Idul Fitri dan Momentum Persaudaraan Bangsa

Idul Fitri dan Momentum Persaudaraan Bangsa

- in Narasi
2173
0
Idul Fitri dan Momentum Persaudaraan Bangsa

Lebaran atau hari raya Idul Fitri adalah salah satu peristiwa tahunan di Indonesia yang perayaannya begitu fenomenal. Meskipun Idul Fitri merupakan rangkaian peringatan keagamaan umat Muslim, tetapi kegembiraannya turut dirayakan oleh umat lain. Salah satunya adalah tradisi halal bihalal. Dalam ritual saling memaafkan ini, mengajarkan kita pentingnya menjaga harmoni kebangsaan dengan sesama. Setiap kesalahan dicoba dilebur dan dihilangkan. Sehingga saat meminta maaf, kita sering mendengar ucapan “kosong-kosong”, “nol-nol” atau “sama-sama” sebagai bukti telah terciptanya keseimbangan baru antar pihak yang merasa bersalah. Selain itu, masing-masing pihak secara sadar dan jujur mengakui kekhilafannya. Tidak ada upaya untuk menutupi dan mengelak dari perbuatan buruk yang pernah dilakukan. Semuanya berebut saling cepat mengulurkan tangan sebagai tanda pengakuan dosa.

Martin L Sinaga (2010: 26-27) menyatakan bahwa komitmen kebangsaan akan semakin kuat jika dari masing-masing komunitas agama bisa dialami kebebasan untuk kesejahteraan bersama. Ruang sosial bagi warga negara untuk mengalami kebebasan dan perbaikan mutu hidupnya bermanfaat menguatkan komitmen kebangsaan. Hal ini dipenting di tengah kehidupan kita yang selalu dijejali dengan tuntutan untuk sintas (survive) semata. Kualitas ruang sosial produk agama perlu diwarnai dengan dimensi hospitality yang menolak berkembangnya benturan peradaban dalam masyarakat kontemporer. Keterbukaan menerima sang liyan dengan ramah akan menjadikan suasana kebangsaan menjadi terbuka dan sehat.

Spirit persatuan bangsa perlu terus-menerus dijaga di masyarakat kita. Sebab perilaku ini bisa memupuk timbulnya kehidupan bangsa yang damai dan sejahtera. Jauh dari konflik dan ketegangan. Jujur saja, akhir-akhir ini masyarakat kita sering terpancing emosinya hanya gara-gara hal yang sangat sepele. Setiap kesalahan kecil langsung dibesar-besarkan hingga membuat situasi semakin panas. Kita menjadi begitu sensitif atas segala sesuatu. Salah ucap sedikit dilaporkan ke polisi; mengkritik dianggap menyebarkan permusuhan; memberi masukan dipandang mengajarkan kebencian, dsb. Padahal segala sesuatu harus dipandang secara proporsional. Kita harus tetap menyediakan ruang besar di hati kita untuk memaafkan segala kesalahan yang dibuat pihak lain.

Meskipun begitu, kita perlu sadar juga agar tidak selalu mengulang-ulang kesalahan yang sama. Jangan sampai kemudahan meminta maaf disalahgunakan untuk terus menyakiti orang lain. Fitrah manusia memang berbuat salah, tetapi berkali-kali membuat kesalahan adalah ciri manusia yang tidak mau belajar. Hari ini menghina orang lain, kemudian meminta maaf. Esok harinya mengejek pihak lain, dan memohon maaf. Lusa, kembali melakukan hal yang sama. Jika ini yang dilakukan, wajar pihak lain akhirnya menutup pintu maaf. Sebab merasa tidak ada introspeksi yang dilakukan oleh pihak yang bersalah.

Beberapa konflik di masyarakat pun sering diakibatkan dua hal di atas: hilangnya kemampuan memaafkan atau seringnya melakukan kesalahan yang sama. Contohnya tindakan intimidasi yang dilakukan sekelompok orang terhadap pihak lain yang dipandang melakukan penghinaan. Sebenarnya hal ini bisa diselesaikan dengan baik-baik dan bermartabat tanpa harus disertai kekerasan fisik dan verbal. Padahal dendam ini bisa dihilangkan dengan cara saling bersilaturahmi dan meminta maaf antar pihak yang bertikai. Sehingga tidak menjadi masalah yang terus berulang dan menyita energi kita.

Maka, Idul Fitri ini wajid dijadikan batu loncatan untuk menghapuskan dendam dan permusuhan dalam benak kita. Seberapa besar pun kesalahan yang pernah dilakukan pihak lain kepada kita, sudah selayaknya dibukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya. Toh, tidak ada manfaatnya sedikit pun menimbun dosa dan kesalahan orang lain pada diri kita. Justru dengan menghapuskan kesalahan orang lain, akan menjadikan jiwa kita tenang dan tentram. Pikiran pun akan fokus merencanakan aktivitas kebaikan, bukan mengatur strategi bagaimana membalas dendam dan menyakiti orang lain. Dengan begitu, tindak-tanduk yang kita lakukan pun menjadi produktif dan positif. Sehingga memberi manfaat kepada orang lain dan diri kita sendiri.

Ada ajaran menarik saat kaum Muslim merayakan Idul Fitri. Dari Jabirra, dia berkata bahwa Rasulullahketika berada di hari Ied beliau membedakan jalan antara pergi dan pulang. (HR. Bukhari). Hal ini mengajarkan kita agar selalu memupuk silaturahmi dengan sesama. Tentu, bukan hanya terhadap sesama Muslim saja kita membangun ikatan solidaritas. Melainkan kepada siapapun. Secara tidak langsung, perilaku ini akan menjadikan kita mengenal sesama dan menumbuhkan persaudaraan kebangsaan.

Hal ini yang harus diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana mewujudkan masyarakat yang aman, damai, sekaligus memberi kesejahteraan. Untuk itu, spirit Idul Fitri harus selalu kita gemakan dalam kehidupan. Lebaran memang hanya satu hari, tetapi energinya bisa terus dinyalakan sepanjang tahun. Tradisi syawalan perlu dipompakan terus-menerus agar aura kasih sayang selalu memayungi perjalanan bangsa ini. Kita berharap, esok tidak ada lagi keributan dan permusuhan antara sesama. Mari kita jaga kesucian hati dari noda-noda dengki, permusuhan, dan perselisihan. Menatap masa depan Indonesia yang lebih baik. Indonesia solid sebagai sebuah bangsa. Selamat Hari Raya Idul Fitri!

Facebook Comments