Pada sebuah kesempatan, seorang Bhante mengatakan pada saya, Buddhisme itulah yang sebenarnya dipraktikkan oleh orang orang-orang kejawen. Bagi saya, ungkapan itu memang tak terlalu berlebihan.
Apalagi ketika sepuluh tahun kemudian saya sempat berdiskusi dan mewawancarai seorang pendeta Buddhis, yang berbeda dengan seorang Bhante, boleh menggauli perempuan (Berpijak di Akar Budaya yang Sama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).
Namun, ternyata kejawen tak hanya cukup apik dalam menganyam Buddhisme sehingga tak tampak asing bagi pemeluk Jawanya. Agama-agama yang lain pun—seperti halnya Islam, Katolik, Protestan, dan Hindu—juga dapat melakukan pengakuan yang sama.
Bahkan pun, ketika berkaitan dengan berbagai agama yang singgah dan kemudian kerasan mendekam di Jawa itu, kejawen dapat mengaitkan atau menyambungkannya antara yang satu dengan yang yang lainnya tanpa mengalami satu pun benturan, dengan modal bahwa masing-masing agama itu tak berhenti pada sekedar apa yang bersifat formal.
Seorang kejawen tentu saja dapat dengan mudahnya memahami bahwa meditasi samatha tak ubahnya menyatakan urip atau kehidupan, dimana oleh para sufi dalam agama Islam juga diakui dengan pengabaran bahwa konon para penghuni surga adalah orang-orang yang berdzikir laiknya bernafas.
Seorang kejawen tentu saja dapat dengan mudahnya pula memahami bahwa nibbana atau nirwana bukanlah sepetak surga yang menjadi tujuan akhir seorang anak manusia. Atau, dalam pandangan para sufi, apa yang dikatakan sebagai Allah yang impersonallah yang menjadi akhir.
Kejawen, pada tahap ini, dapat menyediakan kerangka pemahaman akan Tuhan yang personal, yang lazim diyakini orang-orang yang memakai kerangka syari’at Islam, dan impersonalitas Tuhan dalam Buddhisme, yang sebenarnya juga lazim dipahami oleh para sufi dengan istilah “al-Haqq” atau kasunyatan.
Dengan demikian, ketika Buddhisme percaya pada Tuhan yang impersonal dan ketika Islam, khususnya dalam perspektif syari’at, percaya pada Tuhan yang personal, kejawen menyediakan kerangka pemahaman bagi kedua corak bertuhan itu. Seumpamanya dengan pembedaan antara Yang Maha Suci dan Yang Maha Kuasa. Atau pada lakon wayang “Dewa Ruci” antara Dewa Ruci dan kejaten yang dimasuki oleh Bratasena dengan bimbingan dewanya itu.
Apalagi terkait doktrin Buddhisme yang barangkali paling kontroversial dari sudut-pandang syari’at Islam: tumimbal lahir.
Pada dasarnya seorang anak manusia, yang menurut kejawen disebabkan oleh apa yang disebut sebagai “wiji” dan yang oleh ilmu genetika disebut sebagai sebagai gen, selalu dalam proses kesinambungan yang seakan-akan mencari penggenapan atau penyempurnaan dalam kehidupannya.
Ilmu genetika menyatakan bahwa segala hal yang pernah diterima dan disandang oleh para leluhur tak menghilang begitu saja ketika mereka meninggal dunia. Segala hal itu akan menitis pada anak cucunya. Tak sekedar bentuk tubuh ataupun watak, bahkan pun segala informasi dan penyakit yang pernah mereka terima akan pula menitis. Maka, konsep tumimbal lahir dalam Buddhisme dapat dipahami dalam kerangka ilmu genetika atau wiji semacam itu.
Demikianlah kejawen yang ternyata merupakan sebentuk ruang yang dapat menyinggungkan segala sesuatu yang tampak berbeda tanpa perlu melenyapkan perbedaan itu. Maka dapat dipahami ketika tepa sarira atau toleransi adalah sebuah nilai etis yang begitu dijunjung tinggi dalam kebudayaan Jawa.