Indonesia Damai: Nir Kebencian dan Komodifikasi SARA

Indonesia Damai: Nir Kebencian dan Komodifikasi SARA

- in Narasi
2004
0
Indonesia Damai: Nir Kebencian dan Komodifikasi SARA

Upaya sistemik untuk terus mereproduksi konflik horisontal guna memecah belah ikatan kebangsaan kita sepertinya tidak pernah berhenti. Beberapa waktu yang lalu publik digaduhkan dengan keberadaan Saracen dan Muslim Cyber Army yang seringkali menyebarkan berita bohong (hoax) yang bernadakan ujaran kebencian. Secara sosiologis apa yang dilakukan oleh situs tersebut sebenarnya bisa dilihat dari kaca mata teori komodifikasi dimana isu yang dimainkan seputar persoalan sentimen SARA. Seorang sosiolog Karl Marx pernah melakukan kritik atas kebudayaan yang kemudian menjadi bahan komoditas bagi perkembangan industri pariwisata, pun pada konteks ini sebenarnya tidak jauh berbeda yakni menjadikan isu SARA sebagai komoditas bagi perseteruan kepentingan politik yang terpolarisasi dengan begitu jelas di dunia maya. Marx melihat komodifikasi sebagai transformasi hubungan yang sebelumnya bersih dari perdagangan, menjadi hubungan komersial, hubungan pertukaran, membeli dan menjual.

Komodifikasi SARA

Memang tidak bisa dipungkiri, dalam diskursus mengenai keberagaman, mengulik sentimen SARA merupakan sesuatu yang prospektif bagi pihak-pihak tertentu untuk dijadikan sebagai ‘barang dagangan’. Terlebih lagi sejak publik atau netizen terpolarisasi ke dalam dua kubu, sebut saja yang masih tampak saat ini yakni kubu pro pemerintahan dan kubu kontra pemerintahan dengan mendasarkan asumsi keduanya pada kepentingan politik sosok Joko Widodo dan Prabowo Subianto, komodifikasi isu SARA menjadi peluang yang sangat menjanjikan untuk mendulang pundi pundi rupiah. Hal ini tentunya sangat kontraproduktif dengan jargon “kebhinnekaan” yang kita hargai dan junjung sebagai fitrah bernegara yang tidak perlu kita persoalkan

Pertanyaan kemudian, kenapa kita menjadi begitu mudah terprovokasi ? kemana sisi rasionalitas kita untuk memilih dan memilah informasi yang akurat. Kedewasaan sosial publik dan kecerdasan untuk mesaring infomasi seolah olah hilang begitu saja, tergantikan dengan kecerobohan dan kepatuhan untuk mengikuti berita hoax tanpa mengenal kompromi. Jika informasi yang diterima sesuai dengan hasrat politiknya maka akan diterima secara membabi buta meski sebenarnya itu ada black campaign. Realitas sosial publik telah termediasi ke dalam dunia maya, dan inilah peluang yang dimanfaatkan para buzzer untuk menggiring opini publik sesuai keinginannya maupun oknum tertentu yang memiliki kepentingan atas hal tersebut. Adapun jika melihat data yang dipublish Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2016 yang lalu menunjukkan bahwa 132,7 juta penduduk Indonesia atau 51,8 persen dari total penduduk (256,2 juta jiwa) secara aktif mengakses internet. Dari 132,7 juta tersebut 71,6 juta (54%) mengakses Facebook, dimana media sosial ini digunakan oleh para buzzer politik, termasuk Saracen didalamnya untuk menebar kebencian atau hate speech. Pun lebih jauh, terkait berita hoax yang diterima oleh para netizen selama mengakses media sosial, teridentifikasi 91,80 persen menerima berita hoax seputar isu sosial politik (baca: pilkada dan pemerintahan) dan 88,60 persen menerima berita hoax seputar isu sentimen SARA.

Kedewasaan Sosial

Perkembangan industrialisasi teknologi secara massif telah mengambil hampir semua sisi kehidupan manusia, pun yang sangat memprihatinkan kesadaran manusia turut diambil dari alam pikiran manusia. Perubahan sosial ini yang harus ditangkap dan disadari oleh masyarakat agar tidak mudah terjebak pada informasi yang salah dan cenderung provokatif. Negara harus segera melakukan upaya pencegahan dengan bercermin pada kasus ini agar kohesi sosial yang ada di masyarakat tidak tercerabut dari kehidupan mereka. Komodifikasi atas isu-isu SARA, utamanya berkaitan dengan ujaran kebencian menjadi pembelajaran agar masyarakat tidak mudah terjebak dan melakukan labelisasi kepada siapapun, karena sangat dimungkinkan situasi masyarakat yang seperti ini yang dikehendaki oleh si dalang.

Kunci untuk melepaskan diri dari persoalan ini sebenarnya sederhana yakni kuatkan kembali kohesi sosial dan sadar diri untuk tidak perlu masuk pada polarisasi kepentingan, yang semuanya sebenarnya adalah goal setting yang direncanakan. Ada semacam permufakatan jahat yang ingin dicapai dengan mengadudomba antar elemen masyarakat, baik dengan masyarakat itu sendiri maupun dengan negara. Kepentingan bangsa ini terlalu besar untuk dikorbankan hanya untuk memenuhi nafsu politik sebagian kalangan. Mari membaca kembali narasi ke-Indonesia-an kita dengan menjadikan keberagaman sebaagai fitrah berbangsa, disamping itu pemahaman publik untuk melek politik juga dibutuhkan agar perspektif mereka atas konstestasi politik bukan persoalan hidup mati mendukung kepentingan kelompok tertentu, akan tetapi lebih pada konteks mewujudkan alam demokrasi yang lebih baik dengan mengedepankan penghormatan atas perbedaan dan bukan sebaliknya menjadikan perbedaan sebagai momok demokrasi.

Epiloq

Bangsa ini sudah belajar dengan begitu panjang mengenai perbedaan (diversty), dan kita harus memahami bahwa karena perbedaan inilah bangsa ini lahir dan ada. Untuk itulah sangat disayangkan jika kita sudah mulai pikun dengan apa yang sudah kita alami selama ini. Jangan sampai perilaku santun kita dalam berdemokrasi menjadi hilang berganti dengan perilaku bar-bar yang tidak mengenal tata krama. Stop hoax, redam ujaran kebencian, dan mari menjadi bangsa yang beradab, karena prinsip moralitas inilah yang menjadi karakter kita, dengan ini maka menjadi suatu keniscayaan Indonesia akan tetap damai dalam mozaik kebhinnekaan.

Facebook Comments