Desember adalah bulan Gus Dur. Sebab di bulan Desember inilah, kita kehilangan sosok presiden ke-4 Republik Indonesia tersebut. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur wafat pada 31 Desember 2009. Sepanjang hidupnya, Gus Dur telah banyak meninggalkan jasa, pemikiran, karya, dan manfaat yang begitu luas dan berharga bagi bangsa ini. Tak hanya bagi kalangan Muslim, namun juga umat agama lain di seluruh Indonesia, bahkan inspirasi bagi dunia.
Gus Dur adalah cendekiawan muslim yang teguh memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, toleransi, hingga keindonesiaan. Dalam hal keberagaman Islam, Gus Dur juga dikenal menyuarakan pentingnya pribumisasi Islam. Yakni gagasan tentang bagaimana mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Sebuah akomodasi atau rekonsiliasi harmonis antara agama dan budaya.
Di dalam tulisannya berjudul Pribumisasi Islam dalam buku Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan (Mizan: 2015), Gus Dur menjelaskan tentang Masjid Demak sebagai sebuah contoh konkret dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi tersebut. Ranggon atau atap yang berlapis pada masjid Demak diambilkan dari konsep “Meru” dari masa pra-Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotong sembilan susun tersebut menjadi tiga susun saja, sebagai lambang tiga tahap keberagamaan seorang Muslim: Iman, Islam, dan Ihsan.
Pada mulanya, orang baru beriman saja, kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (Ihsan) dengan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat. Dan pada tingkatan ini, jelas Gus Dur, mulai didasari bahwa keyakinan tauhid dan ketaatan pada syariat mesti berwujud kecintaan kepada sesama manusia.
Gagasan pribumisasi Islam mempertimbangkan kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa menambah atau mengurangi hukum itu sendiri. Gus Dur menegaskan, ini bukan upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman terhadap nas, dengan tetap memberikan peranan pada ushul fiqih dan qaidah fiqih. Di samping karena kebutuhan, pribumisasi Islam juga menjadi upaya mempertahankan dan menjaga jati diri masyarakat (bangsa) agar tidak hilang.
Di dalam konteks dakwah agama Islam, gagasan pribumisasi Islam oleh Gus Dur tersebut menyiratkan paradigma dakwah (Islam) Nusantara, sebagaimana sebelumnya telah lama ditunjukkan oleh para wali yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Yakni model dan pendekatan dakwah yang mengakomodasi dan mengapresiasi budaya lokal, menjadikannya sebagai media menyebarkan ajaran Islam.
Hal tersebut merupakan suatu pendekatan dakwah yang cerdas dan jenius. Sebab mampu menanamkan ajaran agama tanpa “menjajah” atau menghilangkan tradisi dan budaya masyarakat. Sehingga, masyarakat secara sukarela menerima dakwah atau ajakan tersebut dengan perasaan nyaman dan aman, bukan dengan tekanan, paksaan, dan ketakutan.
Pada gilirannya, paradigma dakwah Nusantara tersebutlah yang mampu menghasilkan keberagamaan Islam yang moderat, ramah, dan toleran. Inilah karakter khas masyarakat Islam di Indonesia yang sebenarnya. Yakni masyarakat beragama yang memiliki jiwa toleransi, menghormati perbedaan, berpikiran terbuka, ramah, dan selalu mengupayakan kebaikan, keselarasan, dan kemaslahatan hidup bersama. Dengan kata lain, suatu paradigma keberagamaan yang memegang teguh spirit keseimbangan, keharmonisan, atau semangat moderasi.
Semangat moderasi beragama, sebagai hasil dari dakwah berparadigma Nusantara tersebut, menjadi sangat penting untuk terus dijaga dan dikuatkan hari ini. Di samping memang paling sesuai dan cocok bagi masyarakat majemuk dan beragam seperti Indonesia, semangat moderasi tersebut akan menjadi perisai yang bisa menangkal penyebaran paham-paham radikalisme agama. Dengan semangat moderasi beragama—yang selalu menghendaki kebaikan, keselarasan, keharmoisan, dan kebaikan bersama—masyarakat akan menolak secara tegas paham-paham ekstremisme agama yang bercorak intoleran, mengajarkan kebencian, permusuhan, dan kekerasan terhadap sesama manusia.
Di samping itu, paradigma dakwah agama (Islam) Nusantara yang bercorak damai dan ramah, serta apresiatif terhadap tradisi dan budaya lokal tersebut juga menjadi fondasi bagi terbangunnya spirit kebangsaan. Sebab, model dakwah tersebutlah yang membuahkan kesadaran bahwa beragama bukan berarti menghilangkan jati diri keindonesiaan kita. Beragama juga tidak menghilangkan kecintaan kita pada Tanah Air Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dari sana, kita akan tegas menolak konsep negara khilafah yang selama ini disuarakan kelompok radikal-ektremisme agama.
Bagi kita umat Islam di Indonesia, membangun kehidupan bersama yang harmonis di tengah perbedaan dan bekerja sama menciptakan kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran adalah representasi ajaran agama Islam yang rahmatan lil alamin. Wallahu a’lam