Isra’ Mi’raj dan Islam Ramah, Bukan Marah

Isra’ Mi’raj dan Islam Ramah, Bukan Marah

- in Narasi
1424
1
Isra’ Mi’raj dan Islam Ramah, Bukan Marah

Berbagai spanduk, poster, meme, dan sejenisnya tentang ucapan peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw bertebaran di mana-mana, bahkan tak hanya di dunia nyata, melainkan juga di ruang maya. Peringatan Isra’ Mi’raj pada tahun ini semakin meriah dan menggema karena berbagai kegiatan, mulai dari perlombaan sampai acara pengajian (tabligh akbar), diadakan di mana-mana; bahkan mulai dari istana negara sampai ke pelosok desa-desa.

Masyarakat Muslim Indonesia selalu antusias dan spiritualitasnya meningkat tajam ketika momen-momen peringatan hari-hari besar Islam. Fenomena semacam itu sungguh membanggakan sekaligus sebagai bukti bahwa syi’ar Islam di Indonesia sangat ramai dan tentram sehingga dapat menjadi contoh bagi negara lain.

Namun, ada hal yang lebih prinsipil yang harus diperhatikan bersama. Bahwa momentum hari-hari besar dan penting semacam itu, jangan sampai hanya sekedar euphoria beragama sesaat saja. Artinya, spririt dari momentum tersebut harus benar-benar ditangkap oleh segenap umat dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai refleksi dalam menapaki kehidupan sehari-hari.

Penulis yakin seyakin-yakinnya, bahwa setiap peringatan hari penting dalam Islam, sudah bisa dipastikan, ia menyimpan sejuta makna, hikmah dan ibrah. Semua makna, hikmah dan ibrah itu harus dikuak dan dipetik.

Dalam artikel sebelumnya telah panjang lebar dijelaskan akan makna dan spirit Isra’ Mi’raj dari berbagai sudut pandang. Kesemua artikel tersebut mencerminkan betapa Islam adalah agama yang sangat peduli terhadap aspek sosial. Ditekankan pula dalam artikel sebelumnya bahwa syariat Islam, tujuan utamanya adalah membentuk tataran kehidupan yang harmonis, menunjung tinggi akhlak (kesalehan sosial), HAM, dan perdamaian.

Perlu ditegaskan pula bahwa aspek sosial sangat penting untuk diperhatikan, mengingat manusia itu sendiri adalah makhluk sosial. Oleh sebab itu, diperlukan suatu aturan yang ‘jitu’ agar masyarakat tertib dan tidak berkonflik. Di sinilah Islam memainkan perannya. Bisa dibayangkan jika Islam alpa dalam aspek sosial, maka kehidupan yang penuh dengan kedamaian akan sulit diwujudkan dan dirasakan secara nyata oleh segenap manusia.

Dalam uraian singkat ini, penulis berusaha mengambil sudut pandang yang agak berbeda dari yang penulis sebelum-sebelumnya.

Spirit Isra’ Mi’raj: Dakwah dengan Ramah

Setelah membaca peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw, maka akan ditemukan duaw kondisi yang menimpa Nabi Muhammad sebelum terjadi Isra’ Mi’raj.

Pertama, wafatnya dua orang yang berpengaruh dalam hidup nabi dan juga paling disayangi oleh Nabi Muhammad Saw. Mereka tiada lain dan tiada bukan ialah Abu Thalib (Paman) dan Siti Khadijah (istri). Keduanya adalah diantara sedikit orang yang mendukung dakwah rasulullah pada masa awal-awal menyebarkan Islam.

Sosok Khadijah yang super istimewa itu, dinyatakan langsung oleh Nabi Muhammad. Beliau berkata: “Dia beriman kepadaku disaat orang-orang ingkar kepadaku, dia percaya kepadaku disaat orang-orang mendustakanku. Dia telah melibatkanku dalam hartanya ketika orang-orang menahan (hartanya) untukku…”.

