Salah satu hasi survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang cukup mencengangkan adalah lumayan tinggi prosentase kesediaan ikut berperang di negara lain untuk membela agama yang dianiaya. Mereka yang menjawab sangat setuju 5 persen, setuju 31 persen, tidak setuju 43 persen.
Pertanyaan selanjutnya, bolehkah dengan alasan jihad masyarakat Indonesia ikut berperang keluar negeri tanpa izin negara atau pemerintah (amir)? Fenomena inilah yang mengingatkan bagaimana banyak masyarakat Indonesia dan berbagai negara yang beranjak ikut perang di Irak dan Suriah dengan alasan Jihad. Bagaimana hukum Islam memandang masalah ini.
Memahami Arti Jihad
Jihad berasal dari akar kata “juhd”, secara bahasa bermakna; usaha, jerih payah dan kesukaran. Ibnu Mandzur dalam al Lisanul ‘Arab menjelaskan, jihad adalah perjuangan melawan musuh, mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai keinginan atau menolak sesuatu yang dibenci.
Dalam terminologi fikih, jihad berarti perjuangan orang yang beriman dengan mencurahkan kemampuan moril dan materil; tenaga, pikiran, maupun harta untuk menegakkan agama Allah dan meninggikan kalimat-Nya. Empat imam madhab fikih masing-masing telah merumuskan definisi jihad. Dari definisi mereka dapat disimpulkan, jihad adalah pengerahan kemampuan secara serius dan sungguh-sungguh dengan pengorbanan harta dan jiwa untuk menegakkan agama Allah dan mempertahankannya sesuai aturan hukum Islam.
Jihad merupakan ibadah yang sangat mulia. Di era awal Islam, Nabi dan kaum Muslimin mendapat perintah berupa ujian supaya sungguh-sungguh dan bersabar menanggung resiko kesulitan, intimidasi, bahkan kekerasan dalam menyampaikan dakwah. Sebab itu, doktrin jihad pada era awal tersebut dikenal dengan sebutan “Al Jihad fi Allah” atau “Al Jihad fi Sabilillah”.
Kemudian turun ayat yang memerintahkan umat Islam untuk memerangi kaum kuffar, seperti surat al Hajj ayat 39-41. Setting historis turunnya ayat-ayat perintah perang (Qital) setelah umat Islam diperangi karena agama, serta terancam terusir dari kampung halaman.
Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjadi dalil diizinkan berperang (al Qital) harus dibaca secara komprehensif, tidak boleh parsial supaya tidak menimbulkan pemahaman yang keliru tentang jihad dan Qital karena keduanya memiliki konotasi makna yang berbeda. Surat al Hajj ayat 39-41, menurut Muhammad Khudlari Bek dalam kitabnya Tarikh al Tasyri’al Islami, merupakan Wahyu pertama yang memebolehkan umat Islam untuk berperang pada periode Madinah. Dengan demikian, ijin untuk berperang baru turun setelah Nabi Hijrah, bukan sebelumnya.
Namun dalam memahami ayat-ayat tentang Qital dan jihad harus dibaca tanpa melepas setting historis atau latar belakang kondisi umat Islam di Madinah dan sebab-sebab sehingga umat Islam diijinkan untuk berperang. Sebab, sekalipun ayat-ayat tersebut sebagai legitimasi perang, tetapi ada syarat-syarat yang harus dipatuhi, yakni umat Islam tidak boleh melakukannya secara konfrontatif dan ofensif.
Umat Islam diijinkan untuk berperang manakala mereka diserang (ofensif). Artinya, perang adalah pilihan terakhir karena agama Islam mengusung misi kemanusiaan universal. Kedamaian dan ketenteraman tetap menjadi tujuan utama. Bahkan, disaat berkecamuknya perang sekalipun, ada kode etik atau aturan ketat yang harus dipatuhi oleh umat Islam (QS. al Baqarah: 190-194).
Tetapi, belakangan, pemaknaan jihad direduksi sedemikian rupa. Jihad dijadikan senjata fenomenal untuk memerangi “yang lain”. Alhasil, terjadi kesemrawutan pemahaman jihad karena dominan dipakai untuk kepentingan dan tujuan politis. Terjadinya kasus-kasus kekerasan, seperti bom bunuh diri, adalah korban dari penyelewengan makan jihad. Yang terjadi sesungguhnya bukan jihad, tetapi “jihad semu”, doktrin jihad ditujukan untuk memerangi kelompok lain.
Begitu pula seruan berjihad ke negara lain dengan asumsi umat Islam telah diperangi karena agama, maka umat Islam dibelahan bumi manapun harus turun berjihad, sekalipun ke negara lain. Misalnya, ke Rohingya dan Palestina. Seruan jihad seperti itu merupakan tindakan melampaui batas karena kita belum tau secara persis yang terjadi disana, apakah memang murni perang agama atau hanya sekadar akibat dari pertarungan kepentingan politik.
