Di tengah kepungan pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai, sistem perkuliahan kampus saat ini bermigrasi secara online. Dalam hal ini, mahasiswa tentunya lebih banyak menggunakan waktu berselancar di dunia maya. Kondisi yang dilematis ini tentunya muncul kekhawatiran dan patut diwaspadai ruang gerak spread of radicalization di dunia maya.
Apalagi, saat ini marak hadir situs yang menyuguhkan doktrin ekstremisme dan radikalisme melalui konten-konten keagamaannya. Channel-channel Youtube, postingan Facebook, IG, atau pesan berantai WA juga seakan menjadi lahan empuk bagi para pengusung radikalisme untuk melancarkan aksinya menyebarkan paham radikal, termasuk di kalangan mahasiswa.
Setidaknya terdapat dua faktor sebagaimana disebutkan Ahmad Mohammad Al-Hammad (2018) bahwasanya sebab musabab paling mendasar terjadinya radikalisme di lingkungan kampus. Pertama, telah terjadi perubahan di dalam perguruan tinggi berbasis keagamaan itu sendiri. Kedua, telah terjadi metamorfosa bentuk dan strategi di internal gerakan-gerakan radikal.
Sebagai contoh kasus transformasi perguruan tinggi keagamaan menjadi universitas yang mana pada akhirnya menerima mahasiswa tak hanya dari alumni madrasah atau pesantren. Mahasiswa baru dari kalangan umum inilah yang harus kita ayomi, rangkul, dan arahkan agar tidak terjerumus ke dalam jaringan Islam radikal. Pasalnya, pintu hati mereka rentan terbuka untuk mempelajari ilmu agama ketika bertemu dengan aktifis-aktifis lembaga dakwah dan organisasi-organisasi tertentu. Hal demikian justru menjadi lahan empuk untuk membangun dan membangkitkan sikap intoleransi dan militansi keagamaan di dalam diri mereka, yang dikhawatirkan didoktrin oleh kalangan aktifis-aktifis gerakan radikal.
Melihat fenomena tersebut Syeikh Yusuf al-Qardhawi menunjukkan keprihatinan di tengah banyaknya generasi muda yang ikut terjerumus dalam aksi-aksi ekstrim dan radikal. Kemudian beliau menulis sebuah bukunya yang berjudul al-Shahwah al-Islamiyah bayn al-Juhud wa al-Tatarruf. Buku tersebut beliau dedikasikan bagi generasi muda agar terus berhati-hati dalam menjalankan syariat agama. Tak cukup dengan hal sedemikian, ia juga meminta peran orang tua untuk bisa terus mengawasi dari bahaya radikalisme (www.jalandamai.org, 2017).
Dalam hal ini sejatinya Perguruan Tinggi sebagai menara pengetahuan mempunyai peran penting dan strategis dalam menangkal bahaya radikalisme dan intoleransi yang tumbuh di masyarakat, terutama di kalangan civitas akademika. Seluruh civitas akademika perlu membangun detector dini benih-benih radikalisme di lingkungannya, sekaligus menangkalnya. Mahasiswa secara khusus diharapkan jadi ujung tombak untuk menangkal tumbuh kembangnya paham radikalisme tersebut.
Adapun strategi yang dapat dilakukan di antaranya pertama, memberikan kegiatan kemahasiswaan yang lebih banyak dengan membangun dan melestarikan kegiatan moderasi beragama yang penuh perdamaian, toleransi, sejuk, dan saling menyayangi. Hal ini juga harus ditunjang dengan upaya-upaya meningkatkan bakat dan kemampuan melalui olah raga, riset dan pengembangan diri yang bermuara pada Tridharma Perguruan Tinggi.
Ketiga, pimpinan universitas akan mengontrol fasilitas kampus, masjid, mushala, dan ruang-ruang pertemuan. Itu artinya, jangan dibebaskan perlu adanya kontrol dan pengawasan terhadap kegiatan mahasiswa di lingkungan masjid, mushala, dan student center. Keempat, perlu penguatan kembali mata kuliah yang punya kaitan dengan wawasan kebangsaan. Misalnya saja mata kuliah keagamaan, sejarah, dan ilmu sosial lainnya harus diperkuat dengan konteks kebangsaan.
Selanjutnya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan kalangan mahasiswa sendiri dalam rangka menangkal pengaruh paham dan ajaran radikal. Pertama, tanamkan jiwa nasionalisme dan kecintaan terhadap NKRI. Kedua, perkaya wawasan keagamaan yang moderat, terbuka, dan toleran. Ketiga, bentengi keyakinan diri dengan selalu waspada terhadap provokasi, hasutan dan pola rekruitmen teroris baik di lingkungan masyarakat maupun dunia maya. Keempat, membangun jejaring dengan komunitas damai baik offlinemaupun online untuk menambah wawasan dan pengetahuan (Al-Hammad, 2018). Pada intinya dalam memberangus radikalisme di lingkungan kampus, kunci utamanya adalah gotong royong para civitas kampus untuk bersatu padu menumpas radikalisme.
Selain itu, untuk menegasikam radikalisme di lingkungan kampus yakni dengan aktualisasi nilai-nilai Tridharma Perguruan Tinggi yang mana meliputi melaksanakan pendidikan tinggi, melakukan penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat berkaitan Islam wasathiyah dan kebangsaan. Nilai-nilai Tridharma yang berwawasan kebangsaan tersebut secara teoritis dan subtantif sangat luhur dan dapat dijadikan sebagai upaya membendung arus radikalisme. Perguruan tinggi dalam mengemban tridharmanya memerlukan penataan secara menyeluruh terhadap kelembagaan dan juga manajemen pengelolaannya. Manajemen perguruan tinggi sangat berperan dalam menjamin keberlangsungan kegiatan di perguruan tinggi.
Dengan adanya manajemen yang baik maka akan berpengaruh pada kualitas dari pendidikan tinggi itu sendiri baik dari segi konsep kurikulum maupun pelaksanaan praktek pembelajarannya, yang tentunya selaras dengan wawasan kebangsaan. Dan semuanya kalau dilakukan secara gotong royong, tentunya radikalisme di kampus akan mudah diberangus, semoga.