Berpijak di Akar Budaya yang Sama

Berpijak di Akar Budaya yang Sama

- in Narasi
1554
0

BENARLAH ujar para orangtua, bukan Jakarta apalagi Eropa letak tujuan segenap sistem kebudayaan maupun keagamaan. Tapi, Ponorogo. Pono berarti “mawas/tahu” dan rogo adalah “diri”.

Sodong, sebuah padhukuhan yang terletak di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Gelangkulon, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo.

Untuk menuju Sodong saya perlu menyusuri jalan kecil pegunungan yang menanjak dan berkelok. Di kaki gunung Suci, desa Pager Ukir, sekitar 2 km dari tempat tujuan saya, ada sebuah sendang dan situs purbakala Watu Dukun yang telah berusia 1000 tahun lebih.

Sepanjang jalan banyak hutan dan persawahan yang menghampar. Aroma ketinggian, aroma keguyuban cukup terasa di pegunungan ini.

Saya langsung menuju Vihara Sangha Theravada, tempat di mana umat Buddhis Sodong menjalankan aktifitas keagamaannya.

Seorang perempuan paruh baya dengan ramah menyapa dan menghampiri saya. Sambil menggendong tumpukan rumput, ia mempersilahkan saya menuju rumah sesepuh dusun Sodong, yang adalah suaminya sendiri, Mbah Saimin, atau dalam komunitas Buddhis bergelar Pdt. Dhammaratana Saimin.

Laiknya lelaki tua di pedesaan Ponorogo, siang itu Mbah Saimin memakai celana komprang hitam selutut, tengah bersantai di beranda rumahnya yang bersahaja. “Di dusun ini ada dua agama yang telah sejak lama hidup berdampingan: Buddha dan Islam,” katanya mengawali perbincangan kami.

Dahulu di dusun ini agama Buddha adalah agama mayoritas. Karena program transmigrasi yang gencar dilakukan pemerintah orde baru, sejumlah 35 KK berpindah tempat ke luar Jawa.

Dusun Sodong sendiri terdiri dari 4 RT. Kebanyakan penduduknya bercocok-tanam, berprofesi sebagai tani/buruh tani, peternak dan pedagang. Sedangkan anak-anak Mbah Saimin sendiri ada yang berprofesi sebagai pengajar dan penyuluh agama Buddha.

Boleh dibilang, Mbah Saimin—dan kini beserta anak lelakinya, Suwandi—adalah salah satu penyangga budaya utama komunitas Sodong.

Selain menjadi pandita di Vihara Sodong, Mbah Saimin juga menjadi tokoh kebudayaan lokal yang menaungi baik umat Buddha maupun umat Islam setempat.

Dalam memainkan perannya tersebut ia tak pernah membeda-bedakan orang yang tengah mencari pertolongan atau sekedar mencari pepadhang.

Dari buyut, kakek dan bapak, hingga Mbah Saimin sendiri meyakini dan menerapkan kearifan lokal turun-temurun tentang bibit-sakawit manusia yang sama apapun latar-belakangnya.

Mbah Saimin sendiri lahir pada tahun 1930. Tentang keberadaan agama Buddha di dusun Sodong, salah satu puteranya, Suwandi Cittapanna, bercerita. Di masa mudanya Mbah Saimin suka berkelana. Lazimnya lelaki zaman itu, Mbah Saimin pun pernah berguru pada seorang spiritualis Jawa yang kebetulan memiliki afiliasi keagamaan yang cenderung ke agama Buddha.

Namun, menurut tutur Mbah Saimin sendiri, sebelum agama Buddha resmi diakui negara pada tahun 1974—dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RI No. 45 Tahun 1974 dan Keputusan Presiden RI No. 30 Tahun 1978 tentang didirikannya Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha—ia dan leluhurnya telah mempraktikkan kearifan lokal yang selaras dengan agama Buddha sejak sebelum agama yang dibabarkan Sidharta itu masuk ke dusun Sodong. Ia sendiri menyebut keyakinan yang telah dipeluknya secara turun-temurun tersebut sebagai “kejawen”.

Ia masih ingat pesan leluhurnya tentang agama Buddha. “Ini agama kuno sejak zaman Majapahit. Ini wadah-mu. Isinya sudah ada dalam dirimu sendiri.”

Dengan ilmu kerata basa, Mbah Saimin memaknai istilah “agama Buddha” sebagai sebuah jalan. Agama itu ageman, pakaian. Adapun “Buddha” ia maknai sebagai Bu yang bisa berarti “ibu” atau “bumi”, dan suku kata Da bermakna dalan atau jalan. Jadi, manusia bisa ada lantaran jalan.

Demikian Mbah Saimin menyelaraskan kearifan lokal atau yang ia sebut sebagai kejawen yang telah lama ia anut dengan agama Buddha.

Isi yang telah ada di dalam dan dibawa manusia tersebut ia istilahkan sebagai bibit-sakawit. Dan ini selaras dengan ajaran empat kebenaran mulia dan delapan jalan pembebasan yang diwariskan oleh Sang Buddha (Living Religions, Mary Pat Fisher, Prentice-Hall, 2002).