Sekalipun perang yang terjadi memang benar-benar jihad dalam pengertian hukum Islam, namun bagi umat Islam yang berdomisili di negara lain tidak serta merta harus turun gelanggang secara bebas. Ada persyaratan yang harus dipenuhi lebih dahulu, baik masalah di keluarga maupun terkait dengan administrasi atau bahkan ijin dari pemerintah.
Penuhi Syarat-syarat Berjihad Perang!
Semuanya sepakat, jihad adalah perbuatan mulia. Namun demikian, tetap ada syarat yang harus diperhatikan dan dipenuhi. Sekalipun ada seruan jihad bagi umat Islam, tidak berarti semua umat Islam boleh turun ke gelanggang jihad, hanya mereka yang layak berjihad yang diijinkan untuk ikut serta.
Diantara persyaratan untuk jihad fi sabilillah adalah adanya ijin dari orang tua sebagaimana pesan Nabi dalam hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim berikut.
“Seseorang telah datang kepada Rasulullah untuk meminta ijin berangkat jihad. Beliau bertanya, “adakah kamu masih punya kedua orang tua”? Dia menjawab, “Ya, masih”. Rasulullah berkata, “Berjihadlah pada keduanya”.
Hadits di atas menjelaskan keharusan mendapat ijin dari kedua orang tua sebelum berangkat berjihad. Apabila kedua orang tua tidak memberikan ijin karena beberapa pertimbangan, maka seseorang tidak boleh berjihad.
Selain ijin dari orang tua, syarat berikutnya adalah harus mendapat ijin juga dari pemerintah. Bahkan, ijin dari pemerintah bersifat mutlak karena bersinggungan dengan kemaslahatan bangsa yang biasanya tidak diketahui oleh masyarakat umum.
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. al Nisa: 59).
Ulil amri atau pemimpin adalah seorang yang mengatur urusan kenegaraan, kemaslahatan masyarakat dan yang menyatakan keadaan darurat. Ketaatan kepada pemerintah atau pemimpin menjadi pertimbangan utama sebelum berangkat berjihad ke negara lain.
Syarat lain yang harus dipenuhi sebelum berangkat berjihad adalah kemampuan finansial untuk nafkah keluarga yang akan ditinggalkan, biaya dalam perjalanan, perlengkapan perang, dll. Kewajiban menafkahi keluarga tetap menjadi kewajiban seorang suami sekalipun dalam keadaan berjihad. Nafkah keluarga tidak gugur sebab jihad. Nafkah disini bisa bersumber dari suami atau ada orang atau pihak yang menanggung nafkah keluarganya. Jika tidak, maka kewajiban berjihad gugur.
Allah berfirman: “Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit, dan atas orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al Taubah: 91).
Biaya dalam perjalanan jihad juga menjadi syarat yang harus dipenuhi. Sebab biaya perjalanan jihad menjadi tanggungannya atau ada orang atau pihak yang bersedia memenuhi biaya tersebut. Untuk memenuhi biaya jihad tidak boleh dengan cara mengemis atau meminta-minta, atau meminta orang atau pihak lain supaya menanggungnya. Sebab tindakan seperti itu bisa menyusahkan orang lain.
Allah berfirman: “Dan tiada berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”. Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan”. (QS. al Taubah: 92).
Termasuk kemampuan finansial adalah perlengkapan senjata. Dalam al Qur’an diterangkan: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu untuk menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya”. (QS. al Anfal: 60).
Syarat berikutnya adalah kesehatan jasmani. Jihad adalah pertarungan dengan adu kekuatan. Karenanya, fisik yang kuat dan sehat juga menjadi syarat untuk berjihad. Tidak mungkin berangkat ke medan jihad dengan kondisi fisik yang lemah. Untuk mengalahkan musuh butuh persiapan fisik yang prima dan kemampuan keprajuritan yang cukup.
Dalam al Qur’an dijelaskan, “Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih”. (QS. al Fath: 17).
Sampai disini, hukum berjihad ke negara lain tanpa ijin pemerintah telah terjawab. Umat Islam tidak diperbolehkan berjihad ke negara lain tanpa ijin dari pemerintah. Selain karena perintah dalam al Qur’an, pemerintah lebih paham akan pertimbangan kemaslahatan. Selama masih ada solusi lain yang lebih efektif, maka jihad ke negara lain tidak perlu dilakukan. Disamping itu, jihad tidak terbatas hanya perang fisik, namun bisa dengan harta dan pemikiran.