Peristiwa sejarah tidak pernah memiliki narasi tunggal. Kredo itu tampaknya juga berlaku pada peristiwa suksesi kekuasaan di Afganistan belakangan ini. Sebagian kalangan menilai berkuasanya Taliban merupakan kemenangan kelompok Islam dan rakyat Afganistan mengakhiri pendudukan Amerika Serikat selama 20 tahun.
Sebagian kalangan lainnya menyebut kemenangan Taliban menandai berakhirnya era kebebasan dan demokrasi di Afganistan. Naiknya Taliban ke tampuk kekuasaan diyakini akan mengembalikan Afganistan ke masa lalu. Masa dimana penindasan, pembunuhan dan pelanggaran HAM dianggap wajar.
Ada pula yang menafsirkan kemenangan Taliban sebagai kemenangan etnis Pashtun dan kelompok Islam konservatif dalam perebutan kekuasaan di Afganistan. Ada angapan bahwa ke depan Afganistan akan dikendalikan oleh faksi politik yang merepresentasikan suku Pashtun dan kelompok Islam konservatif.
Dari gambaran sederhana itu, kita bisa menyimpulkan bahwa kondisi Afganistan itu kompleks. Kemenangan Taliban tidak bisa dipahami sebagai kemenangan Islam dan rakyat Afganistan melawan invasi AS. Jika itu benar, tidak mungkin ribuan warga Afganistan lari dari negaranya bahkan dengan mempertaruhkan nyawa menggantung pada roda pesawat.
Disinilah pentingnya memahami kondisi internal Afganistan, geopolitik kawasan dan politik global pada umumnya. Lanskap luas itu diperlukan untuk memahami fakta yang terjadi di Afganistan saat ini. Pemahaman yang sahih itu akan memungkinkan kita untuk tidak terburu-buru mengambil sikap apalagi cenderung bersimpati dan berempati atas kemenangan Taliban.
Sejak awal kemunculannya pada tahun 1994 di wilayah Kandahar, Taliban cukup diterima oleh masyarakat Afganistan. Hal ini karena lemahnya pemerintah Afganistan yang dikenal korup dan inkompeten. Taliban lantas dianggap sebagai pahlawan penegak kebenaran dan keadilan, namun dengan jalan kekerasan jalanan. Namun dalam perkembangannya, Taliban justru bermetamorfosa menjadi kelompok yang gemar mengeksploitasi kekerasan dan teror kepada kelompok yang dianggap berbeda dan kaum perempuan. Dewan Keamanan PBB bahkan mengkategorikan Taliban sebagai salah satu organisasi terorisme.
Empat Alasan Menolak Ideologi Transnasional
Secara organisasi Taliban hanya eksis di Afganistan, namun sepak terjang ideologisnya menyebar secara global. Tidak terkecuali di Indonesia. Persinggungan Taliban dengan Indonesia terjadi manakala sejumlah anggota Jamaah Islamiyyah asal Indonesia berangkat ke Afganistan untuk menjalani pelatihan militer. Mereka inilah yang kelak menjadi generasi awal gerakan radikal-terorisme di Indonesia.
Dapat dipahami bahwa Taliban merupakan aktor penting gerakan Islam transnasional. Taliban dalam banyak hal berseberangan dengan Al Qaeda maupun ISIS yang memiliki agenda mendirikan serupa. Namun, ketiganya memiliki kesamaan, yakni menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan. Pada intinya, kita harus mencegah segala bentuk ideologi Islam transnasional, baik yang diusung ISIS, al Qaeda maupun Taliban. Ada setidaknya empat alasan mengapa kita harus menolak ideologi islam transnasional transnasional.
Pertama, ideologi transnasional bertentangan dengan multikulturalitas dan multirelijiusitas Indonesia. Cara pandang ideologi Islam transnasional yang eksklusivistik dan intoleran pada perbedaan adalah ancaman serius bagi keragaman agama dan budaya bangsa Indonesia. Kedua, ideologi Islam transnasional cenderung menghalalkan segala cara dalam meraih kekuasaan dan agendanya. Termasuk mengeksploitasi kekerasan dan teror atas nama agama. Hal ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Ketiga, ideologi Islam transnasional berseberangan dengan corak keberagamaan umat Islam Indonesia yang toleran dan inklusif pada perbedaan. Gelombang penyebaran ideologi transnasional seperti wahabisme dan salafisme yang belakangan ini marak seolah menjadi antitesis dari corak keislaman yang pertama kali berkembang di Nusantara.
Ketiga, ideologi islam transnasional pada dasarnya bertentangan dengan ajaran dan prinsip dasar dan ajaran Islam itu sendiri. Islam ialah agama yang rahmatan lil alamin dan menjunjung tinggi spirit kemanusiaan. Di dalam Islam, kepentingan menjaga keselamatan manusia jauh lebih utama ketimbang kepentingan merebut kekuasaan.
Gejolak politik di Afganistan idealnya tidak diimpor ke tanah air. Publik harus kritis dan rasional dalam melihat fenomena yang terjadi di Afganistan. Prinsip dasarnya ialah memahami konflik di Afganistan tidak dengan perspektif oposisi biner. Tidak ada konflik yang murni dilatari perbedaan identitas (agama, suku, budaya). Nyaris semua konflik manusia di era modern ini diselubungi oleh kepentingan ekonomi dan politik.
Kita tidak perlu terburu-buru bersimpati pada satu pihak hanya karena persamaan identitas agama atau afiliasi politik. Lebih penting dari itu ialah bagaimana menguatkan dayatangkal masyarakat dari paham transnasional. Masyarakat harus memiliki mekanisme selektif agar tidak semua isu yang terjadi di negara lain tidak dijadikan senjata memecah-belah bangsa.