Idul Qurban, Esensi Haji dan Pentingnya Kesalehan Sosial

Idul Qurban, Esensi Haji dan Pentingnya Kesalehan Sosial

- in Narasi
615
0
Idul Qurban, Esensi Haji dan Pentingnya Kesalehan Sosial

Hari Raya Qurban selalu menjadi ritual tahunan yang penuh dengan dimensi spiritualitas kemanusiaan. Di momen ini umat Islam di seluruh dunia merayakannya dengan kebersamaan melalui sholat Idul Adha berjamaah disertai dengan pemotongan hewan qurban untuk dibagikan kepada warga yang membutuhkan. Maka berqurban sejatinya tidak hanya bersifat vertikal namun juga horizontal.

Jejak historis ibadah qurban pada awalnya bermula dari diperintahkannya Nabi Ibrahim oleh Allah Swt untuk menyembelih putra tercintanya, Nabi Ismail. Perintah ini merupakan ujian bagi keimanan dan ketaatan keduanya. Syaikh Abdullah al-Harari (1906-2008) dalam kitab Tafsir Hadaiq al-Ruh wa al-Raihan menjelaskan bahwa perintah ini merupakan puncak ujian yang berat, baik bagi Nabi Ibrahim ataupun Ismail yang pada waktu itu masih berusia 13 tahun. Namun, berbekal ketaatan kepada Allah ta’ala, kedua hamba mulia tersebut ikhlas menerima perintah-Nya. Kisah kenabian yang bernuansa spiritual filosofis ini diabadikan dalam Al-Quran Surat al-Shaffat ayat 106-108.

Sebetulnya, banyak makna yang dapat dipetik dari ibadah qurban ini, baik secara ruhiyah maupun secara sosial-kemasyarakatan. Secara ruhiyah, ibadah ini bisa menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran ritual dari para pelakunya. Secara sosial-kemasyarakatan, ibadah qurban akan bermakna apabila kerelaan dan keikhlasan orang-orang yang melaksanakan qurban berimbas pada perilaku keseharian dan perhatiannya pada sesama, utamanya kaum miskin dan mustadzafiin

Selain kemanfaatan qurban, di perayaan Hari Idul Adha ini juga bersamaan dengan perjalanan para jemaah haji di Mekkah dan Madinah. Haji juga memiliki makna yang luar biasa. Haji menjadi rukun Islam yang kelima yang senantiasa dirindukan kesempatannya oleh umat Islam.

Esensi Ritual Haji

Menurut Dr. Muhbib Abdul Wahhab (2014), Haji adalah ibadah yang multidimensi sekaligus multi nilai. Manasik haji bukan sekedar ritualitas fisik-formal tanpa makna moral. Prosesi manasik haji adalah sebuah “drama kehidupan” yang sarat filosofi, simbol, nilai dan makna, terutama makna sosial kultural.

Ritual Haji dimulai dengan niat ihram di miqat (garis start haji). Pakaian ihram mengandung pesan bahwa menjadi tamu Allah itu harus suci lahir batin, berhati tulus ikhlas, tidak egois, tetapi egaliter, emansipatoris, dan siap memenuhi panggilan ketaatan (talbiyah) dan hanya berharap memperoleh ridha-Nya. Menjadi tamu Allah haruslah menunjukkan kebersihan hati, ketulusan niat, dan kesungguhan komitmen untuk tidak memperlihatkan stratifikasi dan arogansi sosial yang sering kali disimbolkan dalam berpakaian.

Makna Thawaf bukan sekedar mengelilingi Ka’bah tujuh kali. Thawaf mendidik jamaah haji bergerak dinamis dalam orbit tauhid. Konsistensi dalam bertauhid memacu gerak untuk maju dan terus berperilaku progresif. Orang yang berthawaf adalah orang yang antikemunduran dan kejumudan. Thawaf menyadarkan pentingnya nilai mobilitas dan progresivitas sosial. Thawaf merupakan titik tolak menuju transformasi sosial-kultural yang berkeadaban. Thawaf juga merupakan gerakan “tasbih universal” dengan menjadikan tauhidullah sebagai orbit kehidupan.

