Etika Melawan Genosida Ujaran Kebencian

Etika Melawan Genosida Ujaran Kebencian

- in Narasi
893
2
Etika Melawan Genosida Ujaran Kebencian

Dinamika sosial media selalu menjadi bahan para pengguna dengan berbagai pilihan aplikasi sosmed yang mengisi playstore. Perkembangan media sosial menimbulkan manusia lebih aktif pada dunia maya dari pada dunia nyata. Diruang tertentu manusia terbawah arus globalisasi yang nge pop, tidak mempunyai prinsip yang jelas sehingga apa yang marak pada dunia maya menjadi pilihan mereka untuk menjalani kehidupan. Dari sini potensi segala peluang pada Sosial media menjadi ruang menunjang perekonomian dari ruang iklan bisnis onlain, iklan Pendidikan sampai promosi manusia kampanye pemilu. Pada era millennial terkini yang lebih dominan ujaran kebencian, hoaks, penipuan sosial media terjadi menjelang tahun politik.

Menjelang pelaksanaan pemilu, media sosial (medsos) menjadi media kampanye yang dianggap paling efektif, baik untuk menjaring simpati calon pemilih maupun menyerang lawan politik. Namun, disayangkan marak pesan bernada provokatif dan permusuhan yang berbau suku, agama, ras, dan antargolongan lewat medsos yang berpotensi memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Ada yang disebut sebagai hoax industry (industri hoaks), outrage industry (semangat mengobarkan kemarahan dan permusuhan). Ini yang menjadi fenomena global saat ini. Yang lebih menggelitik bahwa pengguna sosial media saat ini terlalu abstrak melihat fenomena sosial media, sehingga mereka juga terbawah arus ujaran kebencian dan menggiring opini sehingga membenarkan pernyataan itu.

Pada titik yang paling parah, (ujaran kebencian) bisa menimbulkan genosida. Pada titik terendah, dia bisa menimbulkan konflik horizontal dalam skala yang mungkin kecil. ujaran kebencian tidak hanya disuarakan akun-akun yang berbasis ideologi tertentu. Tetapi, perkembangannya saat ini lebih banyak akun partisan politik yang melakukan hal tersebut. Hal ini bisa dilihat dari analisis konten yang diunggah oleh akun-akun itu.

Menguatkan Etika Publik

Makna terpenting dari perlunya etika publik adalah terwujudnya tatanan sosial berkehidupan yang dibangun dalam bingkai saling menghargai, menghormati serta menjaga hak orang lain dengan tidak mudah menyakiti. Oleh karenanya, kebutuhan medsos sebagai ruang sosial baru terhadap nilai-nilai keadaban publik menjadi keniscayaan. Bukan untuk apa-apa, tapi agar pengguna dan penikmat medsos menghargai ruang publik. Termasuk pengguna itu adalah pemerintah agar juga meng-share kebijakannya dalam ranah medsos dengan penuh pertimbangan manfaatnya bukan kemudharatannya.

Ada dua nilai teologis-etik yang layak diamalkan bagi penggguna medsos agar tidak terjebak pada penyebaran atau menyebarkan hoax dan ujaran kebencian. Pertama, perlunya mengembangkan tradisi klarifikasi (tabayyun) dalam menerima kabar, QS. Al-Hujurat ayat 6. Etika ini penting digunakan dalam rangka menanyakan kembali kabar yang diterima, baik dalam bentuk teks atau gambar yang telah dipermak dengan tulisan (meme). Bisa dilakukan kepada pengirimnya atau bisa langsung kepada individu yang merasa dirugikan dari kabar tersebut.

Baca juga :Literasi Media Digital; Cara Cerdas Berantas Hoaks dan Ujaran Kebencian

Klarifikasi dilakukan agar kita tidak mudah ikut menyebarkan, sebelum mengetahui betul kebenaran dan manfaat kabar yang dimaksud. Praksisnya, penegasan kabar ini bertujuan agar kita tidak mudah turut melakukan dosa sosial, apalagi orang yang dirugikan dengan kabar itu belum tentu mengenal kita. Betapapun dosa sosial dalam Islam diyakini sebagai salah satu penghambat utama kesalehan sejati kita beragama, bila kita tidak dengan tegas meminta maaf kepada yang dirugikan kabar hoax dan ujaran kebencian.

Kedua, medsos harus mengutamakan pesan kejujuran. Pesan kejujuran sebagai etika kenabian ini berlaku bagi siapapun, dari individu, kelompok swasta hingga pemerintah. Kenapa medsos harus jujur? Sebab kebohongan medsos menjadi perusak tata nilai dan cara pandang bersosial. Sulit membedakan mana hak dan batil, padahal kabar memiliki efek positif dan negatif, sekalipun pengujarnya berdalih iseng.

Kejujuran bermedsos juga bisa dilakukan dengan menampilkan pemahaman keagamaan yang beragam dan kritis, tidak satu pendapat yang kaku. Kejujuran model ini diharapkan dapat memahamkan perbedaan sebagai sebuah kenyataan bukan malah menjadi lahan bagi pembibitan radikalisme dan terorisme sebab kurang jujurnya dalam mewartakan pesan agama di satu sisi, khususnya tentang memaknai Jihad, dan di sisi yang berbeda tidak jujur pada dirinya yang tinggal di negeri penuh ragam; suku, agama, dan etnis.

Akhirnya, upaya yang dilakukan pemerintah dan beberapa aktivis di negeri ini untuk melawan hoax dan ujaran kebencian harus didukung bersama. Sekalipun lebih dari itu, gerakan ini harus tetap kritis dalam semangat keadaban berdemokrasi yang menghargai kebebasan berbicara yang bertanggung-jawab, pastinya. Jangan dibuat media untuk menakut-nakuti, apalagi menumpulkan daya kritis pengguna dan penikmat medsos. Wallhuallam

Facebook Comments