Indonesia sebagai NKRI adalah negara yang di dalamnya terdiri atas keberagaman dan kemajemukan. Hal tersebut sudah sejak lama menjadi bagian dari banga Indonesia dengan melahirkan konsep Bhineka Tunggal Ika sebagaimana yang tertuang dalam lambang negara. Istilah tersebut berasal pada abad ke-14 yaitu berasal dari Jawa Kuno yaitu Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Dengan demikian, melalui semboyan tersebut jadilah perekat di antara komponen bangsa Indonesia yang sangat beragam di dalamnya.
Belakangan ini masih saja ditemukan sikap-sikap intoleransi yang ada di antara masyarakat. Hal tersebut seperti sikap tidak hormat dalam menerima dan menghargai keragaman budaya. Selain itu, bentuk intoleransi dapat berupa perendahan tentang perkembangan terkini atas konsep bersama terkait tentang HAM, pluralisme, demokrasi, dan supremasi hukum. Hal lain dapat ditemukan wujud intoleransi dapat berupa apatis atas ketidakadilan sosial dan pemaksaan pendapat kepada pihak lain serta pasif dalam bersikap terkait erat dengan mendukung pengakuan kebebasan dasar orang lain. Bentuk-bentuk seperti itulah yang menjadikan intoleransi dalam keberagaman yang sudah ada sejak Indonesia belum berdiri dan berdaulat sampai sekarang setelah merdeka.
Intoleransi merupakan sebuah bentuk ketidakmampuan berbeda pendapat di antara komponen bangsa di mayarakat. Setidaknya fenomena demikian dalam jumlahnya terus meningkat. Hal tersebut dapat terlihat dengan adanya beragam survey atas fenomena intoleransi sebagaimana dilakukan oleh setara institut. Dalam catatan lembaga tersebut di tahun 2018 sebanyak 160 peristiwa dan 202 berwujud tindakan. Dari jumlah tersebut merupakan pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Pemahaman teks keberagamaan adalah bagian dalam penyebab intoleransi. Hal tersebut diungkapkan oleh Zuly Qodir dalam artikelnya yang berjudul Kaum Muda, Intoleransi dan Radikalisme Agama dalam Jurnal Studi Pemuda Vol. 5 No. 1 Mei 2016. Asumsi tersebut didasarkan pada kajian dalam lingkup psikologi sosial dan ilmuwan sosial. Sehingga diperlukan pemahaman yang dapat menerima adanya perbedaan teologi dan perbedaan keyakinan yang berimbas pada pelabelan tertentu seperti saling menghujat, membenci bahkan mengkafirkan satu dengan yang lainya atas perbedaan tersebut.
Baca Juga :Toleran Terhadap Intoleransi: Salahkah?
Sejalan dengan fenomena di atas, adanya kebenaran kekerasan dalam menjalankan ajaran agama juga ditemukan. Hal tersebut setidaknya bermula dari tekstualisme agama. Kesimpulan tersebut merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Jajang Jahroni. Mereka ini sering main hakim sendiri dan menunjukkan 76,4 % melakukan KDRT dan kekerasan lainnya. Dengan demikian, atas dasar pemahaman yang etkstualis menjadikan pemahaman ajaran agama kering dan melahirkan kekerasan.
Pemahaman keberagaman atas teks agama baik dalam al-Qur’an maupun hadis sudah ada sejak awal Islam. Hal tersebut dapat terlihat kecenderungan dalam penafsiran yang terpilah jadi dua bentuk yaitu pemahaman tekstual atau berdasarkan riwayat dan kedua rasionalitas. Kedua bentuk tersebut kemudian berkembang menjadi beragam teori dan tokoh yang mengembanhkan dari awal sampai sekarang.
Beragam kecenderungan di atas nampaknya hadis lebih mendominasi ke pemahaman yang tekstualis. Kecenderungan yang ada dalam kajian al-Qur’an baik tafsir atau yang lainnya cenderung banyak melahirkan pemikiran baru dan segar. Sehingga kajian atas al-Qur’an dan tafsir baik klasik, pertengahan maupun modern melahirkan banyak ragam dan bentuk penafsiran di dalamnya sesuai dengan perkembangan awal di atas.
Fenomena dalam bidang tafsir berbeda dengan hadis. Kajian hadis lebih banyak mendominiasi adalah kajian tekstualis. Trauma labelisasi atas inkar a-sunnah dalam sejarah perkembangan hadis menjadikan hantu yang terus ada di kalangan pemikir dalam kajian ini. Kajian hadis cenderung lebih banyak tekstualsinya seperti Imam al-Syafi’i (w. 204 H.) Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H.), Dawud al-Dhahiri (w. 270 H.), Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H), Ibn Taimiyah (w. 728 H.), dan Ibn Qayyim al-Jawziyah (w. W. 751 H.). Melahirkan tokoh kekinian seperti Syah Waliyullah al-Dahlawi (w. 1176 H.), Abdullah bin Baz (w. 1420 H.), Utsaimain (w. 1421 H.) dan al-Albani (w. 1420 H.). Kemudian beragam tokoh tersebut dijadikan sebagai manhaj gerakan dalam Islam tertentu seperti Salafi dalan lain sebagainya.
Wajah pemahaman hadis di atas juga melahirkan adanya pemahaman lain atas hadis. Bentuk itu adalah kontekstualis-rasionalis. Tokoh yang masuk dalam kelompok ini adalah Abu Hanifah (w. 150 H.), Malik ibn Anas (w. 179 H.) dikembangkan ahli hadis kekinian yaitu Yusuf al-Qaradhawi, dan Muhammad al-Ghazali (w. 1996 M.). Ulama ahli hadis ini cenderung lebih adaptif dengan konidisi sosial budaya dalam memahami hadisnya. Hal ini lahirlah Islam Nusantara yang mengakomodir atas tradisi dan agama sehingga corak Islam ini mudah diterima di Indonesia sebagaimana yang dikembangkan walisongo dan ulama lainnya.
Pemahaman atas teks agama yang terbuka merupakan sebuah keniscayaan. Beragam perbedaan di atas adalah masih dalam koridor yang dibenarkan. Hal tersebut setidaknya sesuai manhaj dan metode yang dikembangkan. Tentunya, pola pemahaman tersebut bagian ijtihad mereka dalam rangka memahami ajaran Islam. Hasil perbedaan tersebut juga menghasilkan perbedaan dalam aksi di masyarakat. Sehingga satu dengan lainnya saling menghujat dan beragam aksi lainnya. Aksi-aksi tersebut seharusnya juga dalam koridor saling terbuka mampu menerima perbedaan dalam pemahaman teks agama termasuk dalam hadis. Upaya ini menjadikan bagian dari penghargaan atas perbedaan dalam rangka menjalin keutuhan dan persatuan di masyarakat.