Hijrah Bukan Lari dari Kenyataan, Tetapi Berani Menerima Perbedaan

Hijrah Bukan Lari dari Kenyataan, Tetapi Berani Menerima Perbedaan

- in Narasi
1438
0
Hijrah Bukan Lari dari Kenyataan, Tetapi Berani Menerima Perbedaan

Dalam satu dekade terakhir, kata hijrah menjadi tenar dan tren sebagai jalan hidup baru. Banyak orang-orang beken yang memiliki popularitas memilih untuk bermigrasi dari kehidupan yang selama ini dijalaninya menuju suasana kehidupan yang baru. Artis, musikus, selebritis, guru, anak kuliahan dan anak-anak muda yang ramai-ramai berhijrah.

Saya menyangka, fenomena ini bukan ada tanpa sebab. Ini adalah pengaruh doktrin aliran tertentu dalam agama Islam. Kenapa demikian? Karena kerap kali kaum hijrah melakukan provokasi dengan cara menyalahkan orang lain yang dalam bahasa mereka disebut “orang-orang yang masih di alam kejahiliyahan”.

Padahal, sebenarnya kaum hijrah telah mendistorsi makna hijrah itu sendiri. Sebab hijrah hanya ditampilkan dalam bentuk formalitas ajaran, seperti cara berpakaian. Ini kemudian meresahkan masyarakat karena yang terjadi adalah menyalahkan umat Islam lain yang tidak semadzhab dengan mereka.

Banyak pekerjaan yang dibilang tidak sesuai dengan ajaran agama, termasuk profesi lama yang membuat mereka terkenal, seperti penyanyi dan musisi. Padahal ini adalah wilayah khilafiyah yang hukumnya tidak hitam putih. Lebih dari itu, tuduhan sesat, bid’ah dan kafir kerap juga dilontarkan. Hal tersebut yang kemudian meresahkan karena dapat mengoyak keutuhan kesatuan dalam hidup bernegara.

Dalam konteks ini, terasa janggal sekali ketika hijrah dimaknai dari sikap yang terbuka terhadap perbedaan, justru menjadi sangat ekslusif. Berhijrah yang sejatinya ingin “memperbaiki” diri tetapi jatuh dalam mengoreksi orang lain yang seolah salah semua. Orang yang berhijrah kemudian identik dengan lari dari kenyataan.

Ya, sangat ironis hijrah seolah menjadikan diri menjauh dari orang lain dan lari dari kenyataan. Bahwa dunia ini sangat beragam kemudian dingkari dan hanya dilingkari untuk komunitasnya saja. Inilah fenomena hijrah yang salah kaprah dalam mengambil pelajaran dari semangat hijrah Nabi.

Makna dan Semangat Hijrah

Hijrah berasal dari bahasa Arab dari kata “Hajara”. Secara bahasa berarti berpindah, bergerak, berpisah, pasrah, bertamasya dan lain-lain. Dalam term agama, kata hijrah khusus dipakai untuk menggambarkan perpindahan Nabi dan para sahabat dari Makkah yang berlangsung selama dua gelombang. Pertama ke Ethiopia dan berikutnya ke Madinah. Yang paling masyhur kata hijrah dipakai untuk menunjuk migrasi Nabi dan sahabat dari Makkah ke Madinah.

Dari sini, ada makna yang bisa dipahami. Yakni, hijrah dengan makna yang sebenarnya merupakan pergeseran secara fisik dari satu tempat ke tempat yang lain karena satu sebab dan alasan. Dalam konteks hijrahnya Nabi, beliau melakukan hijrah karena situasi yang begitu mencekam dan menekan umat Islam. Umat Islam terancam jiwanya karena tekanan yang dilakukan secara massif.

Oleh karena itu, hijrah tidak bisa dimaknai hanya sekedar perubahan laku formalitas seperti cara berpakaian dan beragama dengan memilih satu model madzhab dengan menafikan model madzhab lain. Apalagi, kalau kemudian memunculkan sikap egoisme kebenaran, merasa paling benar sehingga yang lain tidak benar, salah, kafir dan kalau mungkin harus dilenyapkan.

Maka dalam hal ini diperlukan pemahaman yang kompleks dan syamil supaya tidak sepotong memahami kata hijrah yang akibatnya adalah perpecahan di tengah masyarakat yang bisa mengoyak keutuhan kebangsaan. Hijrah sekali lagi bukan semakin menutup diri, tetapi menerima kenyataan. Lihatlah bagaimana Rasulullah hijrah dari ketertindasan menuju lingkungan yang beragam dan multikultural.

Perlu Gagasan Hijrah Kebangsaan

Dalam konteks Indonesia sebagai negara yang majemuk, diperlukan satu formulasi makna hijrah yang berwawasan kebangsaan. Hijrah harus dimaknai lebih substanstif. Tegasnya, hijrah bukan hanya perpindahan secara fisik atau perubahan model berpakaian dan atribut formalitas agama yang lain, lebih dari itu, hijrah adalah perubahan pola hidup beragama menuju masyarakat madani seperti Madinah.

Seperti tercermin dalam piagam Madinah, misalnya, Madinah di bawah kekuasaan Nabi merupakan negara yang menerima perbedaan agama. Di Madinah tidak hanya satu agama akan tetapi multi agama dan etnis. Nabi mampu mengayomi semuanya dalam satu ikatan yang harmonis.

Demikian pula sahabat-sahabat, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama mencerminkan sikap beragama sesuai akhlak dan misi Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin. Sehingga Madinah muncul sebagai negara yang beradab dan berhasil membentuk masyarakat yang berkeadaban. Hijrah Nabi adalah cerminan bagaimana keluar dari kondisi yang aman kepada kondisi damai yang beragam.

Hijrah Nabi bukan semakin menutup diri dengan lingkungan yang kecil. Hijrah Rasulullah memulai kondisi baru yang luas dan beragam. Umat Islam dikenalkan dengan berbagai keyakinan dan suku yang bisa hidup berdampingan. Dan satu hal penting bahwa hijrah mengajarkan umat Islam menerima perbedaan sebagai satu umat yang saling menghargai dan mengasisi.

Facebook Comments