Hamemayu Hayung Bawana dan Perdamaian Global

Hamemayu Hayung Bawana dan Perdamaian Global

- in Kebangsaan
5
0
Hamemayu Hayung Bawana dan Perdamaian Global

Eskapisme kerapkali menjadi stigma dari sebuah spiritualitas, entah itu spiritualitas yang berbasiskan agama ataupun spiritualitas yang berbasiskan budaya-budaya yang terwariskan.

Dalam sejarah peradaban Islam pernah pada suatu masa spiritualitas Islam atau tasawuf dituding sebagai sumber dari kemerosotan peradaban Islam. Bagi golongan yang memang terkesan meletakkan agama sebagai sesuatu yang lebih besar daripada Tuhan itu, tasawuf seolah-olah seperti platonisme yang meyakini bahwa kesejatian itu adalah di alam ide dan bukannya di alam kenyataan yang sekedar pantulan dari ide-ide.

Padahal, ketika mau menyeksamai, justru spiritualitas semacam tasawuf itulah yang membuat sebuah peradaban menjadi agung. Tentu ukuran kebesaran peradaban di sini adalah ketika semakin maju sebuah peradaban, berarti juga semakin spiritual sebuah peradaban itu.

Dengan demikian, dari sisi ilmu pengetahuan dan kebudayaan, kemajuan dan spiritualitas adalah dua hal yang seiring dan sejalan.

Di Jogja terdapat tilaran sebuah spiritualitas yang mewujud pada tata ruang kota yang telah mendapatkan pengakuan dari UNESCO: sumbu filosofis yang mengandung konsep “sangkan-paraning dumadi.”

Ketika ditautkan dengan tudingan dari golongon yang kurang banyak belajar itu, apakah kemudian Jogja, atau Jawa pada umumnya, merosot atau mengalami sebuah kemunduran peradaban?

Barangkali, dengan kembali merujuk pada golongan orang yang kurang banyak belajar itu, yang kerapkali juga berbungkuskan agama tertentu, sangkan-paraning dumadi bukanlah sebentuk keteladanan dari Kanjeng Nabi, meskipun dalam banyak catatan sejarah, ia dikabarkan (atau mengabarkan diri) mengenali terlebih dahulu dirinya (tahanuts di gua Hira’), meletakkan keadaan dirinya dengan TuhanNya, dan kemudian turut memperbaiki dunia (menciptakan masyarakat madani).

Dalam konsepsi Jawa, apa yang pernah diteladankan oleh Kanjeng Nabi itu dikenal dengan konsep “sangkan-paraning dumadi,” “manunggaling kawula-Gusti,” dan “hamemayu hayuning bawana,” yang merupakan tiga faktor kemanusiaan yang tak bisa diceraikan alias otomatis.

Maka, bagi yang paham spiritualitas, tudingan dari golongan orang yang kurang banyak belajar itu adalah sebentuk kebohongan. Bagaimana bisa ketika orang sudah mengenal dirinya, yang secara otomatis sudah pasti mengenal Tuhannya, dan secara otomatis pula akan menyikapi dunia yang mengitarinya dengan kondisi yang berbeda ketika sebelum mengenal dirinya, dapat dihukumi sebagai sebentuk eskapisme?

Taruhlah konsep perdamaian global yang menjadi substansi dari kebijakan luar negeri Indonesia yang berdasarkan UUD ’45. Bagaimana bisa orang berbicara tentang perdamaian global sementara kedamaian dalam dirinya sendiri belum terwujud atau sama sekali tak ada?

Dalam kebudayaan Jawa, terdapat dua bentuk jagat yang saling wengku-winengku atau berkaitan satu sama lain: jagat cilik (diri manusia) dan jagat gedhe (dunia). Ketika jagat cilik itu sudah digenggam, maka secara otomatis pula jagat gedhe akan terwujud.

Sebab, dua jagat itu dipandang berasal dari bebakalan atau dzat yang sejatinya sama dan bersifat netral. Atau untuk menarik tilikan itu ke ranah yang lebih luas, sebenarnya perdamai global tak bisa pula dilepaskan dari perdamaian dalam negeri sendiri.

Tersebabkan pula, media di masa sekarang adalah sekedar perpanjangan dari indera-indera manusia yang merupakan pengait antara diri manusia dan dunia yang mengitarinya. Jadi, saya kira, perdamaian global tak bisa pula dilepaskan dari peran media yang merupakan perpanjangan dari indera-indera yang seturut dengan suasana kebatinan kita.

Facebook Comments