Intoleransi Agama dan Pentingnya Reformasi Pendidikan Kita

Intoleransi Agama dan Pentingnya Reformasi Pendidikan Kita

- in Narasi
643
2
Intoleransi Agama dan Pentingnya Reformasi Pendidikan Kita

Agama, pemahaman keagamaan dan sikap kebergamaan adalah tiga hal yang saling berkait kelindan satu dengan lainnya. Secara definitif, agama kerap dipahami sebagai sekumpulan ajaran ketuhanan yang diturunkan kepada manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Agama, pada dasarnya merupakan sesuatu yang normatif, namun di dalamnya terkandung ajaran yang suci, penuh kedamaian, kemuliaan dan tentunya menghargai kemanusiaan.

Meski demikian, dalam praktiknya agama kerap menyisakan berbagai persoalan. Salah satu dan yang paling mendasar ialah persoalan terkait relasi antar umat beragama yang berbeda satu dengan lainnya. Gesekan antar umat beragama kerap terjadi, lantaran wilayah penafsiran agama kerap menggunakan standar ganda, dimana kebenaran absolut dianggap milik agamanya sendiri, sedangkan agama lain dianggap sesat dan jauh dari nilai kebenaran.

Adalah fakta yang tidak dapat dibantah bahwasannya masing-masing agama mengajarkan untuk tidak hanya patuh terhadap ajarannya, namun juga membela ajarannya dari serangan kelompok lain sekaligus menyebarkan ajarannya kepada kelompok lain. Namun demikian, seruan untuk membela dan menyebarkan ajaran agama itu tentu harus dikontekstualisasikan dengan kondisi sosiologis, politis, antropologis, historis dimana umat beragama itu berada.

Di tengah kondisi sosial yang homogen, kepentingan untuk menunjukkan ekspresi keberagamaan tentu tidak menimbulkan persoalan. Lain halnya jika di tengah kondisi sosial yang heterogen (multirelijius dan multikultur), tentu diperlukan kompromi dan negosiasi antar pemeluk agama yang berbeda. Jika tidak, relasi antar umat beragama yang berbeda itu potensial diwarnai oleh perilaku intoleran, atau bahkan kekerasan.

Pada titik inilah diperlukan kompromi antara normativitas agama dan historisitas agama agar tercipta relasi kebergamaan yang harmonis. Jika tidak, agama akan menjadi isu paling empuk untuk kepentingan politik sesaat. Agama akan dijadikan isu untuk memprovokasi terjadinya konflik sosial. Seperti diungkapkan pakar studi agama Karen Amstrong dalam bukunya The Battle of God (1999), munculnya kekejaman atas nama agama akhir-akhir ini adalah ekses dari berkembangnya wacana fundamentalisme dalam agama-agama.

Baca Juga :Merawat Kemajemukan Dengan Melawan Intoleransi Melalui Pemahaman Teks Agama Yang Terbuka

Jika dikaji dengan nalar obyektif-rasional, keragaman atau perbedaan agama adalah keniscayaan sejarah yang merupakan bukti kasih sayang Tuhan. Tuhan tidak menciptakan manusia secara monolitik dan eksklusif, melainkan dalam kondisi yang berbeda satu sama lain dengan tujuan agar manusia bisa saling bekerjasama dan tolong-menolong dalam kebaikan. Mengutip gagasan cendekiawan muslim Nurcholis Madjid, pluralitas agama sesungguhnya ialah hukum Tuhan yang ada sejak awal penciptaan dunia.

Dalam pemahaman Cak Nur, agama sejatinya adalah jalan manusia menuju Tuhan. Jadi, meski memiliki konsep teologi, ajaran, ritual dan simbol yang berbeda, masing-masing agama sejatinya mengarah pada tujuan yang sama, yakni penghambaan pada Tuhan. Mengacu pada konsepsi Cak Nur tentang agama tersebut, praktik intoleransi dan kekerasan atas nama agama yang marak belakangan ini ialah sebuah anomali dan harus segera dicarikan solusi.

Reformasi Dunia Pendidikan

Salah satu aspek penting untuk mengembangkan keberagamaan yang inklusif dan toleran adalah melalui dunia pendidikan. Ironisnya, aspek pendidikan, apalagi pendidikan agama selama ini kurang diprioritaskan dan lebih sering dianggap sebagai isu pinggiran yang tidak signifikan. Padahal, pendidikan merupakan basis untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkarakter.

