Isra’ Mi’raj, Fiksi, dan Keadaban Politik

Isra’ Mi’raj, Fiksi, dan Keadaban Politik

- in Narasi
1122
1
Isra’ Mi’raj, Fiksi, dan Keadaban Politik

Perjalanan Isra’ Mi’raj merupakan proses ritual suci serta spiritualitas terpenting yang mengubah pola hidup manusia di dunia. Isra’ Mi’raj juga menjadi salah satu tonggak sejarah perjuangan Nabi Muhammad dalam membangun peradaban manusia, keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh umatnya. Israk mikraj juga menjadi puncak pencerahan umat manusia serta membebaskannya dari sisi gelap (dark side). Karenanya, perjalan nabi Muhammad dalam mengemban tanggung jawab terhadap ummatnya menjadi salah satu bukti bahwa Isra Mikraj merupakan perjalanan suci yang menyelamatkan manusia dari kebodohan.

Akhir-akhir ini, perayaan Isra mikraj menjadi sangat penting terutama di Indonesia. Peringatan isra’ mi’raj juga mendapatkan momentum dalam menjawab segala kontroversi yang berkelindan di dunia politik. Seperti diketahui, kata fiksi menjadi sangat populer di kalangan politisi. Penyebabnya tidak lain karena dilontarkan oleh tokoh politik yang mengatakan bahwa Indonesia berpotensi bubar pada tahun 2030. Yang menjadi kontroversi bukan masalah bubarnya. Namun rujukan ilmiahnya yang menggunakan buku fiksi.

Kata fiksi juga mencapai klimaknya ketika Rocky Gerung menyebutkan bahwa kitab suci merupakan fiksi. Pernyataan tersebut lantas mendapatkan respon dari berbagai kalangan. Ada yang menganggap bawa pernyataan tersebut menghina agama, ada juga yang merespon bahwa pernyataan tersebut biasa-biasa saja sehingga tidak perlu dilaporkan ke polisi atas dugaan penista agama.

Terlepas dari berbagai persoalan yang bergelinding akhir-akhir ini, isra’ mi’raj tentu menjadi sangat penting untuk diperingati sebagai respon politik transformasi. Tujuannya sangat jelas agar apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dapat dipetik dengan baik. Nabi Muhammad merupakan proyek percontohan dalam mengarungi kehidupan di dunia, baik dalam konteks kepemimpinan, keteladanan, kearifan, kebersahajaan, dan kinerja-kinerja politik.

Peristiwa Isra mikraj penting untuk direfleksikan dewasa ini, terutama dalam etos kepemimpinan dan daulat politik. Etos kerja para pemimpin dan wakil rakyat penting untuk memanifestasikan teologi kepemimpinan Nabi Muhammad. Perjalanan Isra’ Mi’raj menjadi urgent sebagai tonggak dari peradaban manusia yang berkeadilan. Untuk itu, peristiwa Isra’ mi’raj tidak hanya seremonial belaka tanpa ada hal yang dapat dipetik.

Isra mikraj merupakan peristiwa bersejarah yang mampu merubah sejarah keadaban manusia. Isra mikraj menjadi tuntunan bagi umat Islam sebagai spiritual yang majemuk. Sejarawan terkemuka Islam DR Muhammad Husaein Haekal (2001) menyebutkan bahwa peristiwa Isra Mikraj yang dialami Nabi Muhammad menggambarkan sebuah puncak tertinggi religiuitas dan spiritualitas. Dengan demikian, tujuan dari Isra mikraj tidak lain untuk menyelamatkan manusia dari peradaban yang sesat.

Kita tidak dapat menyangkal bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad masih sangat relevan diaplikasikan di era modern ini. Spirit keteladanan yang dibangun kerap menjadi bukti sahih bagaimana Nabi lebih mementingkan umat daripada dirinya. Sebagai contoh. Ketika beliau di Baital Maqdis, Nabi Muhammad ditawari dua gelas minuman yang berisi susu dan khamar. Beliau lebih memilih susu. Itu artinya, Nabi Muhammad tidak tergiur oleh nikmatnya khamar.

Terkait dengan peristiwa Isra Mikraj inilah, kita patut mengorelasikan dengan etos politik kebangsaan. Wajah politik di Indonesia mash terkungkung oleh tampilan yang penuh tipu muslihat, kemelut dengan tipu daya, eksotis dengan wajah yang penuh teatrikal. Nampaknya, para pemimpin kita belum mampu mempraktikkan aura politik yang hanya berorientasi kepada daulat rakyat. Politik kita menjelma menjadi binatang buas di belantara yang siap memangsa politik yang lemah.

Politik kita telah kehilangan keadaban. Politik telah mengalami degradasi moral kebangsaan, keadilan, kemaslahatan, kebersamaan, dan kesetaraan dan spirit pluralisme. Sejauh ini, kegaduhan dan kepentingan politik praktis yang tampak ke permukaan. Semangat kepemimpinan sebagaimana yang diwariskan oleh Nabi ringkih tergerus oleh banalitas kepentingan absolut. Publik yang mengasuransikan hak suaranya pada pemilihan legislatif tidak terbayar sepeserpun oleh etos kerja yang menghamba peda kepentingan publik. Tidak heran ketika Hannah Arendt selalu mengingatkan bahwa kekuasaan masyarakat hanya sebatas pemilihan umum. Setelah itu, kekuasaan berpindah tangan ke penguasa yang telah dipilihnya (Sudibyo, 2012).

Isra Mikraj tidak hanya dimaknai sebagai historikal yang mengamanatkan shalat lima waktu kepada Nabi Muhammad dan umatnya. Lebih dari itu, ada segudang pesan politik moral yang mesti diinternalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mafhum disadari bahwa Nabi Muhammad tidak hanya sebagai pemimpin Islam. Namun juga masyhur sebagai kepala negara. Sosoknya sebagai kepala negara mampu merobohkan kemungkaran dan menegakkan kebenaran dan keadilan bagi umatnya. Untuk itu, penting kiranya spirit politik Nabi Muhammad menjadi referensi guna menegakkan keadilan dalam kepemimpinan.

Pesan Mikraj dan daulat politik menjadi sebuah keniscayaan untuk diinternalisasikan. Daulat politik Mikraj menjadi kunci guna menyegerakan kedaulatan rakyat. Dengan mendahulukan kedaulatan rakyat, berarti wakil rakyat telah menerjemahkan esensi dari Isra Mikraj tersebut.

Facebook Comments