“Kita ini adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Kita bukan orang Islam yang kebetulan dilahirkan di Indonesia”. KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus).
Pernyataan Gus Mus tersebut dapat dimakmai sebagai sindiran terhadap kelompok keagamaan Islam yang melakukan kekerasan atas nama agama. Lebih lanjut, tokoh NU itu menekankan kata “orang Indonesia yang beragama Islam”, dimana kalimat ini mengharuskan umat Islam Indonesia mencintai Nusantara, baik budaya dan segela elemen dan atribut yang ada di Indonesia ini.
Jadi, Islam dan Budaya Indonesia ibarat dua sayap burung yang saling melengkapi dan sinergi. Konsekuensi atas pernyataan ini adalah, Muslim Indonesia secara sadar dan terencana harus mencintai dan menjaga harmoni dan kedamaian NKRI. Merusak Indonesia sama saja merusak Islam. Begitu pun sebaliknya.
Namun, di tengah pesatnya laju globalisasi yang tidak dapat dihindari, nilai-nilai dan paradigma di atas lambat laun semakin memudar. Sebagai gantinya, muncullah ideologi luar yang memporak-porandakan bangunan dan keindahan Indonesia. Menguatnya ideologi ekstern itu tidak diimbangi dengan penguatan nilai-nilai kearifan lokal. Akibatnya, terjadilah pergeseran nilai-nilai.
Indikator pergeseran itu terlihat dari laku generasi saat ini yang mudah marah, terprovokasi dan lebih mengedepankan permusuhan. Praktik kekerasan menjadi tren dan cenderung dianggap sebagai model baru dalam menjalani roda kehidupan di Indonesia.
Tidak hanya itu. Siapa yang tak gerah dan marah ketika muncul narasi bahwa Islam tidak ramah terhadap budaya Nusantara. Bahkan yang lebih mengejutkan, ada kelompok yang secara membabi buta mempertentangkan antara keislaman dan keindonesiaan.
Secara moral, kejadian-kajadian yang menimpa bangsa ini adalah tanggung jawab penuh umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia. Untuk itu, di momen yang baik, yakni tahun baru Hijriyah 1439 ini, seluruh umat Islam harus dapat merefleksikannya sebaik mungkin.
Berbagai tantangan keislaman dan keindonesiaan harus dijawab satu-persatu lengkap dengan solusinya secara tuntas.
Pertama, Islam tidak bertentangan dengan Keindonesiaan. Ada kelompok yang masih berpegang teguh bahwa Pancasila sebagai antithesis terhadap Islam. Kelompok ini mengklaim bahwa hukum (UUD 1945) adalah produk kafir dan lain sebagainya.
Inilah tantangan yang harus segera dijawab oleh segenap elite dan tokoh bahkan masyarakat Islam. Bahwa Islam adalah agama yang fleksibel (dalam hal muamalah-bentuk negara). Ibnul Ibrohin (2013) menjelaskan bahwa relasi Islam dan Indonesia selalu positif. Bahkan ketika kita mengkaji pemikiran ulama nusantara, akan ditemukan bahwa nilai-nilai Islam menjiwai seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, Islam anti budaya lokal. Harus diakui bahwa sampai saat ini masih ada yang memilki pandangan dan keyakinan bahwa islam anti kebudayaan. Tentu kelompok ini tidak bisa dikatakan sebagai muslim sejati. Bagi Muslim yang memiliki pengetahuan keislaman yang mendalam akan paham bahwa Islam adalah agama yang elegan; bisa beradaptasi dengan budaya lokal. Jadi, Islam bukan anti kebudayaan. Justru Islam mampu berkontribusi terhadap budaya lokal.
Tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad, bahkan sedekah bumi adalah dua contoh dari sekian banyaknya contoh bahwa Islam sangat akomodatif terhadap budaya lokal. Bahkan sekelas Walisongo adalah pewaris budaya yang ulung. Para tokoh sembilan itu dalam menyebarkan Islam melalui kebudayaan. Mereka tidak langsung menentang budaya nusantara, justru malah memoles dan memasukkan nilai-nilai Islami. Alhasil, Islam pun diterima dan menjadi agama mayoritas di Jawa.
Ketiga, memudarnya kearifan lokal. Sebagai agama yang akomodatif dan dapat berjalan bergandengan dengan budaya lokal, Islam sejatinya memiliki tantangan untuk mengembalikan generasi saat ini yang mulai memudar dalam hal pengetahuan dan pengamalan nilai-nilai kearifan lokal. Misalnya, budaya gotong-royong, saling tegur-sapa, ramah, toleran dan lain sebagainya.
Sebab, harus jujur diakui bahwa sikap individualis, mudah menaruh curuga terhadap kelompok lain, gemar memprovokasi, fitnah dan menebar kebencian adalah contoh nyata yang terjadi tepat di depan mata kita. Apalagi dalam konteks etike bermedia, antara yang tua dan muda nyaris tidak ada bedanya. Sekali lagi, ini cerminan kondisi bahwa Indonesia darurat nilai-nilai kearifan lokal dan keagamaan!
Dan itulah yang menyebabkan Indonesia saat ini diliputi dengan langit-langit kebencian karena anak bangsa sudah tidak lagi melandasi gerak-geriknya dengan nilai agama dan kearifan lokal yang diwariskan generasi terdahulu. Padahal, ia adalah milik kita yang paling berharga lagi sangat dihargai orang lain. Selain itu, ia juga merupakan benteng kokoh NKRI. Untuk itu, tidak ada cari lain selain kembali memperkuat dan merawat kearifan lokal!