Manusia dikaruniai empat hal: telinga, mulut, mata, dan hidung. Empat hal ini merupakan ringkasan ajaran empat kasunyatan mulia yang dibabarkan oleh Sang Buddha. Bibit-sakawit, atau saya terjemahkan sebagai benih kehidupan ini, berjumlah delapan: raga, urip, nyawa, gagasan, cahyo, osik, napas, dan pangucap.

Kearifan lokal semacam inilah yang sesungguhnya diwedarkan oleh Mbah Saimin kepada masyarakat Sodong. Kearifan lokal yang mampu menembus segala sekat, baik sekat sosial maupun sekat agama. Kearifan lokal yang sambung dan selaras dengan pesan-pesan universal agama, baik Buddha maupun Islam.

Kedamaian di dusun Sodong adalah kedamaian individual yang berimplikasi sosial. Mereka beranjak dari ruang batin masing-masing untuk membangun ruang sosial. Dan tradisi ini telah berlangsung selama puluhan tahun. Maka dapat dimengerti bahwa kohesi sosial di sana sangatlah kuat.

Tak jauh beda dengan kondisi wilayah pegunungan dan pedalaman lainnya, dari sisi ekonomi mereka juga bukanlah kalangan the have yang lekat dengan kemewahan dan kemegahan. Rumah-rumah penduduknya sangatlah sederhana. Vihara dan masjid pun terbangun bersahaja. Namun soal kebhinekaan dan toleransi, mereka adalah pelakunya yang nyata.

Ada satu tilikan Mbah Saimin perihal keinginan manusia yang bersifat elastis. Keinginan itu adalah soal pikiran. Dan pintu pikiran adalah empat hal di atas. Siapapun orangnya, pasti akan mengalami ulah dari keinginannya. Maka, “Kukupen ing kupingmu, moten ing matamu, serungen ing janur irung, cancangen ing cangkemmu,” jelas Mbah Saimin ketika saya tanya soal inti kemanusiaan.

Saya menamakan pandangan Mbah Saimin yang kemudian mendasari perilaku komunitas Sodong ini sebagai sebentuk humanisme universal. Di sini, agama dan kepercayaan bukanlah penghalang komunitas Sodong untuk saling berinteraksi, melebur dalam kehidupan bebrayan.

“Agama itu pakaian. Maka terserah orangnya mau memakai pakaian kesukaannya. Agama hanyalah wadah di mana isinya adalah bibit-sakawit yang sudah ada dalam dan di bawa dirinya masing-masing,” jelas lelaki yang pernah memperoleh penghargaan dari komunitas Buddhis Indonesia ini.

Peristiwa-peristiwa budaya—saya menyebutnya peristiwa karena ketika itu terjadi sama sekali tanpa paksaan, tanpa rekayasa—yang merupakan hasil local genius masyarakat Jawa merupakan wujud di mana pengakuan dan penerimaan terhadap perbedaan tak berhenti pada mulut belaka. Tapi juga menjelma dalam laku hidup sehari-hari.

Peristiwa Waisak dan Idul fitri adalah beberapa contoh peristiwa budaya di mana perbedaan agama tak lagi berarti dalam suatu prosesi kemanusiaan untuk saling memaafkan dan menyambung tali persaudaraan.

Saat Idul fitri, umat Islam dusun Sodong melakukan bukak lawang (open house) dan mempersilahkan umat Buddhis bersilaturahmi. Demikian pula saat Waisak tiba, umat Buddhis mempersilahkan umat Islam untuk beranjangsana ke rumahnya.

Penilaian-penilaian keagamaan, yang umumnya menjadi ganjalan kehidupan bebrayan, seakan tertangguhkan oleh rasa kemanusiaan. Bahkan pun yang sampai menyangkut wilayah metafisis seperti peristiwa pasca kematian, komunitas Sodong tak segan untuk melebur, mengenyampingkan perbedaan latar-belakang agamanya. Mereka tak peduli tentang agama atau kepercayaan apa yang dianut si mati. Baik orang Buddha maupun Islam di sini juga diperlakukan sama: sepekuburan dan dipanjatkan doa-doa pasca kematian. Dari mulai geblak/surtanah hingga penget, mereka semua mendapatkan doa lewat upacara slametan. “Yang Buddhis dengan rujukan-rujukan dari Tripitaka dan yang muslim dari al-Qur’an,” jelas Mbah Saimin.

Jamaknya, orang akan kikuk ketika melebur dalam tata-cara ibadah umat lain. Namun, menurut Mbah Saimin, sebenarnya semua tergantung pada niatnya. Toh, saya kira, slametan itu sendiri sekedar sarana, media, yang sejak zaman Hindu-Buddha telah dipraktikkan orang Jawa secara turun-temurun.

Seperti penyikapan terhadap keberaan vihara atau masjid di dusun Sodong, Mbah Saimin menerangkan bahwa bukan tempat ibadah itu yang dikatakan suci, tapi batin manusia itulah yang semestinya suci. Maka di mana pun, entah di tepi kali atau di kedalaman gua akan sama saja.

