Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa pencegahan merupakan jantung dan inti kebijakan BNPT dalam menanggulangi terorisme. Pencegahan terorisme merupakan upaya menanggulangi terorisme dengan menyentuh pada hulu persoalan. Terorisme tidak akan pernah selesai jika jantung persoalan tersebut tidak pernah disentuh. Pemberantasan terorisme dengan semata penindakan tidak akan menyelesaikan persoalan, justru menimbulkan persoalan baru, jika tidak dibarengi dengan upaya memutus mata rantai dan akar persoalannya. Upaya memutus mata rantai tersebut adalah pencegahan terorisme.
Membangun sebuah strategi pencegahan yang efektif dan tepat sasaran meniscayakan pembacaan secara komprehensif terkait karakteristik dan gerak dinamis persoalan terorisme di Indonesia. Dari tahun ke tahun pola gerakan terorisme di Indonesia selalu mengalami dinamika perubahan baik motif, modus aksi, pola rekrutmen, hingga diaspora gerakan jaringannya.
Pelbagai perubahan dinamis tersebut bisa dilihat dari beberapa aspek. Pertama, dari perubahan sasaran : target musuh yang pada awalnya memfokuskan Amerika dan Barat serta sekutunya beralih pada sasaran dalam negeri. Meskipun Barat tetap menjadi objek kebencian, tetapi menyerang simbol-simbol Barat mulai sedikit dikurangi. Saat ini pola yang dilakukan adalah meluaskan arena kebencian dari ke Barat ke dalam negeri (form far enemy to near enemy), khususnya aparat penegak hukum. Berulangkali aksi dan ancaman kekerasan diarahkan pada Polisi, TNI hingga lembaga pemasyarakatan.
Terbaru sasaran kebencian dalam negeri pun mulai diperluas. Mereka telah semakin berani mengembangkan konsep takfiry hingga ke masyarakat sipil khususnya tokoh-tokoh moderat yang dipandang sebagai batu rintangan. Berbagai serangan naratif bernuansa kebencian dan takfiry mulai perlahan diarahkan kepada tokoh-tokoh penting yang memiliki pandangan moderat.
Kedua, perubahan bentuk aksi: serangan yang mereka lakukan telah mengalami perubahan bentuk dari bom skala besar ke bom kecil, tradisional/kimia, penembakan dan sarana kekerasan lainnya. Meski harus tetap diwaspadai, bom dalam skala besar yang pernah melanda negeri ini mulai berkurang. Aksi dan serangan kelompok teror saat ini bertumpu pada aksi-aksi kecil tetapi menakutkan seperti penembakan, dan bom granat.
Banyak analisa terhadap perubahan tersebut. Selain menelan biaya mahal, waktu yang lama, serta strategi yang jlimet, perubahan ke serangan kecil disebabkan banyaknya aktor perakit bom handal terlatih yang mulai sadar atau tertangkap. Eks Afganistan yang merupakan kelompok terampil dan terlatih dalam merakit bom banyak meninggalkan arena dan menginsyafi kebiadaban aksi teror. Sehingga yang tampil kepermukaan adalah rekrutan baru yang tidak terampil bahkan dikatakan amatiran, tetapi bernafsu untuk segera melakukan aksi. Tetapi sekali lagi patut diwaspadai, merakit bom itu gampang sebagaimana diakui oleh mantan teroris yang saat ini menjadi aktifis perdamaian-Ali Fauzi. Karenanya kewaspadaan terhadap bom skala besar juga mesti dikedepankan mengingat banyaknya pelajaran dan materi pembuatan bom yang mudah didapatkan di internet atau dengan kembalinya returnis ISIS ke Indonesia dengan keterampilan militer di Suriah dan Irak.
Ketiga, rekrutmen dan pelatihan jaringan internasional pun berganti pun dengan pelatihan dalam negeri, otodidak, dunia maya atau melalui buku dan komunitas kecil. Kelompok teror saat ini tidak lagi membutuhkan biaya mahal dalam menggalang anggota dan memberikan pelatihan. Tidak perlu membawa anggota ke kamp pelatihan luar negeri. Pelatihan dalam negeri menjadi pilihan. Aceh pernah menjadi pusat pelatihan, di Jawa Barat ada beberapa titik yang digunakan kelompok kecil untuk melakukan pembibitan, pengkaderan dan pelatihan dan Poso merupakan ancaman nyata sebagai titik sentral pelatihan kelompok teror saat ini.
Di samping pelatihan langsung, pola otodidak banyak dilakukan khususnya melalui penyebaran doktrin dan pengajaran melalui buku dan dunia maya. Banyak sekali sarana yang dapat digunakan oleh kelompok teroris dalam memberikan penataran dan pelatihan di dunia maya. Beragam website, media sosial, dan social messenger menjadi arena pelatihan tak terlihat tetapi masif di dunia maya.