Teruntuk Abu Thalib, loyalitasnya terhadap Nabi Muhammad tidak bisa diragukan lagi. Dalam Sirah-sirah tercatat, bahwa Abu Thalib sangat mendukung dakwah Rasullulah, sekalipun kala itu keras oleh kaum kafr Quraish mengancam akan membunuh Rasulullah jika tetap berdakwah. Najmuddin dalam Keagungan Isra’ Mi’raj (2012) merangkan bahwa loyalitas Abu Thalib kepada Rasulullah bisa dilihat melalui syair gubahan Abu Thalib, sebagai berikut:

Demi Allah, mereka dan komplotannya tidak akan bisa menyentuhmu (Muhammad)

Sampai aku terbuju kaku terkubur di tanah

Lanjutkan perjuanganmu, Engkau tak melakukan sesuatu yang hina

Berbahagia dan tentramkanlah hatimu.

Tidak hanya omdo, Abu Thalib benar-benar membuktikan akan komitmennya tersebut. Sehingga, ia tercatat sebagai orang yang hingga akhir hayatnya selalu membela dakwah Rasulullah.

Kedua, kaum kafir Quraish kian garang (marah). Sebagaimana diketahui bahwa posisi paman Nabi (Abu Thalib) di mata orang jafir Quraish sangat ditakuti. Sehingga, semasa Abu Thalib masih hidup, kaum Quraish tidak begitu bisa berbuat banyak terhadap Nabi. Namun kondisi berbeda setelah sepeninggalan Abu Thalib. Kelompok kafir Quraish semakin garan dan terus mengancam nyawa Nabi Muhammad Saw.

Dalam kondisi inilah, dakwah Rasulullah di kota Makkah selalu diwarwai dengan ancaman dan bahkan siksaan dari kaum kafir Qiraish. Namun, Nabi Muhammad menunjukkan keteladannya kepada umatnya bahwa kemarahan tidak harus selalu dibalas dengan kemarah.

Pada tahun disebut sebagai tahun kesedihan. Sehingga, Allah meng-Isra’-mi’raj-kan Nabi Muhammad, memperjalankan beliau dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, lalu menuju sidratul muntaha untuk bertemu langsung dengan Allah Swt.

Dari sini dapat kita petik suatu hikmah mendalam bahwa sejatinya dibalik rentetan Isra’ Mi’raj terdapat pelajaran berharga, yakni Islam yang dipraktikkan Nabi Muhammad itu ramah dan oleh sebab itu harus disebarkan secara ramah pula, bukan sedikit-dikit marah.

Bisa jadi, ketika Rasulullah mendapatkan perlakukan kasar dari kaum kafir Quraish itu dibalas dengan kekerasan pula, Islam tidak akan sebesar sekarang ini.

Dalam konteks lain tetapi masih dalam hal dakwah dengan cara ramah, Al-Qur’an memberikan petunjuka agar kita (para da’i) berbicara dengan lemah lembut sekalipun yang diajak bicara adalah orang/penguasa dusta nan keras. Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya: Maka bicaralah kamu berdua kepada (fir’aun) dengan kata-kata lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Thâha, 44).

Al-Maraghi dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan tuntunan kepada Nabi Musa As. Ketika menghadapi Fir’aun. Allah mengajarkan kepadanya agar menggunakan cara yang elegan, yakni berkata lemah lembut dihadapan Fir’aun dengan harapan, agar hati Fir’aun tersentuh sehingga dia dapat mengagumi Islam dan menerima dakwah Nabi Musa dengan baik.

Cara-cara inilah yang harus ditempuh oleh segenap umat Islam, terutama para da’i dan khatib. Tidaklah elok mengumbar kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda pandangan, sehingga dapat berpotensi besar mengacauakan rasa persaudaraan yang telah lama dibangun.

Jadi, Isra’ Mi’raj harus ditafsirkan secara kontekstual-kreatif agar bermakna bagi hidup kita sekarang ini. Filsuf Muslim, M. Iqbal, dengan apik mengatakan bahwa pengalaman Mi’raj yang indan nan imajinatif itu lebih sebagai tanggungjawab sosial kemanusiaan (urusan bumi), bukan urusan langit. Persoalan sosial kemanusiaan dewasa ini adalah maraknya dakwah provokatif sehingga mencoreng Islam yang ramah.

Facebook Comments