Hijrah dan Persaudaraan Lintas Agama

Hijrah dan Persaudaraan Lintas Agama

- in Narasi
1465
0
Hijrah dan Persaudaraan Lintas Agama

Hijrah Nabi begitu monumental. Menjadi titik balik sejarah dan diabadikan sebagai awal perhitungan kalender umat Islam. Apa yang membuatnya begitu monumental? Jawabannya adalah ukhwah, persaudaraan. Nabi hijrah secara substansial. Persaudaraan adalah hal yang paling substansial dalam membangun masyarakat.

Sesampainya di Madinah yang pertama kali dibangun oleh Nabi bukan bentuk fisik Madinah dan manusia di dalamnya, melainkan mental dan batin masyarakat, berupa rasa persaudaraan, rasa solidaritas, dan rasa senasib sepenanggungan sesama warga Madinah.

Nabi menghilangkan sekat-sekat kesukuan, meleburkan dalam satu wadah yang disebut dengan Piagam Madinah. Agama, keyakinan, suku, ras, jenis kelamin, dan budaya ditinggalkan sejenak, menuju satu kalimat, yakni sama-sama warga Madinah, yang mempunyai kedudukan yang sama dan setara.

Peralihan dari sistem kesukuan sebelum Nabi datang menuju sistem kewargaan sesudah Nabi datang, merupakan landasan filosofis yang sangat maju, yang era sekarang dijadikan sebagai basis kewargaan ala negara bangsa.

Semangat persaudaraan yang dibangun Nabi sejatinya adalah kelanjutan dari semangat persaudaraan yang jalankan oleh Negus, Raja Habsyah (Etiopia sekarang) yang menjadi tujuan hijrah pertama kali kaum Muslim di Mekkah.

Negus dan Kebebasan Beragama

Peristiwa hijrah pertama kali dilakukan oleh kaum muslimin adalah hijrah menuju Habsyah. Sebab mendapat tekanan dan siksaan yang luar biasa menyakitkan, membuat Nabi memberangkatkan sebagian sahabatnya ke satu negeri yang memberikan rasa aman. Di negeri ini, kaum muslim disambut dengan hangat dengan tangan terbuka. Raja menjamu dan bersedia mendengarkan keluhan para Sabat Nabi itu.

Tak berhenti di situ, sang penguasa negeri ini memberikan kebebasan beragama, kebebasan menjalankan keyakinan para tamunya. Dalam bahasa sekarang, sang raja tak hanya terbuka, tetapi siap melaksanakan toleransi kepada orang yang berbeda keyakinan dengannya.

Sikap Raja Habsyah ini seharusnya menjadi iktibar bagi para pemerintah dan pengambil kebijakan untuk melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan di negeri ini. Sikap mengakomodir semua agama dan aliran kepercayaan. Tidak ada pembedaan pelayanan dan hak eksklusif terhadap agama tertentu.

Hal yang sama juga harus menjadi bahan refleksi bagi setiap anak bangsa. Sikap toleransi harus dijunjung tinggi. Jika tidak bisa melakukan model toleransi pro-eksistensi, setidaknya bisa menerima co-eksistensi.

Pro-eksistensi adalah hidup yang saling memberdayakan antara sesama, sekalipun beda agama dan keyakinan. Co-eksistensi hanya berhenti pada hidup saling berdampingan. Jika tidak bisa yang pertama, seharusnya bisa melakukan yang kedua.

Membangun Masyarakat Plural

Kehangatan dan sambutan Raja Habsyah itu sangan membekas pada diri Nabi dan sahabatnya. Sebagian sahabat bahkan ada yang memutuskan untuk tinggal di Habsyah, tidak kembali lagi ke Mekkah. Nabi sendiri saking terpesonanya, melakukan salat gaib terhadap ketika Raja yang mulia itu meninggal.

Pengalaman yang berharga yang diterima oleh kaum muslim di Habsyah menjadi modal bagi Nabi, bahwa membangun Madinah, kota yang sangat plural, hal yang utama adalah persaudaraan. Nabi memberikan kebebasan beragama, menempatkan semua golongan dalam satu frekuensi.

Spirit persaudaraan dan kebebasan beragama yang diberikan oleh Nabi ini, mulai hilang di tengah-tengah masyarakat kita. Hanya sebab alasan beda pilihan politik, beda pandangan soal kebijakan, beda pemahaman keagamaan, kita dengan mudah saling mencaci, memaki, memfitnah, dan menyebar hoax dan ujaran kebencian. Kita lupa, bahwa kita adalah sama-sama satu bangsa, satu bahasa, dan sama-sama tinggal di bumi yang sama. Indonesia.

Sikap sosial inklusif yang diajarkan oleh Nabi seharusnya menjadi pegangan kita bersama. Kita harus menempatkan persaudaraan di atas segalanya. Kita boleh berbeda pendapat, beda pilihan politik, beda pemahaman keagamaan, akan tetapi jangan sampai merusak tenun kebangsaan yang sudah dibangun oleh para pendiri bangsa ini. Jika kita tidak bisa merawat tenun itu, setidaknya kita jangan merusaknya apalagi mencampakkannya.

Sikap saling memahami, saling menjaga, dan saling memberdayakan harus menjadi prioritas kita bersama dalam membangun hubungan lintas agama. Kita adalah saudara, sekalipun bukan saudara se-akidah, tetapi kita semua adalah saudara sesama anak bangsa. Sikap saling asah dalam beragama harus diparaktikkan dalam kehidupan beragama. Hijrah substansial sudah mengajarkan kepada kita, bahwa letakkan persaudaraan di atas segalanya.

Facebook Comments