Dalam sejarah Islam, hijrah bukan sekadar perpindahan geografis. Ia adalah transformasi nilai, perubahan cara pandang, dan kelahiran kembali dalam misi kemanusiaan. Nabi Muhammad SAW berhijrah dari Makkah, kota kelahiran yang penuh penindasan, menuju Madinah—sebuah ruang baru tempat beliau membangun peradaban damai, keadilan sosial, dan toleransi antarkelompok.
Makna hijrah itu kini menemukan relevansinya kembali di tengah kisah nyata para mantan pelaku terorisme yang memilih untuk berpaling dari jalan kekerasan menuju cinta kepada tanah air. Mereka dulu menolak Pancasila, mencibir bendera merah putih, dan menyebut Indonesia sebagai thaghut (sistem sesat). Namun kini, mereka berdiri di barisan depan membela keutuhan bangsa, mengibarkan bendera dengan bangga, dan menjadi penyuluh perdamaian bagi generasi muda.
Dari Simbol Kebencian ke Simbol Pengabdian
Sebut saja kisah Abdul Wahid (nama samaran), seorang eks narapidana terorisme (napiter) yang pernah aktif dalam jaringan kekerasan bersenjata. Di masa lalu, ia menyimpan kebencian mendalam terhadap negara. Upacara bendera dianggap syirik. Pemerintah dilabeli sebagai musuh Islam. Semua narasi dibingkai dalam hitam-putih: kami yang benar, mereka kafir.
Namun, setelah menjalani masa hukuman, mengikuti program deradikalisasi, dan berdialog dengan ulama-ulama moderat, perlahan hatinya luluh. Ia mengaku bahwa kebenciannya dahulu lahir bukan dari dalil agama yang sahih, melainkan dari doktrin yang dipelintir dan dipropagandakan secara sepihak. “Dulu saya buta, mengira jihad itu membunuh siapa saja yang tak sejalan. Sekarang saya sadar, jihad sejati adalah membangun dan menjaga, bukan menghancurkan,” tuturnya.
Transformasi seperti inilah yang seharusnya dimaknai sebagai hijrah kontemporer: hijrah dari gelapnya permusuhan menuju cahaya cinta dan pengabdian.
Hijrah: Dari Mekanisme Perlawanan ke Misi Peradaban
Hijrah Nabi ke Madinah adalah tonggak penting dalam sejarah Islam. Di sana, Nabi membangun piagam kebangsaan yang menghormati perbedaan suku, agama, dan keyakinan. Nabi tidak mendirikan negara teokratis, melainkan masyarakat madani yang berlandaskan keadilan dan penghormatan terhadap kemanusiaan.
Inilah pelajaran besar bagi siapa saja yang pernah terjebak dalam pola pikir takfiri dan ideologi transnasional. Indonesia bukan negara kafir. Ia rumah bersama yang dibangun oleh para pejuang lintas agama, etnis, dan latar belakang. Mencintai Indonesia adalah bagian dari iman, karena menjaga negeri adalah bagian dari menjaga kehidupan umat.
Mantan pelaku teror yang berhijrah secara ideologis kini banyak yang menjadi agen perdamaian. Mereka hadir di tengah masyarakat, berbagi pengalaman, dan memperingatkan generasi muda tentang bahaya jalan kekerasan. Perjalanan mereka membuktikan bahwa manusia bisa berubah. Bahkan dari reruntuhan kebencian pun, bunga-bunga cinta bisa tumbuh.
Tanah Air Bukan Musuh, Tapi Amanah
Cinta tanah air bukan berarti menomorduakan agama. Justru dalam Islam, menjaga kedamaian negeri adalah wujud nyata dari ajaran agama itu sendiri. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa tidak menyayangi manusia, maka dia tidak disayangi oleh Allah.” (HR. Bukhari-Muslim). Menyayangi manusia berarti menjaga negaranya dari kehancuran, memelihara kerukunannya, dan menolak jalan kekerasan yang merusak.
Ketika seorang mantan pelaku teror memilih untuk mengabdi kepada bangsa, itu adalah langkah hijrah sejati. Ia menanggalkan dendam, membuang kebencian, dan memilih jalan damai. Hijrah seperti inilah yang lebih berat dari sekadar berpindah tempat—karena ia menuntut keberanian untuk berubah dan keikhlasan untuk memperbaiki diri.
Mari jadikan negeri ini sebagai “Madinah” bersama, tempat lahirnya semangat hidup damai, adil, dan beradab. Mari dukung setiap proses hijrah ideologis dengan tangan terbuka, bukan curiga yang membelenggu. Karena dalam setiap perubahan, selalu ada peluang untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Hijrah bukanlah milik masa lalu. Ia adalah ajakan abadi untuk berubah ke arah yang lebih baik—dari kebencian ke kasih sayang, dari kekerasan ke kedamaian, dari perpecahan ke persatuan. Dan hijrah yang paling indah hari ini adalah hijrah mencintai negeri sendiri, Indonesia tercinta.