Deteksi Dini Radikalisme Sejak Dari Keluarga

Deteksi Dini Radikalisme Sejak Dari Keluarga

- in Narasi
1131
0
Deteksi Dini Radikalisme Sejak Dari Keluarga

Virus radikalisme-terorisme tidak pandang usia lagi. Ia bisa –bahkan sudah menjadi tujuan utama –menyasar anak-anak. Anak-anak yang masih bersih dan polos, para remaja yang masih mencari identitas diri dengan mudah bisa diindoktrinasi untuk melakukan tindakan radikal dan intoleransi.

Beberapa kasus peledakan bom, penyerangan rumah ibadah, dan yang ikut berafiliasi dengan organisasi radikal semacam ISIS umpamanya, banyak melibatkan anak-anak. BNPT tahun 2018 merilis, bahwa ada sekitar 1.800 orang anak yang orang tua mereka (berjumlah 500 orang) ditetapkan sebagai narapidana.

Anak-anak ini dengan mudah mendapat stigmatisasi, bullying, driskiminasi, pengasingan, yang akibatnya mereka mencari jalan alternatif-solusi, dan ada sebagian besar mereka memilih tindakan radikal dan terror sebagai jalan pilihan.

Anak-anak yang terlibat dalam tindakan radikalisme merupakan korban dari lingkungan yang tidak kondusif. Bisa berupa keluarga, sekolah, tempat mengaji, atau teman dalam pergaulan.

Anak atau remaja yang masih mencari jati diri, kemudian disuguhi dengan sesuatu yang –menurut pandangan sesaat –adalah tindakan hero, plus disuguhi surga sebagai balasan.

Deteksi Orang Tua

Poin utamanya adalah bahwa, anak menjadi radikal dan intoleran tidak lain sebab foktor lingkungan, bukan sebab anak itu sendiri. Lingkungan yang membentuk anak.

Lingkungan yang damai dan menghargai sesama akan melahirkan generasi yang toleran dan bijak dalam mengelola perbedaan, sebaliknya, lingkungan yang cara pandangnya kaku, sempit dan menegasikan yang liyan, dengan sendirinya akan tumbuh anak-anak yang radikal, intoleran, dan tidak bisa menghargai perbedaan.

Dalam konteks inilah, keluarga sebagai sekolah pertama dan utama harus memainkan perang aktifnya. Orang tua harus memberikan pendidikan yang humanis, menanamkan nilai pancasila, dan budaya lokal yang arif nan bijaksana.

Selain itu, menanamkan nasionalisme sejak dini, bahwa orang lain adalah kawan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yang harus dihormati dan dijaga martabat mereka. Sebagai sesama anak bangsa, maka haram darah, kehormatan, dan kehiduapan mereka dirusak.

Pendidikan agama juga harus jadi perhatian. Ayah dan/atau ibu harus aktif memberikan ajaran agama yang toleran dan menghargai manusia lain. Penelitian menunjukkan, bahwa banyak anak terlibat dalam tindak terorisme sebab diiming-imingi dengan iming-iming yang keliru, dan ajaran jihad yang salah; yang mengajarkan bahwa orang lain adalah musuh, kafir yang wajib dimusnahkan.

Sejak dini harus ditanamkan kepada anak-anak, bahwa dalam agama, membunuh satu orang seolah-olah membunuh seluruh manusia, dan menjaga hidup satu orang, sama dengan menghidupkan seluruh umat manusia.

Selain itu, pihak keluarga juga harus memberikan permainan yang bisa mengedukasi anak menjadi anak yang menghargai kebhinekaan. Sebab, bermain adalah dunia anak. Dengan bermain, anak bisa belajar banyak hal. Permainan tradisional adalah salah satunya.

Deteksi Kearifan Lokal

Permainan tradisional itu bisa dimaksimalkan oleh keluarga, sekolah, juga pemerintah sebagai sarana untuk menangkal anak dari virus radikalisme. Sebab dengan permainan tradisional, dunia anak menjadi berwarna, kaya pengalaman, kuat pergaulan, bijak mengelola perbedaan, dan tangkas dalam kepemimpinan.

Permainan tradisonal bukan dunia menang-menangan; kalah bukan sebuah kehinaan, menang bukan sebuah kebanggaan.

Indonesia kaya dengan permainan tradisional. Ratusan bahkan ribuan macam dan bentuk permainan lokal pernah eksis. Mulai Petak umpet, lompat tali, bentengan, ular naga, engklek, gundu sampai gobak sodor dan nama lainnya. Permainan tradisional ini membentuk perkembangan fisik, kognisi, emosi, bahasa, kreativitas, moral, dan rasa solidiritas anak bangsa. Rasa solidaritas yang tertanam dalam permainan tradisional itu perlu dikembang sebagai sarana untuk menangkal anak dari paham radikalisme.

Facebook Comments