Apakah Membatasi Gerak Radikalisme di Indonesia Berarti Menciderai Prinsip Demokrasi?

Apakah Membatasi Gerak Radikalisme di Indonesia Berarti Menciderai Prinsip Demokrasi?

- in Narasi
138
0
Apakah Membatasi Gerak Radikalisme di Indonesia Berarti Menciderai Prinsip Demokrasi?

Perkembangan dan pertumbuhan gerakan radikalisme pasca Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari pergantian rezim yang semakin terbuka. Kemunculan gerakan radikalisme berbasis agama, baik yang tertutup, seperti Jemaah Islamiyah (JI, maupun yang terang-terangan seperti Laskar Jihad, Laskar Jundulloh, FPI, MMI, dan HTI merupakan efek domino dari semakin terbukanya iklim politik dan demokrasi Reformasi. Tanpa kehadiran Reformasi, hampir dapat dipastikan kelompok-kelompok garis keras tersebut tidak akan berani muncul ke permukaan akibat represi politik yang dilakukan oleh rezim berkuasa.

Keterbukaan politik yang diintroduksi oleh Presiden Habibie, kemudian Presiden Abdurrahman Wahid dan selanjutnya, terbukti memberi semangat baru bagi kelompok masyarakat untuk menyuarakan berbagai aspirasi dan kepentingan politiknya secara bebas dan leluasa. Pada masa ini pula, kelompok budaya dan politik yang tidak berafiliasi ke aliran keagamaan tertentu juga turut meramaikan ruang publik.

Keterbukaan politik ini termasuk membuka keran peluang bagi aliran atau ideologi keagamaan garis keras seperti JI, Jamaah Ansorut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Ba’asyir, Jamaah Ansaru Daulah, FPI, dan HTI.

Rezim demokrasi pada dasarnya memberikan ruang-ruang partisipatif-egaliter bagi kelompok masyarakat untuk mengartikulasikan berbagai kepentingannya. Dalam rezim demokrasi, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpendapat dan berserikat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Setiap warga negara juga memiliki posisi yang sama di muka hukum.

Tidak ada salah seorang yang lebih istimewa dibanding lainnya. Artinya, sebuah rezim demokrasi harus meruangkan perbedaan kepada siapapun, sepanjang dibenarkan oleh paraturan perundangan yang berlaku. Keutamaan dan keistimewaan yang dimiliki oleh demokrasi yang tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk rezim politik lainnya. Dalam rezim demokrasi, hak-hak semacam ini dijamin oleh konstitusi.

Persoalannya adalah, kelompok radikal yang diuntungkan oleh sistem politik demokrasi memiliki hasrat yang tidak baik terhadap demokrasi. Mayoritas kelompok radikal mengusung ideologi islamis yang dikampanyekan kepada seluruh anggota masyarakat untuk menggantikan sistem demokrasi yang diangap berasal dari Barat. Bagi mereka, sistem demokrasi jelas tidak mewakili Islam karena agama ini tidak pernah mengenal istilah demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai hasil ciptaan akal budi manusia yang diperlakukan lebih istimewa ketimbang agama.

Inilah yang oleh kalangan radikal digambarkan sebagai “pemberontakan atas kekuasaan Tuhan” (the revolt against God’s sovereignty). Martin van Bruinessen mengistilahkan ini sebagai conservative turn. Sekalipun mereka diuntungkan oleh iklim demokrasi di Indonesia, namun agenda pergerakannya adalah untuk menumbangkan demokrasi itu sendiri, baik melalui kekerasan maupun jalan damai, yang dilakukan secara radikal-revolusioner.

Memang respons dan penolakan kelompok radikal terhadap demokrasi cukup bervariasi; dari yang paling lunak hingga yang paling ekstrem.Kelompok paling lunak tidak secara terangterangan menghujat sistem demokrasi, tetapi secara halus membungkus argumentasi penolakannya melalui analisis dan kajian empiris di belahan dunia Barat dengan mengupas borok-borok sistem demokrasi, seperti pencaplokan wilayah Muslim, pembantaian kaum Muslim, kebusukan kapitalisme, perlakuan diskriminatif terhadap kaum Muslim minoritas di sejumlah negara Barat, hingga isu-isu moralitas seperti tradisi seks bebas, aborsi, judi, alkohol, dan semacamnya.