Bagi masyarakat Sodong secara keseluruhan, keberadaan vihara dan masjid dalam satu dusun adalah hal yang wajar. Tak perlu mengganggu keutuhan masyarakatnya. Semua berjalan wajar, mengalir. Pernah beberapa kali, memang, orang luar—biasanya datang dari kalangan Islam tertentu—mencoba menggoyahkan keutuhan masyarakat Sodong dengan isu-isu soal kemurnian akidah. Tapi sejauh ini tak mempan. Kini, masyarakat Sodong—baik Buddhis maupun muslim—bersepakat untuk menolak pemaksaan paham-paham yang sekiranya berpotensi merusak pluralitas dan keutuhan masyarakatnya. “Kami sudah punya agama,” kata Suwandi Cittapanna, salah satu putera Mbah Saimin yang juga seorang aktifis desa.

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitulah Suwandi, selain berprofesi sebagai seorang penyuluh sekaligus aktifis Buddhis, ia juga aktif membangun komunitas Sodong dan memperkenalkan kekhasan dusunnya tersebut. Kini, melalui jalur budaya, ia tetap teguh menjaga kohesi sosial masyarakat Sodong. Ia pun aktif mempromosikan komunitasnya lewat blog “Sodong Bagian Penting dari Indonesia.”

Apakah kehidupan Mbah Saimin pada khususnya atau komunitas Sodong pada umumnya berjalan lempang tanpa halangan?

Selaiknya para kalangan penghayat, pada tahun 1965, Mbah Saimin pun pernah berurusan dengan pemerintah setempat. Ia pernah dipanggil kepolisian terkait tuduhan terlibat gerakan makar. Namun, menurut penuturan Mbah Saimin sendiri, tuduhan itu tak terbukti. Semua cibiran dan tuduhan yang beberapa kali menimpa diri dan komunitasnya ia lawan dengan kejujuran. Pandangan-pandangan miring terhadap diri dan komunitasnya tersebut ia hadapi dengan sikap nyumanggaaken. Yang terpenting, sebagaimana Sang Buddha, ia tetap menebar kebaikan dan pepadhang.

Suwandi juga menambahkan, pada dekade 80-an, pemerintah setempat pernah pula memanggil Mbah Saimin sendiri terkait kasus pernikahan menurut tata cara agama Buddha. Oknum aparat pemerintah setempat menuduhnya menilep biaya pernikahan yang semestinya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Kasus ini menyeretnya dalam interograsi bertubi. Ia ditanya perihal apa atau siapa yang disembah olehnya, dan sebagainya. Padahal, agama Buddha telah resmi diakui negara pada tahun 1974.

Pada dasarnya, pernikahan lintas agama di dusun ini—bahkan sampai kini—sulit untuk dilaksanakan. Pernikahan itu bisa terlaksana apabila salah satu dari mempelai mengalah, menganut ke agama pasangannya.

Meski Sodong terletak di pedalaman, sebenarnya daerah ini tak menutup diri dari dunia luar. Banyak orang dari berbagai latar-belakang datang bertamu ke rumah Mbah Saimin. kepentingannya berbeda-beda. Ada yang sekedar ingin bertukar-pikiran, berbagi pengalaman keagamaan, minta tolong, dan seterusnya. Ada pula yang berupaya melakukan “islamisasi”.

Untuk upaya terakhir yang lazimnya dilakukan oleh orang luar komunitas Sodong, Suwandi tetap menerima kedatangan mereka, namun biasanya ia enggan untuk meladeni perdebatan-perdebatan yang bersifat menghakimi (judgemental).

Seperti penjelasan Mbah Saimin sendiri, agama adalah ageman. Ibarat pakaian, orang bebas memilih pakaian apa yang cocok dan nyaman dengan dirinya. Ibarat pakaian, masing-masing punya ukurannya sendiri, yang jadi tak elok ketika ukuran orang lain dikenakan dan dipaksakan pada dirinya. Dan ibarat pakaian, yang di dalam pakaian itulah yang terpenting di kehidupan ini. Itulah bibit-sakawit yang niscaya ada dalam setiap anak manusia. Bibit-sakawit yang merupakan perbendaharaan tersembunyi, yang dicari-cari setiap para pendiri agama dan para pencari. Perbendaharaan tersembunyi yang membuat tak perlunya lagi mempeributkan perbedaan jalan. Perbendaharaan tersembunyi yang akan selalu luput dari jerat segala sekat. Perbendaharaan tersembunyi yang tak akan ditemukan di mana pun kecuali di “Ponorogo”.

Demikianlah secuil kisah Mbah Saimin dan komunitas Sodong yang telah lama mempraktikkan pluralisme dan toleransi tanpa perlu berkoar-koar ke luar. Segalanya telah menjelma dalam laku hidup sehari-hari masyarakat Sodong, sejiwa sejak dahulu kala.

Facebook Comments