Pendidikan, dengan demikian juga merupakan sarana paling efektif untuk menginternalisasikan nilai-nilai demokrasi, toleransi, inklusivisme dan hal-hal positif lainnya. Sayangnya, selama ini pendidikan di Indonesia cenderung hanya dijadikan sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan, tanpa memprioritaskan aspek pembentukan mental dan karakter. Akibatnya, aspek sikap, mental, kepribadian dan kreativitas kerap kali jauh dari jangkauan pendidikan kita. Lebih parahnya lagi, pendidikan kita juga gagal mengajarkan pada para peserta didik ihwal sikap toleran, inklusif dan pluralis dalam menghadapi perbedaan suku, agama dan ras.

Sistem pendidikan yang demikian ini disebut oleh Paulo Freire sebagai pendidikan gaya bank. Yakni pendidikan yang memposisikan siswa sebagai obyek yang bisa dibentuk sesuai kemauan guru. Pendidikan yang demikian ini tidak memberikan ruang bagi siswa untuk mengembangkan imajinasi kritisnya. Sebaliknya, siswa dipaksa menerima semua yang disampaikan guru sebagai kebenaran mutlak.

Selain itu, kelemahan pendidikan kita juga terletak pada kurangnya apresiasi terhadap ilmu-ilmu sosial-humaniora. Selama ini, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, ilmu pengetahuan alam memiliki derajat (grade) yang lebih tinggi ketimbang ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Ilmu pengetahuan alam (nature science) dianggap lebih prestisius ketimbang ilmu sosial-humaniora (social-humaniora science). Akibatnya, siswa gagal menghubungkan aspek normatif suatu pengetahuan dengan kenyataan sosial yang terjadi di sekitarnya.

Dalam tradisi keilmuan dan pendidikan Barat, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial-humaniora memiliki kedudukan yang sejajar. Keduanya saling melengkapi sebagai sebuah paradigma keilmuan. Fungsi ilmu sosial-humaniora ialah menekankan pada aspek pemahaman terhadap realitas sosial, kependulian sesama manusia serta pembentukan kesadaran akan nilai kemanusiaan dan keadilan.

Kebutuhan mendesak saat ini yang harus segera kita penuhi adalah mereformasi dunia pendidikan kita agar lebih membentuk karakter siswa yang ramah dan adaptif pada realitas multikultural dan pluralitas agama. Model pendidikan yang dipraktikkan selama ini harus diakui justru kerap menimbulkan fanatisme keberagamaan. Pendidikan berbasis pada aspek pluralisme dan multikulrutalisme adalah jawaban dari sengkarut persoalan itu.

Model pendidikan berbasis pluralisme dan multikulturalisme tentu harus digali dari aspek sosiologis, antropologis, dan teologis masyarakat Indonesia. Pendidikan nasional, idealnya menekankan pada nilai-nilai moral, kasih sayang, tolong-menolong dan tentunya toleransi antar umat beragama. Lebih dari itu, internalisasi nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan itu idealnya tidak hanya berhenti pada tataran wacana, namun harus disusun menjadi agenda dan aksi yang nyata.

Ini artinya, guru harus berperan sebagai agen perubahan yang mampu membentuk sekaligus mengubah mindset anak didik dari yang tadinya eksklusif-intoleran menjadi inklusif-toleran. Dalam konteks ini, model pendidikan kritis sebagaiamana dikembangkan oleh Paulo Freire relevan untuk diterapkan di Indoneisa. Pendidikan kritis seperti digagas Freire menekankan pada aspek transformasi pengetahuan yang memihak pada nilai kemanusiaan universal.

Jika pada model pendidikan gaya bank, siswa hanya diposisikan sebagai obyek pembelajaran yang harus menampung apa pun yang disampaikan guru, model pendidikan kritis ala Freire bergerak lebih jauh lagi. Pendidikan kritis menghendaki adanya kesadaran terhadap realitas sosial, budaya dan agama yang dihadapi baik oleh guru dan murid. Kesadaran ini penting agar produk pengetahuan dalam pendidikan relevan dengan kondisi sosial, politik dan agama yang berkembang di masyarakat.

Pendidikan bercorak multikulural ini urgen diwujudkan ke dalam kebijakan nyata, dan tidak hanya sekadar teori atau wacana. Mengingat selama ini relasi antar-umat beragama di Indonesia masih diwarnai oleh sikap intoleran dan kekerasan. Oleh karena itu, reformasi pendidikan ke arah multikultural adalah keharusan yang tidak dapat ditawar. Pendidikan idealnya mampu menumbuhkan kesadaran bahwa kita hidup di tengah masyarakat yang mutlikultur dan multirelijius.

Facebook Comments