wilayah yang disucikan oleh tiga agama (Yahudi, Kristen dan Islam) tersebut. Tercatat lebih dari 130 sipil Palestina tewas. Sebagian di antaranya ialah perempuan dan anak-anak.

Di saat yang sama ketika warga Palestina tengah berjibaku menghadapi eskalasi serangan militer Israel dan berusaha sekuat tenaga menyelamatkan diri, netizen Indonesia justru sibuk berdebat di medsos. Di kalangan warganet Indonesia, isu konflik Palestina dan Israel telah mengalami distorsi sedemikian rupa sehingga tidak lebih dari sebuah bahan perdebatan tanpa ujung. Konsekuensinya, subtansi isu konflik Palestina itu sendiri justru menguap digeser oleh klaim kebenaran masing-masing pihak yang merasa diri paling benar.

Diakui atau tidak, polarisasi politik dan fanatisme keagamaan yang dalam beberapa tahun ini menguat di tengah masyarakat turut andil dalam mengonstruksi respons publik Indonesia atas isu Palestina. Kelompok fanatik Islam yang seolah menempatkan diri sebagai “juru bicara” isu Palestina lantas mencap kelompok yang berusaha bersikap netral dan kritis terhadap isu Palestina sebagai pendukung zionisme. Tuduhan provokatif yang demikian ini cenderung memecah belah bangsa. Seperti kita tahu, Indonesia merupakan negara multireliji dimana setiap kelompok agama dimungkinkan memiliki pandangan berbeda terhadap isu Palestina.

Kita tentu sepakat bahwa semua agama menolak kekerasan atas nama apa pun. Namun, kita tentunya juga patut menyadari bahwa setiap agama memiliki otonomi untuk merespons atau bersikap atas isu tertentu, termasuk isu Palestina. Disinilah pentingnya kita menyatukan persepsi ihwal konflik Palestina dan Israel. Yakni bahwa penindasan dan kekerasan ialah musuh semua agama dan ancaman bagi kemanusiaan global. Terlebih lagi, secara resmi dan konstitusional negara Indonesia telah mengambil sikap terhadap isu Palestina. Indonesia secara tegas mendukung kedaulatan Palestina dan mendorong dihentikannya konflik dan kekerasan di wilayah tersebut.

Solidaritas Tanpa Sektarianisme

Satu hal mendesak yang perlu dilakukan umat Islam di Indonesia saat ini ialah mengelola isu Palestina agar tidak menjadi bumerang bagi keutuhan bangsa. Gaung gerakan solidaritas untuk Palestina harus dikawal agar tidak ditunggangi oleh kelompok tertentu untuk memecah-belah bangsa. Kepentingan untuk bersolidaritas terhadap warga Palestina sama pentingnya untuk menjaga kedaulatan bangsa dari ancaman anasir asing. Apalah artinya kita bersolidaritas pada penderitaan bangsa asing jika di saat yang sama kita justru abai pada potensi perpecahan di tubuh bangsa sendiri?

Maka dari itu, gerakan solidaritas kemanusiaan untuk Palestina idealnya diletakkan di atas nalar kemanusiaan, bukan isu sektarian. Penindasan dan kekerasan Israel terhadap Palestina ialah isu kemanusiaan yang seharusnya direspons dengan akal sehat yang obyektif dan kritis. Respons obyektif dan kritis itu dimungkinkan muncul manakala publik memahami akar historis di balik konflik berkepanjangan yang melibatkan Palestina dan Israel. Tanpa memahami akar sejarahnya, maka kita akan terjebak pada asumsi prematur bahwa konflik Palestina dan Israel ialah konflik agama antara Islam dan Yahudi.

Momen Idul Fitri ini kiranya bisa meredam polarisasi dan fanatisme keagamaan sehingga kita bisa melihat segala sesuatu, termasuk persoalan Palestina secara jernih, obyektif dan kritis. Spirit Idul Fitri idealnya bisa membuat hati dan pikiran kita kembali suci, termasuk steril dari nalar sektarianisme dalam melihat konflik Palestina-Israel. Hati dan pikiran yang suci kiranya akan menjadi modal penting untuk membangun solidaritas kemanusiaan yang melampuai nalar sektarian.

Solidaritas kemanusiaan global lintas-agama, ras, etnis dan warna kulit ialah hal yang sangat dibutuhkan oleh warga Palestina saat ini. Hanya dukungan global yang mampu meredam brutalitas Israel yang disokong oleh negara-negara Barat. Jaringan masyarakat sipil global perlu secara intensif menyuarakan protes keras terhadap Israel untuk segera menghentikan kekerasan di Palestina. Ketika organisasi selevel Persatuan Bangsa-Bangsa pun dibuat tidak berdaya melawan jejaring aliansi Israel dan negara-negara Barat, maka saatnya kelompok sipil mengambil peran signifikan.

Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia dan dikenal dengan corak keislaman moderat kiranya memiliki peran strategis dalam hal ini. Selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo, diplomasi luar negeri kita terbilang efektif. Berkali-kali, Indonesia memainkan peran strategis dalam mengakhiri konflik berdarah di sejumlah negara. Momentum itu patut kita maksimalkan dalam konteks isu konflik Palestina-Israel. Indonesia harus tampil ke muka sebagai inisiator resolusi konflik Palestina-Israel, bukan dengan labelnya sebagai negara muslim terbesar, namun sebagai negara yang menjunjung tinggi kedaulatan dan kemerdekaan sebuah negara atau bangsa.

Facebook Comments