Idul Kurban, Kemanusiaan Dan Kemiskinan

Idul Kurban, Kemanusiaan Dan Kemiskinan

- in Narasi
3147
0

Umat Islam sedunia segera menyambut hadirnya salah satu hari raya yaitu Idul Adha atau Idul Kurban 1441 H. Perayaan tahun ini dalam suasana keprihatinan dan kewaspadaan lantaran masih mewabahnya pandemi Covid-19. Akibatnya ibadah Idul Kurban masih ketat menerapkan protokol kesehatan, ibadah haji batal bagi muslim Indonesia, kondisi ekonomi masih sulit dan menurunnya jumlah hewan kurban.

Apapun itu hikmah positif penting selalu direfleksikan dan diaktualisasikan. Kondisi pandemi justru menjadikan Idul Kurban sebagai momentum yang baik dalam penguatan spirit kemanusiaan. Salah satu kondisi di saat pandemi yang membutuhkan empati kemanusiaan adalah meningkatnya angka kemiskinan. Pembagian dagung kurban yang salah satunya menyasat kaum miskin diharapkan menjadi momentum pembuka partisipasi semua pihak dalam pengentasan kemiskinan.

Upaya pengentasan kemiskinan mesti dilakukan oleh semua elemen melalui banyak strategi. Salah satunya melalui optimalisasi dana zakat. Umat Islam jadi mayoritas di Indonesia, tetapi penduduk miskin juga didominasi muslim. BAZNAS (2016) mencatat adanya potensi zakat yang besar yaitu sekitar Rp 217 triliun atau hampir 10% dari APBN. Sedangkan zakat yang terhimpun selama ini baru 1,2%. Sentuhan teologis dan praktis penting guna menggerakkan pahlawan-pahlawan pengentasan kemiskinan melalui optimalisasi zakat dan sejenisnya.

Kondisi Kemiskinan

Semua agama dan filsafat memiliki perhatian dan terus berusaha mencari solusi atas kemiskinan. Teologi Islam meyakini kemiskinan sebagai penyakit yang dapat disembuhkan. Pengentasan kemiskinan bukan berarti menafikan takdir. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Q.S. Ar Ra’d: 11).

Baca Juga : Bukan Sekedar Berkurban

Islam lebih mengedepandankan langkah aktif-konstruktif serta usaha yang sadar dan realistik. Solusi Islam mewujudkan masyarakat sejahtera antara lain dengan realisasi penciptaan lapangan kerja, jaminan keluarga dekat yang mampu, zakat, jaminan negara, kewajiban material non zakat, serta donasi sukarela. Dari sisi geografis, jumlah penduduk miskin paling banyak mendominasi di pulau Jawa sebesar 15,31 juta jiwa. Sedangkan sisanya tersebar di Sumatera sebesar 6,31 juta jiwa, Bali dan Nusa Tenggara 2,18 juta jiwa, pulau Sulawesi 2,19 juta jiwa, Maluku sebanyak 1,53 juta jiwa, dan Kalimantan 0,99 juta jiwa.

Sebanyak 63% penduduk miskin Indonesia berada di perdesaan dan mayoritas adalah petani dan nelayan. Jumlah pengangguran masih sekitar 7% dari seluruh angkatan kerja. Indonesia termasuk 16 terbesar pemilik sumberdaya alam dan memiliki wilayah yang luas dengan jumlah penduduk nomor empat terbanyak di dunia. Pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik mengakibatkan banyaknya kemiskinan.

OptimalisasiPerjuangan

Zakat dan sejenisnya dapat menjadi solusi pengentasan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi serta peningkatan pembangunan. Sosialisasi dan penyadaran berbasis spiritual penting digalakkan kepada calon muzakki atau donatur. Distribusi juga penting tepat sasaran dan berkonsep pemberdayaan sebagai solusi jangka panjang mengentaskan kemiskinan.

Sosialisasi zakat penting untuk mengoptimalkan penyadaran spiritual berbasis teologi. Zakat adalah termasuk rukun islam yang ke-3. Kata zakat di dalam Alquran terdapat pada 26 ayat yang tersebar pada 15 surat. Salah satunya dalam Q.S At-Taubah ayat 103. Allah SWT berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka.” Nabi Muhammad SAW juga bersabda, “Islam didirikan di atas lima dasar: Mengikrarkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, menunaikan haji, dan berpuasa pada bulan Ramadhan”. (H.R. Muttafaq ‘alaih).

Sosialisasi merupakan kunci keberhasilan pengumpulan zakat. Amil penting memberikan fasilitas ekstra, seperti bantuan penghitungan hingga penjemputan dan pelaporan distribusi. Pembayaran zakat pada level tertentu sudah menjadi kebutuhan, bukan sekadar kewajiban. Hal ini dengan niat ikhlas dan pemahaman akan hikmah besar dari zakat. Antara lain menyucikan harta dan mengembangkannya, menyucikan dan membersihkan orang yang berzakat, orang yang fakir menjadi lapang, menguatkan rasa saling menolong, sebagai wujud syukur, menunjukkan shiddiqul iman (kejujuran iman), serta dapat menjadi sebab mendatangkan keridhaan.

Basis data juga penting dimiliki minimal oleh pengurus atau takmir masjid atau lembaga amil zakat. Data kemiskinan jamaah salah satunya dapat di-update setahun sekali. Perkembangan jamaah miskin mesti terpantau. Kerja sama antar masjid dibutuhkan guna saling tukar data demi kepentingan distribusi.

Selanjutnya, distribusi yang tepat dan visioner. Visi distribusi zakat mestinya tidak sekadar mengentaskan kemiskinan, tetapi mengantarkan yang semula penerima (mustahik) menjadi pembayar zakat (muzakki). Pendekatan pemberdayaan berbasis kewirausahaan penting dioptimalkan. Informasi dan data dapat menjadi rujukan guna mendapatkan gambaran kemampuan mustahik dan peluang usaha di wilayahnya.

Pemerintah penting mendukung dan memfasilitasi optimalisasi zakat ini. Zakat merupakan komponen yang tidak akan mengganggu penerimaan pajak. Bahkan dapat menambah sumber pengentasan kemiskinan. BAZNAS hingga daerah-daerah dapat berperan sebagai fasilitator membimbing, mengawasi, dan mengeksekusi proses pengumpulan hingga disribusi. Peran paling bawah yang langsung berhubungan dengan muzakki dan mustahik dimiliki oleh amil masjid atau lembaga. Zakat dapat dimasukkan dalam masterplan nasional pengentasan kemiskinan. Sinergi dan sinkronisasi program juga penting dilakukan antara amil dan pemerintah.

Facebook Comments