Hijrah Menjadi Muslim Pancasilais

Hijrah Menjadi Muslim Pancasilais

- in Narasi
1
0
Hijrah Menjadi Muslim Pancasilais

1445 tahun yang lalu, Nabi Muhammad berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib yang kelak bernama Madinah. Peristiwa monumental dan dramatis itu menandai babak baru perjalanan dakwah Islam. Bisa dikatakan, hijrah adalah tonggak awal dimulainya peradaban Islam yang menjadi fondasi dunia Islam saat ini.

Hijrah yang dilakukan Rasulullah kala itu adalah manifestasi dari perubahan fisik, pandangan, dan sikap. Kondisi tidak akan membuat Rasulullah harus meninggalkan Mekkah.

Kekerasan dan intimidasi yang diterimanya dari Suku Quraisy memaksa ia menyingkir dari kota kelahiran yang sangat dicintainya itu. Hijrah fisik ini menyiratkan pesan bahwa kekerasan tidak harus selalu dilawan dengan kekerasan. Menyingkir bisa jadi adalah bentuk perlawanan yang bijak. Hijrah bukan manifestasi kekalahan apalagi sikap menyerah, melainkan bagian dari strategi bertahan.

Di era sekarang, umat Islam menghadapi tantangan keamanan yang lebih kompleks dibanding zaman Nabi. Dalam konteks kekinian, ancaman keamanan dan intimidasi itu tidak hanya dilatari oleh faktor keagamanan, namun melibatkan problem geopolitik yang lebih rumit.

Ada kepentingan ekonomi, politik, budaya, dan sosial yang berkelindan membentuk jejaring masalah yang kompleks. Jika Rasulullah di masa lalu menghadapi perilaku destruktif dari kaum oligarki suku Quraisy, umat Islam hari ini menghadapi tantangan dari banyak sisi. Mulai dari sisi eksternal maupun internal.

Dari sisi eksternal, dunia Islam dihadapkan pada kontestasi ekonomi dan politik. Banyak negara muslim, apalagi di kawasan Timur Tengah memiliki sumber daya alam yang melimpah.

Menjadi wajar jika Timur Tengah menjadi ajang perang proksi antarberbagai kekuatan negara adidaya, seperti Amerika Serikat, China, Rusia, dan negara-negara Eropa. Kekerasan dan perang yang terjadi di sejumlah negara muslim belakangan ini dilatari salah satunya oleh perebutan sumber daya alam.

Dari sisi internal, dunia Islam hari ini dihadapkan pada ancaman radikalisme dan ekstremisme yang mengancam nilai kemanusiaan. Radikalisme dan ekstrmisme tumbuh dilatari oleh pemahaman tekstual literal atas ajaran Islam.

Kelompok radikal ekstrim membajak ajaran agama untuk membenarkan tindakan destruktif yang mereka lakukan. Agama dijadikan alat melegitimasi teror dan kekerasan yang mengancam umat manusia.

Di tengah tantangan yang kompleks itulah, penting kiranya umat Islam merekonstruksi makna hijrah agar relevan dengan tendangan zaman. Ironisnya, penafsiran hijrah yang paling mainstream hari ini di kalangan umat Islam cenderung tidak relevan dengan tantangan zaman.

Di sebagian kalangan muslim, istilah hijrah ditafsirkan sebagai perilaku mengamalkan agama secara simbolik dan dangkal. Seorang muslim mengklaim dirinya berhijrah jika sudah memakai pakaian muslim, mengadaptasi gaya hidup kearab-araban, anti pada budaya populer seperti musik, dan menjaga jarak dengan tradisi lokal.

Penafsiran hijrah yang marak di kalangan muslim kelas menengah perkotaan ini cenderung menyuburkan perilaku intoleran. Padahal, intoleransi adalah lahan subur bagi tumbuhnya radikalisme dan ekstremisme.

Fenomena hijrah lantas melahirkan gejala konservatisme agama. Umat Islam semakin saleh dalam beribadah dan menjalankan ajaran Islam, namun di saat yang sama, perilaku intoleran juga kian mewabah.

Lanskap sosial masyarakat pun diwarnai oleh relasi antar-agama yang penuh kecurigaan, bahkan kebencian. Umat Islam menjadi mudah diadu-domba dan diprovokasi untuk membenci kelompok lain.

Provokasi kebencian itu kian menjadi-jadi saban kali terjadi konflik atau perang yang melibatkan umat Islam di belahan bumi lain.

Dalam konteks keindonesiaan, hijrah lebih tepat dimaknai sebagai sebuah perubahan paradigma berpikir dan berperilaku dalam kehidupan sosial keagamaan. Alias bukan sekedar perubahan fisik secara artifisial seperti memanjangkan jenggot, mengenakan celana di atas mata kaki, menghitamkan jidat, menolak musik, apalagi mengharamkan tradisi.

Hijrah dalam konteks keindonesiaan hari ini idealnya mewujud pada transformasi sikap, dari yang tadinya masih terbelenggu oleh fanatisme menjadi lebih moderat, dari yang tadinya masih intoleran, menjadi inklusif, dan yang tadinya destruktif menjadi konstruktif.

Berhijrah artinya mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan prinsip kebangsaan. Inilah yang dimaksud sebagai hijrah menuju insan yang Pancasilais. Yakni individu yang menghayati dan mengamalkan prinsip dan nilai Pancasila dalam setiap lini kehidupan.

Hijrah tidak berarti harus meninggalkan identitas keindonesiaan dan anti pada lokalitas. Sebagaimana hijrah Rasulullah. Ia tidak lantas membenci budaya Mekkah dan meninggalkan identitas awalnya.

Selepas hijrah ke Madinah, ia tetap mempertahankan identitas kearabannya. Tidak ada yang berubah dari fisik atau penampilan Rasulullah pasca hijrah. Yang berubah adalah gerakan dakwahnya. Hijrah menjadi insan yang Pancasilais adalah sebuah komitmen untuk mendalami Islam, tanpa meninggalkan prinsip kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.

Facebook Comments