Ideologi Transnasional, Aktor Non-Negara dan Kedaulatan Bangsa

Ideologi Transnasional, Aktor Non-Negara dan Kedaulatan Bangsa

- in Narasi
1383
3
Ideologi Transnasional, Aktor Non-Negara dan Kedaulatan Bangsa

Globalisasi yang disokong oleh revolusi teknologi informasi dan komunikasi menghadirkan tantangan baru bagi dunia. Semua negara menghadapi arus sirkulasi ideologi yang masuk melalui berbagai macam saluran. Kondisi ini menghadirkan sisi positif dan negatif. Di satu sisi, masyarakat memungkinkan memiliki akses yang setara pada informasi dan ilmu pengetahuan. Di sisi lain globalisasi juga berdampak pada lunturnya karakter dan jati diri bangsa akibat infiltrasi ideologi transnasional.

Tantangan itulah yang tengah dihadapi bangsa Indonesia. Belakangan ini, Indonesia digempur dari beragam sisi oleh sejumlah ideologi transnasional. Dari sisi kiri, kita dihantui ideologi komunisme yang meski keberadaannya samar-samar namun mampu mengancam eksistensi bangsa dan negara. Komunisme saat ini memang tidak memiliki institusi formal, namun ia tetap memiliki simpatisan fanatik yang akan membahayakan negara jika diberikan ruang gerak bermanuver.

Dari sisi tengah, kita menghadapi ancaman liberalisme yang kerap dicitrakan sebagai gerakan pembebasan (liberation) manusia dari penindasan, kebodohan dan keterbelakangan. Namun, kenyataannya liberalisme kerap diejawantahkan ke dalam praktik “westernisasi”. Di Indonesia, liberalisme kerap dimaknai secara dangkal dengan menganggap kebebasan individu sebagai absolut. Liberalisme dibelokkan maknanya dari “bebas dari” (freedom from) menjadi “bebas untuk” (freedom to). Alhasil, kita kerap menemukan praktik sosial yang bertentangan dengan jati diri bangsa yang ironisnya mengatasnamakan kebebasan individu.

Dari sisi kanan, kita menghadapi ancaman khilafahyang anti-Pancasila dan anti-NKRI. Khilafahyang lahir atas pembacaan doktrin Islam yang literalistik dan politis, merupakan ancaman global. Indonesia ialah salah satu negara muslim yang menjadi sasaran utama para pejuang khilafahuntuk menyebarkan ideologinya. Jumlah umat Islam yang terbesar di dunia sekaligus kekayaan alam Indonesia dipandang sebagai aset penting untuk mendirikan imperium Islam.

Organisasi keislaman berskala transnasional pun gencar membangun jaringannya di Indonesia. Mulai dari Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan belakangan ISIS, getol melancarkan strateginya untuk merekrut anggota, membangun jaringan dan mempersiapkan infrastruktur untuk mendirikan daulah islamiyyah di Indonesia. Gerakan khilafah itu mendapat angin segar dengan adanya gelombang konservatisme agama di kalangan umat Islam Indonesia selama beberapa tahun belakangan.

Peran Aktor Non-negara

Jika diamati, infiltrasi ideologi transnasional baik komunisme, liberalisme maupun khilafah di Indonesia lebih banyak dilakuan oleh aktor non-negara (non-state actor). Komunisme disebarkan oleh individu yang bersimpati pada ideologi tersebut atau kelompok sipil yang tidak terinstitusi secara resmi. Liberalisme selama ini lebih banyak disponsori oleh LSM maupun lembaga think-tank yang berafiliasi ke negara asing. Hal yang sama juga terjadi pada penetrasi khilafah yang dilakukan oleh organisasi dan tokoh keagamaan.

Baca Juga : Pancasila Harus Menjadi Karakter

Pendekatan yang dilakukan pun cenderung halus, yakni melalui ranah sosial-budaya. Simpatisan komunisme bergerak di bawah tanah memanfaatkan media sosial untuk mempersuasi publik. Mereka membingkai isu sosial-politik terkini untuk menyebarkan paham komunisme. Kaum liberalis bergerak lebih sistematis dan masif dengan menjalin kedekatan dengan berbagai organ pemerintah serta masyarakat sipil.

Tujuannya ialah mempengaruhi kebijakan publik agar bernuansa liberalistik. Sedangkan gerakankhilafah memanfaatkan nyaris semua lini untuk memasarkan ideologinya. Mereka aktif merekrut anggota baru di lembaga pendidikan dan instansi pemerintah maupun swasta. Para tokohnya rajin menyebar propaganda khilafah melalui ceramah publiknya.

