Etika Politik Demokrasi dalam Islam; Perspektif Al-Mawardi dan Al-Ghazali

Etika Politik Demokrasi dalam Islam; Perspektif Al-Mawardi dan Al-Ghazali

- in Narasi
37
0
Etika Politik Demokrasi dalam Islam; Perspektif Al-Mawardi dan Al-Ghazali

Imam Al-Mawardi dan Al-Ghazali adalah dua tokoh besar dalam sejarah pemikiran Islam yang memberikan wawasan yang mendalam terhadap etika politik dalam konteks demokrasi. Kedua cendekiawan ini, meskipun hidup pada periode yang berbeda, memiliki perspektif yang komprehensif terkait dengan prinsip-prinsip etika politik dalam Islam.

Al-Mawardi, seorang pemikir hukum dan politik abad ke-10, menyoroti pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik sebagai elemen kunci dalam demokrasi. Menurutnya, demokrasi sejati tidak hanya melibatkan pemilihan umum, tetapi juga melibatkan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan kolektif melalui musyawarah.

Al-Mawardi meyakini bahwa partisipasi masyarakat adalah landasan bagi sistem politik yang adil dan berkelanjutan. Dalam pandangannya, demokrasi yang baik harus mencerminkan nilai-nilai Islam dan memastikan keadilan dalam pengambilan keputusan.

Di sisi lain, Al-Ghazali, seorang filsuf dan teolog abad ke-11, memberikan dimensi spiritual terhadap etika politik. Baginya, pemimpin dalam sebuah sistem politik harus memiliki moralitas yang kuat dan integritas yang tinggi. Al-Ghazali menekankan bahwa etika politik tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral yang berakar dalam ajaran agama.

Pemimpin yang adil, menurut pandangannya, adalah mereka yang melayani rakyat dengan tulus dan bertanggung jawab kepada Tuhan dalam setiap tindakan mereka.

Sama seperti Al-Mawardi, Al-Ghazali juga menyoroti pentingnya supremasi hukum dalam menjaga keadilan dalam masyarakat. Hukum, menurut Al-Ghazali, harus sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan adil untuk menciptakan sistem politik yang harmonis. Dengan merangkul konsep rule of law, Al-Ghazali meyakini bahwa sebuah negara dapat mencapai ketertiban yang berlandaskan pada moralitas dan keadilan.

Kedua pemikir ini juga memberikan perhatian khusus pada konsep kepemimpinan yang adil. Al-Mawardi menegaskan bahwa pemimpin yang dianggap adil dalam Islam adalah mereka yang memahami tanggung jawab mereka sebagai amanah untuk mengelola negara sesuai dengan ajaran agama. Al-Ghazali menambahkan dimensi spiritual, di mana pemimpin yang adil harus memimpin dengan niat yang murni dan kesadaran bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan atas setiap tindakan mereka.

Pentingnya perlindungan hak asasi manusia juga menjadi fokus keduanya. Al-Mawardi mengajukan bahwa demokrasi yang mencapai keadilan harus melindungi hak-hak individu tanpa diskriminasi, sementara Al-Ghazali menegaskan bahwa hak asasi manusia merupakan bagian integral dari prinsip-prinsip moral Islam. Kedua pemikir ini menekankan bahwa dalam menciptakan masyarakat yang beradab, perlindungan hak asasi manusia harus menjadi pijakan yang kuat.

Namun, Al-Ghazali memberikan peringatan bahwa kebebasan individu harus diiringi dengan tanggung jawab moral. Kebebasan tanpa batasan dapat membawa dampak negatif pada moralitas masyarakat. Dalam pandangannya, kebebasan harus diatur dan dijaga keseimbangannya agar sesuai dengan nilai-nilai etika yang dianut oleh agama dan masyarakat.

Pandangan Al-Mawardi dan Al-Ghazali terhadap etika politik dalam demokrasi memberikan fondasi kokoh yang mencakup partisipasi aktif masyarakat, supremasi hukum, kepemimpinan yang adil, perlindungan hak asasi manusia, dan keseimbangan kebebasan individu.

Perspektif mereka, yang terakar dalam nilai-nilai Islam, menyiratkan bahwa demokrasi yang sehat harus selaras dengan etika dan moralitas untuk mencapai tata kelola pemerintahan yang baik dan harmonis sesuai dengan visi mereka untuk masyarakat yang adil dan beretika.

Facebook Comments