Realita yang miris terjadi di dalam ruang keberagamaan kita akhir-akhir ini. Ruang keagamaan kian dilingkupi oleh gelegak dan gelinjang egoisme yang saling membenturkan, bahkan kekerasan. Fenomena penggerudukan Ibadah Doa Rosario di Tangerang Selatan, Minggu, 5 Mei 2024 oleh masyarakat setempat merupakan salah satu kasus egoisme beragama yang membenturkan sikap identitas ke aku an dari sikap keberagamaan yang tidak tepat.
Kalau kenyataannya memang murni karena pelaksanaan Ibadah Doa Rosario, tentu merupakan tindakan yang tidak terpuji karena menihilkan aspek sakralitas suatu agama yang diyakini oleh para pemeluknya sebagai sebuah kewajiban atau anjuran dalam agama mereka. Hal ini merupakan bentuk intoleransi dalam ruang keberagamaan di negara ini. Sebab agama adalah soal keyakinan dan keimanan yang tidak seorang pun bisa memaksa orang lain ke dalam ranah tersebut. Lebih-lebih negara telah menjamin dan menerima keberadaan beberapa agama di Indonesia.
Namun, apabila kronologinya seperti yang diceritakan masyarakat setempat maka sesungguhnya intoleransi beragama di tempat tersebut tidak berjalan baik. Sebab ada dua versi tentang muasal kekerasan tersebut; versi mahasiswa dan versi masyarakat. Menurut warga setempat sekelompok mahasiswa di rumah kost tersebut memang kurang sikap tenggang rasa. Main gitar dan nyanyi di malam hari sampai mengganggu ketenangan dan kebisingan yang lain. Beberapa teguran kepada mereka seakan tidak dihiraukan dan akumulasinya dalah tindakan penggerudukan tersebut.
Terlepas dari fakta yang sebenarnya, tidak dapat dipungkiri bahwa egoisme beragama memang kerap kali terjadi di negara kita. Penganut agama tertentu bisa secara nyaman melakukan melakukan ibadah, sementara ada penganut agama yang lain tidak tenang dalam melaksanakan ritual keagamaan mereka karena adanya intimidasi dan ancaman yang mengarah terhadap kekerasan.
Intoleransi dalam ruang keberagamaan tersebut tidak hanya terjadi antar agama saja, namun terjadi juga di internal agama tertentu. Sikap saling menghujat, merasa diri paling benar, dan menyudutkan yang lain dalam posis salah dan sesat adalah fenomena yang lagi marak-maraknya di Indonesia. Begitulah, egoisme beragama terjadi sangat kencang sehingga lupa bahwa egoisme itu merupakan sesuatu yang sangat di larang oleh agama dan dalam negara yang majemuk di Indonesia mengancam keharmonisan dan merentankan perpecahan.
Larangan Berlebihan dalam Beragama
Bagaimana agama Islam memandang fenomena egoisme beragama yang menggelinjang seperti di Indonesia? Pertanyaan ini penting mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut agama Islam. Sebagai mayoritas sikap keberagamaan umat Islam akan lebih dominan mewarnai corak keberagamaan di negeri ini. Sebab, mayoritas biasanya lebih menguasai dan mampu memberikan tekanan terhadap minoritas.
Egoisme beragama atau sikap berlebihan dalam beragama dalam Islam disebut “Ghuluw”. Ia mengandung pengertian yang menguatkan (mubalaghah) terhadap sikap berlebihan dan melampaui batas dalam konteks beragama.Suatu perilaku beragama yang sangat dicela dalam agama Islam. Ia tidak terkait dengan keimanan yang mantap dan mendalam terhadap kebenaran agama. Ia tak lebih sebagai fenomena kegilaan dalam beragama yang dapat menciptakan nuansa teror dalam masyarakat, baik terhadap yang beda agama maupun seagama.
Al Qur’an mengingatkan: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. (Al Maidah: 77).
Dilarang karena ghuluw dapat sangat mudah diarahkan kepada hal-hal yang bersifat destruktif. Berpotensi merusak pada dirinya sendiri dan orang lain dan membawa seseorang pada hal-hal yang selalu bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip agama.
Pada ayat lain dikatakan: “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar”. (An Nisa’: 171).
Rasulullah juga mengingatkan: “Wahai manusia, berhati-hatilah akan sikapmu yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama, karena kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah karena mereka terlampau berlebihan dalam hal agama”. (HR. Ibnu Majah).
Kepada umatnya Rasulullah memerintahkan untuk tegak lurus pada kebenaran (hanifiyah), memegang teguh ajaran agama dan keyakinan mendalam terhadap kebenaran agama Islam. Namun, sikap tersebut tidak boleh mengenyampingkan sikap toleran. Sebab, terjadinya kesesatan dalam beragama sangat mungkin terjadi, ketika seseorang berpandangan atau bersikap yang melampau batas-batas kewarasan dalam beragama.
Ghuluw sejatinya merupakan praktik dosa yang disangka pahala. Disinilah telikungan iblis dalam upaya menyesatkan pemeluk agama Islam. Seseorang yang memiliki sikap ghuluw menyangka dirinya berada dalam koridor kebaikan, padahal nyata-nyata berjalan di rel kemaksiatan.
“Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semua”. (Al Hijr: 39).
Ghuluw atau sikap berlebihan dalam beragama bukan saja sesat, namun memiliki potensi menyesatkan orang lain. Lebih jauh lagi, sikap ghuluw berpotensi sulit mengembalikan seseorang pada jalan agama yang semestinya dan rentan diarahkan bahkan diperintahkan untuk melakukan perbuatan destruktif atau merusak.
Moderasi sebagai Pilihan
Karenanya, egoisme beragama yang menggelinjang ini perlu diantisipasi dan diarahkan karena akibatnya adalah memecah belah persatuan, solidaritas dan keharmonisan dalam dalam sebuah negara multikultural seperti di Indonesia. Diarahkan pada nalar berpikir yang reflektif dan kritis dalam memahami ajaran agama.
Bahwa, Islam sangat menekankan keseimbangan antar atau sesama pemeluk agama. Islam membentuk umatnya sebagai “ummatan wasathan”, umat yang moderat. Beragama tidak boleh menyakiti atau menyiksa diri, apalagi menimbulkan kerusakan pada orang lain.
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (Al Baqarah: 143).
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, sebagai rahmat bagi semua manusia dan alam semesta, mengajarkan umatnya menjaga hak-hak manusia yang lain tanpa melihat agama dan latar belakangnya. Kita memiliki kewajiban menyampaikan kebenaran agama Islam, namun kita tidak diperbolehkan untuk memaksa seseorang memeluk agama Islam apalagi dengan cara kekerasan.
Sejatinya umat Islam lebih mengedepankan persatuan, membina kerukunan dari pada memperturutkan egoisme beragama yang provokatif. Maka, beragama secara wajar (moderat) merupakan tipikal paling ideal bagi umat Islam yang mengikuti jejak Rasulullah yang berpesan kepada umatnya, bahwa sebaik-baik perkara adalah pertengahan. Beragama secara moderat berarti mengikat simpul-simpul solidaritas, tidak mencerai-beraikannya. Menyulam keharmonisan dan merajut tenun kebangsaan untuk mengokohkan kesatuan dan persatuan.