Hidupkan Cyber Siskamling, Tangkal Radikalisme

Hidupkan Cyber Siskamling, Tangkal Radikalisme

- in Narasi
1316
0

Di era kemajuan teknologi komunikasi seperti sekarang ini, penyebaran paham radikal dan terorisme menjadi semakin mudah dan makin sulit dilacak. Melalui media internet, pola radikalisasi menjadi kian modern dan menyebar tanpa banyak tatap muka. Tak jarang juga, ia juga melibatkan organisasi yang sebetulnya masih “abu-abu” keterikatannya dalam menanamkan ideologi terorisme. Akibatnya, di beberapa tempat di Indonesia, masih banyak perilaku radikal (anti-kemanusiaan) dan bahkan ada yang rela melakukan bunuh diri dengan bom di tempat-tempat umum.

Pola Transnasional

Perlu dipahami, penyebaran ideologi radikal dan terorisme di dunia maya merupakan pola transnasional yang mengancam berbagai negara di dunia. Ayman al-Zawahiri, pemimpin Al-Qaeda pengganti Osama, pada 2005 menuliskan pesan kepada pimpinan Al-Qaeda di Irak (AQI), Abu Musab al-Zarqawi: ”Kita sedang dalam peperangan dan separuh lebih dari peperangan itu terjadi di media. Kita sedang dalam peperangan media demi merebut hati dan pikiran umat kita”. Jelas sekali, genderang peperangan media di ruang virtual telah lama ditabuh oleh kelompok teroris sebagai medan dan sekaligus strategi baru.

Irfan Amalee, Pendiri Peace Generation menyebutkan bahwa terdapat lima narasi yang dibangun kelompok-kelompok radikal di dunia maya. Pertama, narasi politik. Kedua, narasi sejarah. Dalam konteks narasi sejarah, kelompok radikali mempunyai kemiripan dengan khawarij. Dan pengulangan sejarah khawarij inilah diterapkan di masa sekarang. Sebagai contoh, berdasarkan sejarah, suatu negara itu dicap sebagai thagut dan yang taat pada sistem pemerintahan tersebut dianggap sebagai kafir. Sampai di sini, sistem kufur dan thagut wajib diperangi dan menganggap laku ini sebagai perang suci (jihad).

Ketiga, sosio-psikis dan keempat, instrumen. Kedua narasi ini diterapkan dengan cara mengimpor perubahan yang terjadi di negara lain yang menggunakan kekerasan. Dengan kata lain, narasi yang dikumandangkan adalah perubahan harus dilakukan dengan radikal. Mereka percaya, jalan kekerasan dihalalkan dalam melakukan sebuah perubahan. Tanpa hal itu, mereka yakin, mustahil mewujudkan ideologi yang diimpikan tersebut.

Kelima, narasi teologi. Dengan mengatasnamakan agama dan iming-iming surga, kelompok radikal berhasil membius orang awam untuk menjadi bagian dari kelompok mereka. Ketika sudah masuk dalam perangkap, orang awam tersebut menjadi sangat solid dan tidak takut mati. Ayat-ayat dan hadis-hadis dipahami secara serampangan sehingga melawan pemerintah yang sah dan menghabisi siapa pun yang menghalangi terwujudnya suatu tataran yang mereka inginkan adalah hal yang utama. Mereka seolah menegasikan perintah berdamai.

Hidupkan Cyber Siskamling

Kehadiran fenomena radikalisme di dunia maya terutama media sosial seakan membangunkan kesadaran kita bahwa ada celah bahkan lubang besar yang tak terpikirkan dan itu sangat efektif digunakan oleh kelompok teroris. Negara-negara di Barat, seperti Amerika, pasca-Tragedi September Kelabu bahkan telah menyadari kehadiran ancaman cyber terrorism. Mereka melalui semacam konsorsium beberapa perguruan tinggi dengan pemerintah membentuk komite yang khusus menangani terorisme melalui teknologi dan informasi. Kenyataan ini semakin memperjelas bahwa fenomena radikalisme di dunia maya memang menjadi ancaman berbahaya yang bagi keutuhan sebuah bangsa.

Di Indonesia, memang sudah ada polisi siber yang berkeliling mengawasi media sosial agar tidak ada akun-akun yang dapat dengan leluasa menyebarkan paham radikal dan terorisme. Hanya saja, mengingat banyaknya akun di dunia maya, tentu bisa jadi gerakan polisi siber belum bisa maksimal. Oleh sebab itu, dibutuhkan sinergitas antara pemerintah melalui polisi siber dengan masyarakat guna mengoptimalkan peran tersebut. Jika polisi mengawasi melalui patroli siber (cyber patrol), maka masyarakat juga berpatroli melalui cyber siskamling (sistem keamanan keliling siber). Ini dilakukan dengan cara: jika didapati situs tertentu atau akun media sosial tertentu yang digunakan untuk menyebar paham radikal dan terorisme, maka harus segera dilaporkan agar dapat ditindak secara tegas.

Cyber siskamling sebagai upaya menangkal radikalisme merupakan kewajiban bersama dalam menciptakan Indonesia sebagai negara yang nyaman dihuni. Negara yang damai dan tentram, bukan hanya di media sosial, tapi juga dalam realitas kenyataan. Fakta telah membuktikan bahwa radikalisme di dunia maya menjadi ancaman serius bagi keutuhan bangsa. Mudahnya seseorang percaya terhadap apa yang dia baca di dunia maya, menjadikan kita harus cerdas dalam membaca setiap berita dan informasi. Di sisi lain, guna menanggulangi agar tidak ada orang lain yang terpengaruh lalu bertindak radikal, maka kita harus mengantisipasinya dengan melaporkan temuan konten radikal tersebut.

Jadi, mari kita hidupkan prinsip cyber siskamling dalam diri setiap elemen masyarakat. Jika setiap masyarakat sadar akan pentingnya cyber siskamling dan bahu-membahu melakukannya, niscaya dunia maya dan media sosial aman dari penyebaran paham radikal. Implikasinya, Indonesia akan menjadi negara yang aman dihuni, jauh dari perilaku-perilaku radikal. Wallahu a’lam.

Facebook Comments