Persatuan merupakan konsekuensi logis yang harus dibangun di Indonesia, bahkan dalam landasan beragama merupakan hal penting harus dijaga. Dalam agama Islam konsep persaudaraan dikenal dengan ukhuwah, konsep dasar ini dilandasi dari tindakan Nabi Muhammad dalam melakukan integrassi antara kaum Ansor dengan kaum Muhajirin. Dari landasan dasar ini, konsep persaudaraan dibangun atas dasar iman.
Dalam konteks berbeda, persaudaraan di Indonesia dibangun melakukan konsep keimanan, dimana masyarakat dipersatuan dalam Pancasila. Dalam konsep ini, masyarakat kepulauan Nusantara yang terpisah secara geografis, kultural, suku, kerajaan dan bahasa berhasil bersatu membentuk identitas bersama yang di kemudian hari kita sebut sebagai Indonesia.
Namun bukan berarti konsep ukhuwah atau persatuan umat mudah diaplikasikan. Keragaman yang menyelimuti masyarakat Indonesia menjadi tantangan bagi penerapan konsep ideal itu. Dalam konteks Indonesia kekinian, keragaman pemikiran, praktik ritual, partai, dan kepentingan turut membuat umat Islam saat ini tampak tidak bersatu dan terkesan bercerai. Persoalan ini akan semakin rumit ketika pihak luar (the other) turut bermain dengan segala macam hiden agendas-nya.
Meskipun mewujudkan ukhuwah cukup sulit, tetapi untuk menjaga Indonesia dalam perpecahan persaudaraan tetap harus dilakukan. Salah satu tokoh yang dapat menjalankan dan mengiplikasikan persaudaraan dalam ranah lebih luas ada Hasyim Asy’ari. Dalam kontesk ini, beliau menekankan kepada tindakan welas asih antara sesama manusia. Dengan adanya welas asih ini, negara Indonesia menjadi negara yang damai dan makmur.
KH. Hasyim Asy`ari menegaskan bahwa, persatuan telah terbukti mendatangkan kemakmuran negeri, kesejahteraan rakyat, tersemainya peradaban, dan kemajuan negeri. Dalam Muktamar NU ke-16 tahun 1946, Hasyim Asy`ari mengungkapkan keprihatinan atas hilangnya persaudaraan sesama umat. Ini dibuktikan dengan kelaparan yang melanda umat Islam, tetapi tidak ada yang tergerak untuk menolong.
Kepedulian terhadap sesama manusia harus dibangun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa adanya kepedulian terhadap dalam kehidupan ini, maka masyarakat akan idividualis yang mengakibatkan acuh terhadap orang-orang di sekitarnya. Sifat ini dibiarkan tumbuh dalam diri masyarakat maka akan menjadi bumerang atau bom waktu terhadap kesetabilan masyarakat. Sebab masyarakat idividualis akan mudah dipecah belah terhadap perbedaan.
Selain menumpuhkan sifat welas asih, Hasyim Asy`ari juga menekankan kepada masyarakat agar tidak alergi terhadap perbedaan, terutama dalam beragama. Dalam Muktamar di Banjarmasin, KH. Hasyim Asy`ari mengangkat persoalan tersebut dalam sebuah sirkuler yang disebut al-Mawa’iz. Secara lugas beliau memberikan peringatan keras yang bahwa perbedaan pandangan keagamaan yang ada telah mengakibatkan berkobarnya permusuhan dan fitnah. Padahal Allah dan RasulNya melarang perbuatan tersebut.
Hasyim Asy`ari menganjurkan para ulama meninggalkan ta’assub (fanatisme) terhadap mazhab, karena ta’assub dalam persolan furû’ dan memegang satu mazhab atau pendapat adalah perbuatan yang tercela. Kecaman terhadap fanatisme dapat dipandang sebagai bentuk penghargaan terhadap pandangan yang berlainan.
Sikap toleransi yang dikembangkan oleh Hasyim Asy’ari terhadap perbedaan didasarkan pada sejarah khdiupan sabaha Nabi dan khazanah fikih yang begitu kaya dalam keragaman pandangan keagamaan. Hasyim Asy`ari menegaskan bahwa di kalangan sahabat Nabi Muhammad pun terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan furû’iyyah. Juga antara pemimpin Imam Mazhab. Imam Abu Hanifah dengan Imam Malik terdapat perbedaan lebih dari empat belas ribu persoalan, demikian pula antara Imam Ahmad bin Hanbal dengan Imam al-Shafi’i. Akan tetapi, hal itu tidak mendorong tumbuhnya permusuhan antara mereka.
Dua konsep, welas asih dan meninggalkan ta’assub, dalam yang diutarakan oleh Hasyim Asy’ari kemudian dijalankan para ulama masa kini, maka perbedaan dalam pandangan politik, tafsir agama dan berbagai perbedaan yang ada lantas dilandasi dengan sifat welas asih, maka kehidupan di Indonesia akan menjadi tentram. Pertanyaan kemudian, sudah kita atau para ulama menjalankan sifat ini?