Revivalisme Dakwah Nusantara Dan Historiografi Kebangsaan

Revivalisme Dakwah Nusantara Dan Historiografi Kebangsaan

- in Narasi
1260
0
Revivalisme Dakwah Nusantara Dan Historiografi Kebangsaan

Usia nusantara jauh lebih tua dari Indonesia. Kehadirannya baik secara nomenklatur maupun geografis telah menghiasi khasanah sejarah sejak masa lampau. Historiografi nusantara dengan demikian penting menjadi pijakan langkah pembangunan bangsa. Wawasan nusantara mesti terinternalisasi pada setiap anak bangsa. Melalui perjuangan panjang, Wawasan Nusantara diakui sebagai The Archipelagic Nation Concept melalui Konvensi Hukum Laut PBB Ke-III Tahun 1982 dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982).

Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Hari Nusantara pun disahkan menjadi hari perayaan nasional sejak diterbitkannya Keputusan RI Nomor 126 tahun 2001 yang diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Refleksi Hari Nusantara tentu tidak sebatas dalam perspektif kemaritiman semata. Dinamika nusantara hingga kebangsaan kontemporer salah satunya diwarnai oleh peran religiusitas melalui dakwah.

Tonggak dakwah di nusantara ditancapkan oleh Wali Songo. Prosesnya yang moderat, damai dan efektif mestinya terus dilestarikan dalam konteks kekinian. Dakwah nusantara dengan tetap menjaga orisinalitas ajaran agama penting dibangkitkan kembali. Revivalisme dakwah berbasis historiografi nusantara dibutuhkan di tengah era keterbukaan dengan gempuran budaya eksternal yang tajam ini.

Urgensi Historiografi

Sejarah nusantara merupakan guru dan modal sangat berharga. Kunci membangun keunggulan SDM yang berkarakter nusantara adalah memahami sejarah dan meneladani segenap nilai-nilai yang telah diletakkan para pendahulu bangsa.

Sejarah adalah sumber inspirasi sekaligus keteladanan. Aristoteles mengartikan sejarah sebagai suatu sistem yang mengidentifikasi kejadian dalam bentuk kronologi, yang menjelaskan kronologi dari terjadinya suatu peristiwa. Ia juga menyatakan bahwa sejarah menjadi sesuatu yang terjadi di masa lampau dan dapat dibuktikan dengan adanya catatan-catatan.

Topata (2020) menjabarkan bahwa historiografi memiliki empat fungsi. Pertama adalah fungsi pembelajaran. Edukasi atau pembelajaran sangat membutuhkan sejarah sebagai bahan ilmu pengetahuan. Namun tak hanya untuk bahan ilmu pengetahuan saja, sejarah menjadi salah satu guru terbaik yang dapat diambil hikmahnya. Anda bisa belajar dari kejadian masa lampau, dari sejarah yang tak akan terulang, untuk membangun kehidupan yang jauh lebih baik lagi.

Kedua adalah fungsi instruktif. Maksud dari fungsi sejarah sebagai fungsi instruktif adalah bahwa sejarah menjadi ilmu pengetahuan yang bisa dijadikan sebagai sebuah landasan teori. Teori yang lahir dari konsep dalam sejarah dapat digunakan dalam berbagai macam bidang, seperti dalam bidang konstruksi. Berbagai macam teknik konstruksi kuno menjadi salah satu bahan pembelajaran di bidang konstruksi. Selain itu, juga menjadi sebuah pelajaran bagaimana kehidupan masyarakat atau cara-cara mereka bertahan hidup di zaman dulu.

Ketiga adalah fungsi inspirasi. Untuk masa sekarang, sejarah menjadi hal penting. Dengan mengingat kegemilangan dan kesuksesan sesuatu melalui sejarah, akan membuat setiap orang tergugah untuk mencapai hal-hal yang sama baiknya, bahkan lebih dari pencapaian yang telah ditorehkan oleh sejarah. Misal inspirasi dalam bidang kuliner, kebudayaan, maupun lainnya.

Terakhir yaitu fungsi rekreasi. Banyak tempat-tempat bersejarah yang dijadikan sebagai objek wisata. Bangunan-bangunan kuno kini justru banyak dikunjungi oleh orang-orang untuk berwisata. Museum juga menjadi tempat penyimpanan sejarah zaman lalu yang banyak dikunjungi oleh wisatawan.

Sejarah tentu tidak sekadar ditempatkan dalam romantisme. Ia adalah guru yang harus digali nilai keteladanannya untuk dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman.

Agenda Dakwah

Dakwah merupakan upaya transformasi nilai-nilai keagamaan yang aplikatif. Ruang lingkup dakwah tidak semata pada aspek ritual, namun mestinya mampu menjangkau seluruh aspek kehidupan. Beberapa hal penting diupayakan dalam rangka optimalisasi kebangkitan dakwah bagi pembangunan bangsa dan peradaban dunia.

Pertama adalah holistik dan komprehensif. Dakwah mesti menjangkau mulai dari hal mikro hingga hal stategis atau makro. Seluruh aspek juga mesti tidak luput dari teropongnya. Sasaran pembangunan tidak hanya sekadar fisik sarana dan prasarana belaka. Aspek kualitatif berupa pembangunan manusia penting dioptimalkan secara utuh dan menyeluruh. Dialektika antara ajaran dengan modernitas dibutuhkan hingga tataran implementasi. Variasi metode dakwah dibutuhkan sesuai tahap atau kondisinya.

Kedua adalah profesional dan kontinu. Dakwah tidak boleh hanya dilakukan secara insidental. Dakwah dalam doktrin Islam adalah kewajiban sepanjang kehidupan. Dakwah juga mesti dilakukan secara sungguh-sungguh dan meyakinkan. Argumentasi atau landasan teologis yang dipadukan dengan gelaran ilmiah diperlukan dalam upaya ini.

Ketiga adalah inklusif. Islam bukanlan ajaran ekslusif, maka dakwah pun juga demikian. Islam bahkan terbuka dan membutuhkan kerjasama lintas agama dalam konteks keduniawian. Kementerian Agama dan otoritas atau ormas keagamaan dapat dioptimalkan koordinasinya. Dakwah dapat dioptimalkan kontribusinya untuk menggali dan membumikan nilai-nilai Islam. Nilai-nilai yang berpangkal spirtual tersebut juga penting didayagunakan bagi pembangunan daerah agar menyejahterakan, berkeadilan dan berkelanjutan.

Facebook Comments