Keempat, perubahan kelompok: dinamika ini dapat dilihat dari strategi diaspora dan metamorfosa kelompok besar ke dalam bentuk kelompok kecil. Perubahan ini disebabkan banyak faktor. Kuatnya penegakan hukum pemerintah memaksa mereka memecah diri dalam bentuk kelompok-kelompok kecil dan anonymous sekalipun. Faktor lain, perpecahan dan faksi internal dalam kelompok teroris ini mendorong mereka membentuk kelompok-kelompok baru.
Hadirnya ISIS juga menjadi satu faktor yang memecah pandangan dan afiliasi kelompok teror dalam negeri. Dari beragam kelompok baik lama maupun kelompok baru saat ini secara sederhana bisa dipetakan pada kelompok jihadis-takfiry yang mendukung ISIS dan kelompok jihadis yang menolak ISIS karena dianggap sebagai konspirasi yang memecah kelompok Islamis. Di ruang sosial maupun di dunia maya, konfrontasi kedua kelompok ini sangat kentara.
Kelima, perubahan serangan non-fisik tertutup menjadi terbuka. Pola serangan non-fisik di sini adalah serangan terhadap pola pikir masyarakat. dalam konteks inilah, masyarakat rentan, khususnya generasi muda menjadi target potensial dari proses propaganda dan ideologisasi gerakan radikal terorisme ini. Pola yang mereka lakukan sudah dengan berani masuk dan melakukan regenerasi melalui rumah ibadah, lembaga pendidikan keagamaan, kampus dan sekolah. Desiminasi ide dan gagasan pun tidak lagi dilakukan dengan metode konvensional semata tetapi uga merambah dunia digital yakni melalui dunia maya.
Dalam konteks perubahan itulah, tantangan pencegahan terorisme di Indonesia tentu saja menjadi sangat kompleks. Faktor lingkungan strategis global juga tidak kalah peliknya menyumbangkan persoalan tersendiri bagi dinamika kelompok terorisme di dalam negeri. Bagaimana konsep perubahan tersebut harus dilakukan?
Pertama-tama penting sekali untuk diketahui apa sebenarnya sasaran strategis pencegahan terorisme?. Pencegahan terorisme memiliki dua sasaran strategis 1) bagaimana meningkatkan daya tangkal masyarakat dalam menangkal dan mencegah aksi dan paham radikal terorisme; 2) menurunkan tingkat radikalisme kelompok dan individu yang sudah terpapar paham terorisme. Dari sini kita bisa melihat dua target pencegahan terorisme; masyarakat yang belum terpapar paham dan masyarakat yang sudah terjangkiti paham radikal terorisme.
Dalam strategi nasional pencegahan terorisme dua sasaran objek tersebut didekati dengan dua program yang berbeda. Pertama, kontra radikalisasi, yakni upaya melakukan penangkalan paham dan gerakan terorisme dalam rangka meningkatkan kewaspadaan dan daya tahan masyarakat dari pengaruh paham radikal terorisme. Sasaran dari program kontra radikalisasi ini adalah masyarakat umum khususnya mereka yang rentan terhadap pengaruh kelompok radikal terorisme. Dalam prakteknya program kontra radikalisasi dilaksanakan dengan :
- Mengkoordinasikan instansi pemerintah dalam upaya penangkalan paham radikal terorisme melalui berbagai kegiatan seperti sosialisasi, dialog, workshop, kegiatan intelijen dan kegiatan lainnya dalam rangka meningkatkan kewaspadaan, kepekaan dan deteksi dini masyarakat terhadap paham dan gerakan terorisme.
- Memberdayakan kekuatan masyarakat sipil (Ormas keagamaan, NGO, lembaga pendidikan, tokoh agama, tokoh adat, generasi muda) media massa, dan mantan teroris dalam menangkal paham radikal terorisme di tengah masyarakat.
Kedua, program deradikalisasi, yakni upaya untuk mentransformasi dari keyakinan atau ideologi radikal menjadi tidak radikal dengan pendekatan multi dan interdisipliner (agama, sosial, budaya, dan selainnya). Sasaran dari program deradikalisasi ini bukan masyarakat, tetapi individu mapun kelompok dan jaringan yang terpapar paham radikal terorisme. Dalam prakteknya program deradikalisasi dilaksanakan dengan :
- Program Deradikalisasi di dalam lembaga pemasyarakatan dengan sasaran warga binaan pemasyarakatan kasus terorisme.
- Program Deradikalisasi di tengah masyarakat (luar lembaga pemasyarakatan) dengan sasaran mantan teroris, mantan warga binaan kasus terorisme, keluarga dan kerabat narapidana terorisme serta jaringannya.
Dengan melihat alur di atas, program pencegahan terorisme merupakan ujung tombak penanggulangan terorisme di Indonesia. Pencegahan meliputi upaya memperkuat daya tahan dan deteksi dini masyarakat dari pengaruh paham radikal terorisme, di sisi lain mentransformasi keyakinan radikal kelompok teroris ke arah pandangan yang damai. Upaya pencegahan tentu saja pekerjaan yang sangat berat dan membutuhkan seluruh keterlibatan stakeholder dan masyarakat secara luas.