Sa’i (berusaha, berlari-lari kecil) antara shafa dan marwa melambangkan etos dan disiplin kerja yang tinggi. Hajar, ibunda Ismail, memberikan keteladanan sebagai seorang ibu yang sangat tulus dan pantang menyerah untuk berusaha demi masa depan anaknya. Etos dan disiplin kerja itu harus dimulai dari shafa (ketulusan hati dan kejernihan pikiran). Sa’i harus maksimal agar mencapai marwa (kepuasan hati, hasil maksimal atau prestasi tinggi). Sa’i diperankan oleh seorang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang terhadap anaknya. Sa’i mendidik kita untuk mendahulukan cinta sesama, dengan memperlihatkan berbagai upaya maksimal “menyelamatkan masa depan” anak bangsa.

Wuquf di Arafah merupakan kesadaran spiritual akan pentingnya “berhenti seraya berefleksi untuk makrifat diri” (introspeksi dan evaluasi diri) dan merasakan kehadiran Allah SWT. Sebagai lambang miniatur padang “makhsyar” di akhirat kelak, wukuf memberi kesadaran akan pentingnya introspeksi diri, pengenalan jati diri, dan “pengadilan terhadap diri sendiri”. Jika selama ini manusia cenderung mengadili orang lain, atau tidak pernah berbuat adil, Arafah adalah momentum yang tepat untuk mengambil keputusan yang arif: apakah selama ini jama’ah haji yang berwukuf sudah benar-benar menjadi hamba-Nya, ataukah masih menjadi hamba selain-Nya: hamba kekuasaan, hamba kebendaan, hamba kesenangan duniawi? Apakah yang berwukuf itu sudah meneladani akhlak Allah atau masih selalu mengikuti hawa nafsu dan setan?

Karena itu, di malam hari menuju Mina, para jamaah haji diminta bermabit di Muzdalifah (mendekatkan diri), untuk bertaubat dan bermunajat kepada Allah sambil menyiapkan “amunisi jihad” di tempat pelemparan (jamarat) di Mina. Mina adalah simbolisasi cita dan cinta. Karena cinta-Nya yang tulus kepada dan karena Allah semata, Nabi Ibrahim rela “mengorbankan” anak tercinta, Ismail. Berjuang melawan setan dan hawa nafsu hanya bisa dimenangi oleh rasa cinta yang tulus kepada Allah. Dengan cinta karena-Nya, Ibrahim AS akhirnya memperoleh cita-citanya: anaknya tidak jadi “dikorbankan”, karena manusia memang tidak pantas dikorbankan, terutama korban hawa nafsu dan keserakahan, baik serakah harta maupun kekuasaan.

Kesalehan Sosial

Dari perayaan qurban dan ritualitas haji di atas kita dapat mengambil ibrah bahwa begitu pentingnya umat memupuk kesalehan sosial kita dewasa ini. Karena pada prinsipnya, sebagai makhluk sosial kita hidup di dunia ini adalah untuk saling membantu dan hidup-menghidupi orang lain. Dalam Islam, memanusiakan manusia adalah prasyarat utama untuk menumbuhkan kesalehan seseorang.

Maka kita sejatinya tidak cukup hanya memupuk kesalehan individual, sementara abai terhadap realitas sosial di sekitar, maka inilah yang seharusnya kita perkuat untuk naik tingkat kepada kesalehan sosial. Maka penting kiranya memupuk kesalehan sosial ini karena dampaknya begitu luar biasa, tidak hanya untuk dirinya sendiri lebih-lebih terhadap orang lain di sekitarnya. Karena Islam bukanlah agama individual melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). Agama yang tidak hanya untuk kepentingan penyembahan dan pengabdian diri pada Allah semata tetapi juga menjadi rahmat bagi semesta alam.

Facebook Comments