Gunungan Megono; Folklore Religi Simbol Kerukunan Beragama Masyarakat Pantura

Gunungan Megono; Folklore Religi Simbol Kerukunan Beragama Masyarakat Pantura

- in Kebangsaan
171
0

Idulfitri 1 Syawal bukanlah pamungkas dari rangkaian perjalanan umat Islam menempuh kesucian diri. Di Bulan Syawal, terdapat Sunnah berpuasa selama enam hari, dan lebih utama (afdhal) jika dikerjakan di awal bulan (tanggal 2-7) Syawal.

Puasa Sunnah enam hari di awal Syawal itu sudah menjadi tradisi bagi masyarakat muslim Nusantara. Maka, tidak mengenakan jika umat Islam Indonesia mengenal setidaknya tiga hari raya; yakni Idulfitri, Iduladha, dan hari raya ketupat.

Satu hal yang unik adalah perayaan lebaran ketupat ini digelar dengan nuansa kebudayaan yang sangat kental. Di Madura misalnya ada tradisi Tellasan Topak atau disebut juga Tellasan Petto.

Yakni masyarakat, terutama kaum perempuan berkumpul untuk bersama-sama menganyam kelontongan ketupat. Di hari lebaran ketupat itu pula, masyarakat Madura akan saling bertukar hidangan yang bermacam-macam.

Di Kawasan pesisir utara pulau Jawa, terurama wilayah Pati, Kudus, Jepara, lebaran ketupat diyarakan dengan festival sedekah laut yang dinamakan dengan “Lomban”. Tradisi Lomban adalah ritual Larung sesaji ke lautan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat telah melewati puasa Sunnah Syawal.

Juga sebagai bentuk ucapan terima kasih sekaligus harapan para nelayan agar penghidupan mereka setahun ke depan lebih baik. Tradisi Lomban juga kerapkali diwarnai dengan lomba balap kapal nelayan yang dihias warna-warni.

Masih di kawasan Pantura, tepatnya di daerah Pekalongan, ada tradisi unik saban perayaan Lebaran ketupat. Yakni tradisi Hubungan Megono. Yakni prosesi mengadakan gunungan yang tersusun dari nasi megono yang merupakan penganan khas Pekalongan.

Ritual ini biasanya dipusatkan di lokasi wisata Linggo Asri. Selain sebagai wujud syukur atas selesainya puasa Sunnah, ritual Gunungan Megono mengandung banyak nilai filosofis.

Pertama, gunungan menggambarkan relasi transendental antara manusia dengan Tuhan. Atau dalam bahasa sufisme Jawa adalah “manunggaling kawula lan gusti“. Gunungan merefleksikan pesan penting bahwa manusia harus mampu meneladani sifat-sifat Allah dalam kehidupan di dunia.

Kedua, komposisi nasi megono yang terdiri atas nasi dan campuran sayuran, parutan kepala, serta cacahan daging atau tempe mengamankan pluralitas budaya dan agama yang ada di masyarajat. Nasi megono menjadi perlambang bahwa entitas -entitas yang berbeda jika disatukan secara tepat akan menghasilkan citarasa yang harmonis.

Sinergi Bersama Melestarikan Folklore Reliji

Tradisi Gunungan Megono merupakan sejenis folklore reliji. Yakni tradisi atau ritual yang susah silaksakan secara turun remurun yang memiliki nilai atau unsur keagamaan (relijiusitas). Gunungan Megono ini merupakan folklore religi yang sifatnya adalah ritual kebudayaan.

Secara sosiologis, harus diakui bahwa folklore religi ini menjadi salah satu elemen penting yang membentuk identitas dan kepribadian bangsa. Indonesia sendiri memiliki ribuan jenis folklore reliji yang sampai saat ini masih terus dilestarikan.

Upaya pelestarian ini penting, mengingat Selain sebagai warisan budaya, folklore reliji juga berkontribusi pada terwujudnya kerukunan umat beragama. Dalam konteks Gunungan Megono misalnya, tradisi ini berkontribusi pada terwujudnya relasi antar-agama yang harmonis.

Pemilihan Linggo Asri sebagai tempat digelarnya tradisi Gunungan Megono bukan tanpa alasan. Desa ini dikenal karena pluralitas keagamaan masyarakatnga. Di Linggo Asri ada beragam kelompok agama yang hidup berdampingan.

Yakni Islam, Hindu, Budha, dan Katolik. Di desa tersebut bahkan terdapat dua tempat ibadah yakni masjid dan pura. Maka tidak mengherankan jika Linggo Asri dinobatkan sebagai desa sadar kerukunan beragama oleh pemerintah Jawa Tengah.

Dari sini kita belajar bahwa folklore religi seperti tradisi Gunungan Megono ini efektif sebagai sarana perekat relasi antar agama. Gunungan Megono dikatakan sebagai folklore reliji, karena tradisi itu merupakan warisan nenek moyang yang kental akan nuansa keaagamaan.

Masyarakat yang berbeda agama bersedia berkolaborasi dan bersinergi menggelar acara tersebut dari persiapan hingga pelaksanaan, lantaran meyakini bahwa hal itu merupakan bentuk penghormatan terhadap para leluhur alias nenek-moyang.

Tentu ada banyak folklore reliji yang serupa dengan tradisi Gunungan Megono. Secara akademik, kekayaan itu harus didokumentasikan melalui riset atau penelitian mendalam. Sedangkan secara sosiologis, kita wajib melestarikan folklore reliji di Indonesia sebagai salah satu kekayaan kultural yang tidak ternilai harganya.

Dari sisi ekonomi, kegiatan berbasis folklore reliji seperti ritual Gunungan Megono, Lomban, dan sejenisnya tentu berpotensi mendatangkan keuntungan finansial. Di banyak daerah, kegiatan folklore reliji dikemas sebagai atraksi pariwisata yang menarik wisatawan datang.

Sedangkan sasi sisi sosial-keagamaan, ritual folklore reliji kiranya bisa menjadi sarana memperkuat ikatan persaudaraan antar-sesama agama, antaragama yang berbeda, sekaligus persaudaraan kebangsaan dalam konteks yang lebih luas.

Keberadaan folklore reliji sudah sepatutnya mendapatkan perhatian serius terutama di tengah derasnya arus puritanisme agama yang cenderung anti pada kebudayaan dan kearifan lokal. Oemerintah sawi pusat maupun daerah, ormas keagamaan, para tokoh agama, dan umat beragama harus bersinergi dalam memastikan folklore reliji itu tetap eksis dan lestari.

Facebook Comments