“If someone is able to separate sugar from its sweetness, he will be able to separate Islamic religion from politics.”
(K. H. Abdul Wahab Chasbullah, 1978).
Dewasa ini, globalisasi dengan berbagai produknya membawa dampak yang signifikan terhadap aktifitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Aktifitas sosial-politik sebagai salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia berkembang cukup dinamis dan begitu cepat. Proses globalisasi diperkirakan semakin bertambah cepat pada masa mendatang, Colin Rose sebagaimana dikutip Nur Kholish (2005), menyatakan bahwa dunia sedang berubah dengan kecepatan langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kehidupan masyarakat termasuk kehidupan politik, hukum, sosial dan ekonominya menjadi semakin kompleks.
Persoalan-pesoalan sosial keagamaan, termasuk dalam internal Islam, dalam berbagai aspeknya yang dahulu tidak pernah terbayangkan muncul, pada era globalisasi ini muncul dan berkembang dengan cepat. Padahal wahyu tidak akan turun lagi karena Rasulullah Saw sebagai rasul terakhir telah wafat dan al-Qur’an telah khatam. Sementara tidak semua persoalan-persoalan yang muncul dalam era globalisasi dijawab dengan gamblang oleh ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw. Masyarakat muslim, sebagai bagian dari masyarakat global tidak lepas dari dampak globalisasi dengan perkembangan ikutannya.
Islam Indonesia sebenarnya memang telah berkembang sejak lama. Eksistensinya bahkan lebih tua di banding usia Kemerdekaan bangsa ini. Namun demikian, eksistensi Islam Indonesia selalu dinamis seiring relasi negara dalam menempatkan posisi umat Islam dan pasang surut tensi politik global yang berkembang. Massifnya Islam di Indonesia ditandai dengan tingginya taraf pengorganisasian. Dua organisasi Muslim terbesar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), yang telah mendominasi kehidupan sosial-keagamaan barangkali menjadi contoh yang tak terbantahkan. Disamping tentunya berbagai organisasi-organisasi lainya yang tumbuh silih berganti dan memberi warna tersendiri.
Konteks realitas sejarah inilah yang kemudian mewarnai berbagai peristiwa protes, gejolak, pemberontakan maupun benih-benih radikalisme-fundamentalisme dalam menempatkan Islam dan relasinya dengan negara bangsa. Gejolak itu tentu bagian dari wujud ‘kekecewaan’ sekelompok elemen bangsa yang menganggap bahwa Islam sebagai mayoritas dan menghendaki Islam politik sebagai sistem bernegara. Sehingga mereka kemudian melakukan berbagai aksi ‘protes’ sekaligus ‘teror’ di luar sistem negara sekaligus menggalang dukungan untuk kemudian berupaya menggati sistem yang ada. Semisal kelompok yang ingin mewujudkan Negara Islam dan mengganti negara sekuler RI. Misalnya aksi ditunjukkan Komji, NII, JI, ISIS, dan beberapa gerakan lain.
Gejolak kelompok ini walau masih dalam tarap kecil dan sebatas teror kekerasan (violent action), tetapi telah menimbulkan gejolak di masyarakat dan jika dibiarkan tentu akan sangat membahayakan keutuhan bangsa Indonesia. Ini tidak lain tentu akibat dari munculnya gejolak global terhadap aksi-aksi kekerasan di negara-negara Barat maupun Timur Tengah.
Munculnya gerakan separatis di Indonesia, khususnya dari kalangan Islam tidak terlepas dari perbedaan cara pandang konsepsi bagaimana mengintegrasikan Islam dalam sebuah negara. Apakah hanya nilai-nilainya saja yang di aktualisasikan dalam sistem negara ataukan memang harus menyebut nama Islam secara riil dalam sebuah negara?
Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan tersebut, dalam konteks saat ini, dibutuhkan strategi yang tepat. Mengingat gerakan radikalis-fundamentalis ini terus mengalami transformasi gerakan, sehingga pola pendekatan deradikalisme yang diterapkan juga harus semakin komprehensif, yakni dengan mengedepankan sikap untuk lebih memahami dan tidak sekedar mewaspadai atau mencurigai menjadi sangat penting. Karena, di era demokrasi saat ini pemerintah memang dituntut mampu mengembangkan strategi dalam mengatasi kelompok-kelompok separatis ini tanpa harus melanggar hak-hak azasi manusia.
Model organisasi dan aksi yang terbuka bagi kaum radikalis-fundamentalis juga memungkinkan munculnya simpati dan pembelaan dari dunia internasional. Isu-isu ketidakadilan dan pelanggaran HAM kemudian akan dijadikan senjata yang ampuh untuk menjatuhkan kredibilitas negara. Seperti halnya yang terjadi di Suriah dan Afganistan misalnya. Mereka juga mempertajam fokus serangan mereka dengan menyebarkan kelemahan-kelemahan negara di mata rakyat. Pemerintah sering digambarkan sebagai pihak yang terus-menerus melakukan penindasan dan pelanggaran hak-hak azasi kaum radikalis. Tindakan-tindakan represif negara inilah yang kemudian menjadi alat propaganda untuk menarik perhatian dunia internasional.
Untuk menghadapi kaum radikalis-fundamentalis, ketegasan memang perlu untuk dikedepankan. Apalagi jika sudah mengancam elemen negara dan aparat negara. Namun demikian, strategi negara sendiri juga harus dipusatkan untuk memahami latar belakang dan penyebab munculnya perjuangan anti NKRI tersebut. Sikap empati terhadap kaum radikalis-fundamnetalis akan dapat menghasilkan strategi yang efektif dan solutif. Strategi yang tidak sekedar beroreintasi pada penghancuran dan pembunuhan tetapi lebih pada mengedepankan aspek integrasi dan pembinaan. Dengan mengedepankan gagasan Islam dalam bingkai nasionalisme dan Keindonesiaan. Semua pihak harus memiliki komitmen untuk saling menghargai dan secara jujur membangun komitmen baru untuk memenuhi kebutuhan rakyat mewujudkan komunitas Islam Indonesia yang nasionalis.
Pengembangan Islam Nasionalis merupakan bentuk alternatif untuk menampilkan wajah Islam yang lebih “moderat” dan “toleran”. Hal ini sebagai reaksi terhadap kondisi Timur Tengah yang saat ini diwarnai konflik berkepanjangan. Dengan potret demikian, Timur Tengah tidak layak dijadikan acuan keberislaman kaum Muslim. Justru Indonesialah, yang semestinya menjadi kiblat peradaban Islam karena Islam di Indonesia lebih moderat dan bisa diterima oleh banyak pihak. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Wapres Jusuf Kalla dalam sambutannya di Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta pada 9 Februari 2015, yang menyerukan agar Islam di Indonesia mampu menjadi teladan dan rujukan bagi peradaban dunia.
Akhirnya, dalam rangka memperteguh Islam yang berfondasikan nasionalisme, menjadi penting kiranya dalam upaya deradikalisasi gerakan, lebih mengedepankan metode yang komprehensif bersendikan semangat Keindonesiaaan yang humanis, dan bukan hanya mengacu metode yang terapkan oleh dunia Barat yang justru menghalalkan cara-cara kekerasan.