Islam Washatiyah Sebagai Benteng Kaum Muda dari Ekstremisme Agama

Islam Washatiyah Sebagai Benteng Kaum Muda dari Ekstremisme Agama

- in Narasi
568
0
Islam Washatiyah Sebagai Benteng Kaum Muda dari Ekstremisme Agama

Belakangan, dunia media sosial tengah riuh oleh beredarnya video ceramah seoarang ustaz muda yang salah membaca dan menafsirkan ayat al Quran. Ironisnya, kejadian ini bukan kali pertama terjadi dalam khazanah keislaman Indonesia di dunia maya. Sebelumnya, sejumlah ustad muda yang populer di media sosial juga mengalami kejadian serupa. Bahkan, tidak hanya itu, sejumlah ustad muda yang kini digandrungi oleh masyarakat itu juga mengeluarkan pernyataan yang kontroversial. Fenomena ini jelas meresahkan umat Islam dan masyarakat secara keseluruhan. Ceramah keagamaan yang seharusnya memberikan pencerahan dan kesejukan justru kerap kali disusupi kontroversi dan provokasi.

Fenomena ceramah keagamaan para ustad muda yang populer di jagat medsos ini tentu masih berkaitan erat dengan lanskap besar keagamaan kita hari ini yang mulai didominasi oleh dunia digital. Dakwah keagamaan kini tidak lagi dimonopoli oleh kiai atau ulama yang memiliki rekam jejak keilmuan dan otoritas dalam hal keislaman. Dengan adanya internet dan media sosial, siapa saja bebas menjadi penceramah agama di media sosial, lantas membranding dirinya sebagai ustaz, padahal pengetahuannya tentang Islam masih minim. Inilah problem utama yang dihadapi oleh umat Islam Indonesia dewasa ini. Yakni ketika anak muda lebih senang belajar Islam melalui internet, dan bertemu dengan portal-portal keislaman daring yang menjurus radikal. Juga ketika anak muda lebih mengidolakan ustad medsos bermodal popularitas ketimbang kiai atau ulama yang memang sudah teruji kealimannya.

Belajar Islam tentu merupakan hal mulia. Namun, jika caranya salah, maka yang akan didapat bukanlah pencerahan, melainkan sebuah penyimpangan. Belajar agama di internet tentu bukan aktivitas haram. Namun, jika dilakukan serampangan, bukan tidak mungkin hal itu malah akan menimbulkan mudarat. Belajar Islam tanpa metode dan cara yang benar hanya akan mendapatkan pemahaman yang sepotong-sepotong, tidak utuh dan tidak komprehensif. Metode dan cara belajar Islam yang salah juga hanya akan mengantarkan kita pada sisi luar alias simbol dari Islam itu sendiri, tanpa pernah sampai pada sisi paling dalam atau esensi agama yang sesungguhnya. Maka tidak mengherankan jika banyak pembelajar Islam di internet cenderung bersikap reaktif. Baru kemarin sore belajar Islam, sudah berani mengkafirkan orang yang berbeda pendapat. Ironis bukan?

Menguatnya ekstremisme agama, yang salah satunya mewujud pada perilaku takfiri di kalangan kaum muda belakangan ini merupakan ekses dari pendangkalan agama yang diakibatkan oleh tidak utuhnya pemahaman Islam. Orang yang telah sampai pada pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam mustahil berani mengkafirkan atau sekadar menuduh sesat kelompok lain. Inti ajaran Islam bukanlah untuk merendahkan kelompok yang berbeda, melainkan merangkul semua golongan dalam satu naungan kedamaian dan keselamatan.

