Hari ini (20/12), segenap masyarakat Indonesia sedang memperingati Hari Kesetiakawanan Nasional (HKN). Tentu peringatan HKN mempunyai urgensi, terlebih dalam konteks saat ini; yang oleh sementara kalangan ada yang menilai bahwa kesetiakawanan antar bangsa sudah mulai memudar.
Memudarnya kesetiakawanan dalam kehidupan bermasyarakat tersebut terjadi akibat beberapa faktor, diantaranya adalah meningkatnya egoisitas. Bagaimana hendak membangun persaudaraan atau kesetiakawanan jika kepentingan pribadi diutamakan dibandingkan kepentingan bersama.
Oleh sebab itu, kiranya sangat tepat jika HKN disemarakkan secara seremonial sekaligus substansial. Nah, secara substansial inilah yang harus benar-benar digelorakan. Banyak cara untuk menggelorakan HKN. Pertama, melalui ceramah-ceramah kenegaraan atau keagamaan. Metode ini bisa diterapkan oleh para elite negeri ini serta tokoh agama melalui mimbar-mimbar rakyat dan umat.
Kedua, melalui tulisan yang disebarkan di media massa dan sosial. Hal ini sebagaimana yang sudah diulas oleh Fatkhul Anas dalam Merawat Kesetiakawanan Generasi Millenial (JD, 19/12). Melalui dunia digital yang tahun lalu diperkirakan jumlah “masyarakatnya” mencapai 132 juta, menyebarkan nilai-nilai kesetiakawanan menjadi efektif.
Setidak-tidaknya dua cara sebagaimana tersebut di atas sudah cukup efektif dalam konteks menyuarakan nilai-nilai kesetiakawanan. Namun hal yang paling penting dari adanya peringatan HKN adalah, bagaimana HKN ini menjadi “alat cambukan” untuk menggerakkan kembali spirit HKN, terutama implementasi nilai-nilai kesetiakawanan.
Implementasi Tanpa Basa-basi!
Yang benar saja! Saat ini (masih) ada kelompok yang “nyinyir” terhadap Hari Kesetiakawanan Nasional. Orang maupun kelompok ini beranggapan bahwa HKN tidak ada dalilnya dan tidak ini, itu!
Memang repot dan menguras tenaga serta fikiran menghadapi orang atau kelompok yang kaku; apa-apa minta dalil dan di mana-mana menyoal sesuatu yang furu’iyah dan ijtihadiyah.
Sudahlah! Kesetiakawanan merupakan pesan tertinggi dari kemanusiaan dan juga agama. Oleh sebab itu, tanpa menghadirkan sejuta dalil, pun, sudah selayaknya kita menerapkan nilai-nilai kesetiakawanan.
Lantas, apa saja nilai-nilai kesetiakawanan yang bisa diimplementasikan? Pertama, persatuan dan kesatuan. Sebagaimana yang sudah disinggung di muka bahwa kesetiakawanan tak mungkin tercipta jika egoisitas ditonjolkan. Egois menutup rapat-rapat persatuan dan kesatuan. Maka, HKN kali ini harus benar-benar diresapi sehingga egoisitas tersebut hilang dan kemudian persatuan dan kesatuan yang lebih diutamakan.
Jika sudah mengetahui akan pentingnya sebuah persatuan dan kesatuan, maka selanjutnya tidak ada cara lain yang dianjurkan selain menerapkannya dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Kedua, gotong-royong. Kusnaedi (2006:16), menegaskan bahwa gotong royong adalah nilai luhur yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia yang memiliki implikasi besar nan agung. Substansi Tap MPR No VI/MPR/2001 menyebutkan bahwa gotong-royong merupakan bagian dari etika sosial dan budaya yang bertolak dari rasa kemanusiaan. Etika sosial ini menampilkan sikap jujur, saling memahami, saling peduli, saling mencintai antar sesama warga negara.
Jadi, gotong-royong, memiliki dimensi kemanusiaan yang dapat memepererat tenun kesetiakawanan menjadi suatu sinergi positif. Inilah bentuk nilai-nilai kesetiakawanan yang harus dan selalu diimplementasikan dalam setiap waktu; sekarang dan selamanya!
Ketiga, tolong-menolong. Dalam konteks kesetiakawanan, tolong-menolong menjadi penentu apakah kesetiakawanan itu benar-benar tulus dan kokoh atau tidak. Sebab, kawan tidak selalu menerapkan nilai tolong-menolong. Barangkali istilah teman-makan teman; teman ibarat musuh dalam selimut; pagar makan tananam, dan lainnya menunjukkan bahwa teman atau kawan kadang malah menikung.
Untuk itu, nilai moral yang harus diimplementasikan adalah tolong-menolong. Dan yang demikian ini tidak mensyaratkan adanya kesamaan agama, etnis, budaya dan suku. Semua orang wajib kita tolong, selama orang yang bersangkutan membutuhkan dan kita tidak dirugikan. Intinya, dalam hal kebaikan, manusia harus saling tolong-menolong.
Tiga butir nilai sekaligus penyangga kesetiakawanan di atas harus dihujamkan pada setiap individu. Nilai-nilai tersebut harus tetap digali, dikembangkan, dan diimplementasikan karena nilai-nilai ini merupakan dasar dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial.