Gerakan Sosial Politik Virtual Anti-Kebencian

Gerakan Sosial Politik Virtual Anti-Kebencian

- in Narasi
1011
2
Gerakan Sosial Politik Virtual Anti-Kebencian

Eksistensi dan dinamika media sosial dan virtual lainnya adalah keniscayaan. Kehadirannya telah menjadi candu di era informasi dan indutri 4.0 ini. Banyak manfaat yang cepat dapat diterima oleh netizen. Sebaliknya jebakan implikasi negatif banyak mengintai dan menjadi ranjau.

Media sosial merupakan layanan virtual yang paling bising. Satu netizen aktif di beberapa jenis media sosial. Jaringan sosial pun terbentuk cepat. Gerakan mudah dibangun secara massif. Misalnya saja ketika terjadi bencana atau tragedi kemanusiaan lainnya. Info cepat melesat dan penggalangan dana serta tenaga kerelawanan cepat digerakkan.

Sebaliknya, dinamika media sosial memunculkan polusi. Salah satunya muncul saling serang dengan berita hoaks dan dibumbui ujaran kebencian. Polarisasi politik atau ideologi memang sebuah kewajaran. Namun ujaran kebencian yang berlebihan cukup merugikan iklim persatuan dan kemanusiaan. Netizen perlu dibuatkan jaringan virtual sebagai gerakan anti-kebencian. Gerakan dapat dibangun secara sosial maupun politik.

Gerakan Politik Virtual

Tahun 2019 merupakan tahun politik. Kampanye politik merupakan keniscayaan. Model ini rawan rekayasa dan pemfiktifan serta hadirnya ujaran kebencian. Stakeholder mesti sadar dan komitmen menggerakkan daya dan upaya politik melalui jagad virtual dalam menanggulanginya.

Baca juga :Siskamling Medsos untuk Membersihkan Ujaran Kebencian

Konsekuensinya, tata kelola parpol era digital harus benar-benar dilakukan dengan baik, rapi, transparan, dan komunikatif. Pencapaian aspek tersebut akan memberikan parpol banyak keuntungan (Andriadi, 2018).

Pertama, akuntabilitas parpol. Administrasi parpol dapat dikelola menjadi lebih sistematis, komprehensif, dan dapat meminimalkan penyimpangan. Kedua, transparansi parpol. Teknologi digital memiliki kemampuan untuk merekam dan melakukan check and re-check yang tinggi. Ketiga, integrasi operasionalisasi parpol. Dengan sistem digital, lapisan-lapisan pada jalur birokrasi parpol bisa diminimalisasi, sehingga operasional parpol menjadi efektif dan efisien.

Pasar virtual sangat menjanjikan kini dan ke depan. Warga di dunia maya (nitizenship) meledak keras beberapa tahun belakangan ini. Media sosial menjadi wahana terpadat dalam lalu lintas komunikasi virtual antar manusia.

Hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia ( APJII) menyebutkan pada tahun 2017, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 143,26 juta jiwa 54,68 persen dari total populasi Indonesia. Angka tersebut meningkat dibandingkan pada tahun sebelumnya, yakni tahun 2016 yang tercatat mencapai 132,7 juta jiwa.

Angka di atas menjadi pangsa pasar politik yang potensial. Jika digarap serius, maka kampanye virtual berpotensi memiliki daya elektoral lebih baik dibandingkan kampanye konvensional.

Beragam strategi diprediksi akan dilakukan caleg dan parpol dalam perang virtual. Ada yang membuat cyber army, ada yang merekayasa gerakan media sosial, saling perang opini di Twitter (Twitwar), dan lainnya. Perang ini memperebutkan suara pemilih pemula, pemilih muda, serta pemilih berpendidikan menengah ke atas.

Kampanye virtual memiliki daya jual bagi parpol dan caleg karena beberapa keunggulannya. Pertama adalah ramah lingkungan. Kampanye ini sangat efektif meminimalisasi hadirnya sampah visual dan fisikal. Kedua, kampanye virtual lebih efektif. Kampanye ini secara singkat mampu menjangkau wilayah luas dan objek yang tidak terbatasi jarak dan luas. Ketiga, ongkosnya murah. Biaya hanya dibutuhkan untuk desain, membuat domain, akses internet, dan atau insentif admin. Keempat, kampanye virtual dapat menekan praktek politik uang, sebab komunikasi tidak dilakukan dengan bertatap muka langsung. Kelima, memiliki ruang dan waktu yang tidak terbatas dalam menyampaikan gagasan dan visi-misi politik.

Efek elektoral dari perang virtual akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Faktor kuantitatif antara lain updating informasi, jaringan virtual, jumlah pengikut, aktifasi berkomunikasi, dan lainnya. Faktor kualitatif ditunjukkan oleh konten, desain tampilan, etika berkomunikasi, dan lainnya. Praktek kampanye virtual mesti memegang komitmen politik santun, bermoral, dan bertanggungjawab. Regulasi kepemiluan juga harus tetap ditegakkan. Pemenang perang virtual adalah mereka yang mampu mengoptimalikan dua faktor tersebut.

Dinamika virtual akan menentukan partisipasi elektoral. Perang virtual diharapkan tidak sekadar berebut elektoral, tetapi memainkan pendidikan politik yang anti-kebencian.

Membangun Jaringan

Selain mendapatkan dukungan politik di atas, gerakan anti-kebencian mesti diperkuat dengan jaringan sosial. Media sosial adalah bentuk jejaring sosial di jagad virtual. Jaringan anti-kebencian mesti membangun jaringan melalui media sosial pula.

Konsekuensinya tentu akan terjadi saling pengaruh, perebutan, hingga perang antara jaringan pro dan anti-kebencian. Kuncinya adalah mana yang paling kuat mempengaruhi netizen dan membangun jaringannya. Konten positif mesti diperbanyak dengan substansi kedamaian dan anti kebencian. Data-data valid dipersiapkan. Konsep hingga dasar teologis juga harus diperuta untuk modal beradu argumentasi dan melawan konten kebencian.

Yang diperbolehkan hanyalah benci terhadap kezaliman dan keburukan. Perbedaan ideology dan politik bukan sebab yang legal untuk saling membenci. Agamapun melarang berlebihan, kecuali dalam konteks jihad amar makruf nahi munkar.

Facebook Comments