Farag Fouda dan Candu Formalisasi Syariat Islam (Khilafah)

Farag Fouda dan Candu Formalisasi Syariat Islam (Khilafah)

- in Narasi
740
0

Pada bulan Januari 1992, Farag Fouda menghadiri sebuah perdebatan dalam rangka pameran buku koleksi Kairo. Mereka terdiri dari dua kubu. Pertama, dari Fouda sendiri dan Muhammad Ahmad Khalafullah. Dari kubu kedua, Muhammad Al-Ghazali, Ma’mun Al-Hudaibi dan Muhammad Imara.

Perdebatan ini bermula dari karyanya Fouda yang mengundang kontroversi yaitu “Al-Haqiqah Al-Ghaibah”. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia menjadi “Kebenaran yang Hilang” Mengungkapkan sejarah kelamnya praktik politik kaum muslimin. Kepemimpinan yang otoriter, serta konflik politik antar umat Islam menjadi semacam “warisan” kediktatoran hingga sampai saat ini diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mereka selalu membangun instrument politik untuk menguasai dan mengatasnamakan dirinya sebagai pejuang kebenaran agama-Nya.

Fouda adalah tokoh sekularis, sang pejuang HAM, sekaligus kritisme sejarah Islam yang lantang dan berani membawa pemikirannya yang progresif tentang paradigma Islam di dalam menjawab setiap tantangan zaman. Nasionalisme Fouda begitu kental dan terlihat ketika dirinya sangat lantang menyuarakan pemikirannya tentang penolakan di balik hasrat tegaknya Formalisasi Syariat Islam atau sistem negara khilafah di Mesir pada saat itu.

Baca juga : Memperkuat Pancasila, Menghalau Ideologi Khilafah

Sehingga, pada 8 Juni 1992, Faraq Fouda ditembak mati oleh dua orang bertopeng yang mengendarai sepeda motor di depan Kantor Nasr City. Pembunuhan beliau terbentuk dari perencanaan yang dilakukan oleh kelompok yang menganggap Fouda membenci Islam dan pemikirannya yang sesat dan di luar nilai-nilai Islam. Maka watak kediktatoran itu-pun juga tampak ketika klaim orang yang di luar Islam, wajib dibunuh dan halal darahnya.

Ini menjadi duka bagi kalangan intelektual Mesir hingga beliau disebut sebagai Sang “Martir Pencerahan” yang salut akan pemikirannya di dalam membangun kesadaran tentang pentingnya Islam untuk menjawab tantangan zaman. Bukan untuk kembali ke masa lalu “bekas sejarah” yang begitu banyak kelalaian dan kesalahan. Karena sering kali agama-Nya kadang dijadikan tembok otoriter dan terbentuknya penyelewengan demi bertahannya kekuasaan yang telah diraih. Tanpa memikirkan ketidakadilan dan realitas masyarakat yang ada.

Beliau begitu lantang menyuarakan tentang bahayanya formalisasi Syariat Islam yang hanya akan dijadikan instrument kepentingan politik kelompok tertentu saja. Karena agama hanya dijadikan alat kampanye politik untuk bisa menaklukkan masyarakat.

Bahkan tentang anggapan mengenai keutamaan di dalam menegakkan institusi khilafah sebagai unit politik Islam dan kebanggaannya yang saat ini ingin ditegakkan kembali. Beliau mengungkapkan bahwa fakta-fakta sejarah yang begitu kelam cukup menjadi pelajaran bagi kita sebagai generasi Islam untuk saat ini. Apakah itu khilafah pada masa dinasti Umayah maupun Abbasyiah yang begitu keji. Karena membunuh 90 anggota keluarga Umayah. Mereka suguhkan makan malam sebelum menyiksanya dan lantas dibunuh. Kebiasaan para khilafah yang hegonis seperti minum-minuman keras dan perilaku seksual yang menyimpang. Menjadi satu bukti bahwa tegaknya negara khilafah hanya akan merusak tatanan yang ada dan akan menjadikan Islam sebagai satu proyek politik kekuasaan bagi Fouda.

Argumentasi beliau terkait penolakan tentang negara khilafah atau formalisasi syariat Islam diperkuat ayat Al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah ayat 30. Bahwa “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya, aku kehendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ini” Satu alasan teologis dalam ayat Al-Qur’an bahwa tidak ada ayat yang secara komprehensif di dalam menegakkan negara Islam atau negara khilafah atau menerapkan formalisasi syariat Islam dalam bernegara secara eksplisit dan konkret

Karena Fouda menegaskan bahwa semua sistem yang lahir dari pembentukan tata kenegaraan yang ada sejatinya merupakan ijtihad politik umat manusia dari masing-masing generasi, konteks, situasi dan zaman yang terus berubah. Karena bagi Fouda, tolak ukur negara Islami atau tidaknya suatu negara ketika negara tersebut mampu menjamin terbentuknya keadilan, jaminan keselamatan banyak umat manusia. Maka jika itu terpenuhi, sejatinya itu merupakan negara yang sudah secara sistem telah mengamalkan nilai-nilai Islam. Tanpa embel-embel negara khilafah atau tegaknya khilafah yang hanya menjadi satu alasan agama dijadikan kepentingan politik kekuasaan mereka.

Pemikiran Fouda begitu sangat kontekstual dan memiliki refleksi dan relevansi yang kuat terhadap bangsa Indonesia yang ada dalam naungan kesepakatan hidup bersama-sama dalam persatuan. Bahwa Pancasila sebagai ideologi negara yang merefleksikan nilai-nilai keislaman yang sangat menjamin kebersamaan, kesejahteraan, keadilan, kebebasan dalam menjalani ibadah masing-masing (toleransi) dan persatuan. Ini merupakan perwujudan secara subtansial Islam hadir dan menjadi semangat tatanan nilai di dalam berbangsa dan bernegara.

Facebook Comments