Di era globalisasi, aktor non-negara memiliki otoritas dan peran yang lebih signifikan dalam menyebarkan ideologi. Aktor non-negara baik individu maupun lembaga memungkinkan untuk menyusup ke media massa, organisasi keagamaan, bahkan instansi pemerintah. Realitas inilah yang harus kita waspadai bersama. Apalagi di era Reformasi, ketika ruang kebebasan berpendapat dan berserikat terbuka lebas. Adalah tugas pemerintah dan masyarakat untuk menjaga ruang kebebasan itu agar tidak dimanfaatkan oleh kaum oportunis.

Meneguhkan Kedaulatan Bangsa

Dalam konteks inilah kita perlu memperkokoh kedaulatan bangsa dan membentenginya dari infiltrasi ideologi asing. Bung Karno dalam sebuah pidatonya meyerukan bahwa kedaulatan bangsa dimulai dengan mewujudkan kemandirian dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Dari sisi ekonomi, kita perlu memberdayakan diri dan mencukupi kebutuhan tanpa pernah tergantung pada bantuan asing. Begitu pula dalam ranah politik dan budaya dimana kita diwajibkan untuk berdiri kokoh di atas kaki sendiri tanpa diintervensi oleh kepentingan asing.

Senada dengan Bung Karno, Presiden RI keempat KH. Abdurrahman Wahid menyebut bahwa menghadapi arus globalisasi dan percaturan geopolitik internasional, bangsa Indonesia harus cerdik. Di satu sisi, kita tidak boleh menarik diri dari pergaulan internasional lantaran akan kehilangan banyak momentum dan kesempatan untuk memajukan bangsa. Di sisi lain, kita juga tidak bisa membiarkan kepentingan asing mendikte kebijakan pemerintah lantaran hal itu akan mencederai kedaulatan bangsa. Baik Bung Karno dan Gus Dur sepakat bahwa kedaulatan bangsa ialah harga mati yang tidak bisa ditawar.

Memperkokoh kedaulatan bangsa mustahil dilakukan tanpa melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Di titik inilah penting kiranya bagi masyarakat untuk membentengi diri dari pengaruh dan infiltrasi ideologi transnasional. Para pendiri bangsa telah mewariskan Pancasila sebagai tameng untuk menjaga kedaulatan bangsa dari ancaman ideologi asing. Tugas generasi penerus ialah memaknai Pancasila agar tetap relevan dengan dinamika dan tantangan zaman di satu sisi dan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik dan agama di sisi lain. Pengejawantahan prinsip dan nilai Pancasila itu secara otomatis akan menjadi semacam antidote yang melawan racun bernama ideologi transnasional.

Apa yang perlu dilakukan masyarakat Indonesia saat ini ialah menumbuhkan kembali spirit persatuan dan imajinasi kolektif untuk membangun bangsa. Selama beberapa tahun terakhir, spirit persatuan dan imajinasi kolektif kebangsaan kita terkoyak oleh perpecahan yang dilatari oleh meningkatnya konservatisme agama dan fanatisme politik. Sebelumnya, relasi sosial-keagamaan bangsa Indonesia nisbi harmonis dalam kerangka kebinekaan. Namun, tatanan itu belakangan mulai rusak diterjang arus konservatisme agama yang mengubah lanskap relasi sosial-keagamaan di Indonesia.

Konservatisme agama telah merenggangkan ikatan kerukunan antaragama yang selama ini terjalin harmonis. Akibatnya, masing-masing komunitas agama hidup dalam relasi sosial yang dipenuhi kecurigaan dan ketegangan. Hal itu kian diperparah dengan fanatisme politik yang terjadi selama lima tahun belakangan. Praktik politik identitas yang mengeksploitasi sentimen perbedaan identitas dan isu SARA telah memecah-belah masyarakat. Komitmen kebangsaan, semangat persatuan dan imajinasi kolektif pun luntur oleh pragmatisme politik kekuasaan. Mengendurnya ikatan kebangsaan itu lantas menjadi celah masuknya ideologi transnasional. Adalah tugas bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk memperkokoh kedaulatan bangsa dengan jalan mewujudkan kemandirian ekonomi, sosial dan politik serta memperkokoh ikatan sosial-keagamaan dengan menganulir konservatisme agama dan fanatisme politik.

Facebook Comments