Baca Juga : Badai Remaja, Radikalisme, dan Islam Washatiyah

Orang yang luas dan dalam pengetahuan keislamannya juga pasti tidak ada bersikap reaktif dalam menyikapi perbedaan baik di internal Islam maupun eksternal. Keluasan dan kedalaman pengetahuan agama seseorang akan membawanya pada satu kesadaran bahwa dinamika keagamaan ialah hal yang lumrah, dan perbedaan pandangan adalah keniscayaan. Sebagai kelompok yang diharapkan menjadi penerus bangsa, anak muda tentu harus dibentengi agar tidak terjerumus pada ekstremisme agama. Islam washatiyah yang menawarkan paradigma moderatisme, yakni inklusif, toleran dan progresif kiranya ideal menjadi benteng kaum muda dari infiltrasi ekstremisme.

Jika kita amati, kegandrungan kaum muda pada corak keberislaman ekstrem sebenarnya bukan murni kesalahan mereka sepenuhnya. Dalam banyak hal, mereka bisa dibilang sebagai korban dari gerakan ekstremisme agama. Anak muda pada umumnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, termasuk dalam hal keagamaan. Hal itu pula yang mendorong kaum muda melakukan pencarian dan petulangan relijiusitas, salah satunya dengan mempelajari agama Islam. Ironisnya, gairah pada agama itu tidak mendapatkan saluran yang tepat. Ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah kerap abai pada fenomena meningkatnya kegirahan anak muda agama ini. Sebaliknya, kelompok-kelompok Islam ekstrem-radikal justru menunjukkan respon yang sigap dalam menyambut gelombang kegairahan anak muda agama ini.

Selama ini, harus diakui NU dan Muhammadiyah sebagai dua ormas Islam paling otoritatif di Indonesia cenderung terlalu condong pada urusan dan isu politik praktis. Akibatnya, mereka justru abai pada isu paling fundamental dalam Islam, yakni maraknya ekstremisme dan radikalisme di kalangan kaum muda muslim. NU dan Muhammadiyah baru menyadari bahaya infiltrasi ekstremisme agama ketika kondisinya sudah sedemikian parah dan mengkhawatirkan. Meski demikian, tentu tidak ada kata terlambat bagi NU dan Muhammadiyah untuk bersinergi membentengi kaum muda dengan paradigma keagamaan moderat (washatiyah) agar tidak terjerembab ke dalam ekstremisme dan radikalisme agama. NU dan Muhammadiyah selama beberapa tahun terakhir ini sebenarnya telah menunjukkan upaya untuk menyebarakan moderasi keagamaan di kalangan kaum muda.

Hal itu tampak dalam keseriusan mereka menggalakkan dakwah Islam washatiya melalui kanal-kanal digital. Perlahan namun pasti, media-media online Islam bercorak moderat pun bermunculan dan mulai bisa menyaingi media Islam konservatif. Apa yang perlu dilakukan ialah mendorong upaya itu agar kian masif dan berkelanjutan. Jika konsistensi itu dijaga, besar kemungkinan satu dasawarsa ke depan, dunia maya akan didominasi oleh media keislaman berhaluan washatiyah. Dukungan pemerintah saat diperlukan dalam hal ini. Mulai dari yang paling pokok, yakni menyiapkan infrastruktur bagi pengembangan dakwah digital. Hingga pelatihan-pelatihan yang berguna untuk meningkatkan kualitas dakwah di ranah digital. Pada akhirnya, apa yang kita butuhkan ialah sikap optimis bahwa anak muda ialah kelompok yang berpikiran kritis dan terbuka. Cara pandang dan perilaku keberagamaan di kalangan anak muda cenderung dinamis, alias tidak ajeg. Banyak anak muda yang telah bergabung dalam gerakan radikalisme akhirnya keluar karena merasa tidak cocok, bahkan kecewa dengan agenda gerakan tersebut. Namun, banyak juga anak muda yang hanya karena ikut-ikutan justru terjerumus ke dalam ekstremisme agama. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat hendaknya tidak lelah dan bosan untuk mengampanyekan corak Islam washatiyah sebagai tameng anak muda atas tarikan arus ekstremisme agama yang kian deras.

Facebook Comments