Sekalipun mereka mengecam demokrasi, tetapi mereka tidak segan-segan untuk menggunakan argumentasi demokrasi dalam rangka mempertahankan eksistensi mereka. Agak paradoks memang. Hal demikian dilakukan bukan karena persetujuan atau dukungannya terhadap demokrasi, tetapi semata-mata sebagai taktik untuk mempertahankan eksistensi mereka sendiri dalam menghadapi serangan “musuh-musuh” mereka.

Di Indonesia, penolakan kaum radikal terhadap sistem demokrasi ditunjukkan melalui keengganan mereka berjuang melalui sistem partai politik (parpol). Bagi mereka, keterlibatan dalam sistem partai politik berarti mereka melegitimasi sistem demokrasi yang mereka tolak. Konsekuensinya, program amar makruf nahi munkar yang mereka jalankan tidak bisa disuarakan melalui jalur-jalur politik formal, melainkan melalui media sosial kemasyarakatan seperti selebaran, tabloid, internet, dan kajian-kajian terbatas di kalangan mereka.

Lalu bagaimana membatasi ruang gerak radikalisme dalam kerangka negara yang demokratis?

Sikap demokrasi terhadap kelompok radikal memang ibarat buah simalakama; maju kena, mundur kena. Menindak kelompok kritis jelas akan menggerus kualitas demokrasi itu sendiri. Jika mereka tidak ditindak jelas akan merongrong demokrasi dari dalam, bahkan membunuhnya.

Dalam konteks ini, akademisi dan filsuf asal Inggris Karl R. Popper menawarkan konsep ‘mentoleransi apa yang patut ditoleransi’. Pertanyaannya, lalu mana gagasan yang patut ditolerir dan mana yang tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini, teori milik Guru Besar Ilmu Politik asal Amerika John Rawls mungkin relevan. Dalam bukunya,A Theory of Justice, ia mengenalkan apa yang disebut “self-preservation”.

Konsep “self-preservation” adalah sebuah mekanisme pertahanan yang bisa digunakan kelompok toleran ketika dihadapkan oleh kelompok intoleran yang mengancam kebebasan orang lain dan mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia. Mudahnya begini, jika kita mengetahui bahwa ada seorang teman yang berencana mencelakai kita, meskipun itu masih dalam ranah ide, apakah lalu kita hanya membiarkan saja atas nama demokrasi, atau berusaha melindungi diri dan berusaha melenyapkan rencana orang itu?

Misalnya, FPI yang mempunyaitrack recordtindakan kekerasan dan intoleransi yang panjang. Pada tahun 2008, misalnya, salah satu petinggi FPI menebar ancaman terhadap pengikut aliran Ahmadiyah agar mereka semua dibunuh. Hal ini didasari pada keyakinan bahwa Ahmadiyah adalah aliran yang dianggap menyimpang, sehingga darah mereka menjadi halal untuk ditumpahkan. Dalam perspektif “self-preservation”, gagasan FPI ini boleh dibungkam tanpa mengurangi esensi dari toleransi itu sendiri. Ide Rawls itu juga bisa berlaku untuk Nazi-nya Hitler yang boleh dilawan karena akan mengakibatkan lahirnya korban jiwa. Pun dengan gagasan-gagasan lain yang mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia secara umum.

Selanjutnya Popper mengatakan bahwa kelompok toleran tidak perlu memberantas gagasan-gagasan intoleran secara ‘radikal’ juga. Yang perlu dilakukan adalah melakukan kontra narasi yang masuk akal, terukur, dan rasional. Narasi-narasi itu akan dibiarkan berkontestasi di ruang publik dan akan dievaluasi sendiri oleh masyarakat.

Terakhir, dalam konstruk negara hukum, Indonesia sebenarnya telah memiliki perangkat perundangan yang mengatur perihal tindak pidana teorisme melalui UU No. 15 Tahun 2003 merespon tragedi Bom Bali I tahun 2002. Hal ini menegaskan bahwa sekalipun demokrasi menjanjikan keleluasaan, kebebasan berpendapat yang diamanatkan oleh reformasi tidak boleh menyebabkan negara lemah atau terlemahkan. Negara sepenuhnya memiliki otoritas untuk mengambil kebijakan tegas untuk mengatasi gerakan radikalisme agama.

Facebook Comments