Isra’ Mir’raj, Ulama dan Eksistensi NKRI

Isra’ Mir’raj, Ulama dan Eksistensi NKRI

- in Narasi
1617
1
Isra’ Mir’raj, Ulama dan Eksistensi NKRI

Mari kita tanya dalam hati kita, apakah kita ini berjuang untuk suatu kepentingan yang besar yaitu, kedamaian dan keutuhan NKRI?” (KH. Abdurrahman Wahid).

Pernyataan Gu Dur di atas layak direnungkan oleh segenap bangsa Indonesia secara keseluruhan. Terlebih pada kondisi saat ini, dimana ruang sosial, baik di dunia nyata maupun nyata, semakin dipenuhi oleh ujaran kebencian; saling memfitnah pihak lawan dan lain sejenisnya. Jelas bahwa ujaran kebencian, berita palsu, fitnah dan kawan-kawannya itu berpotensi menimbulkan kegaduhan yang puncaknya dapat mengancam eksistensi NKRI.

Meredam persoalan ujaran kebencian tidak cukup hanya dilimpahkan pada pemerintah, namun diperlukan sinergi para ulama. Apalagi ujaran kebencian dewasa ini ditengarai lebih banyak menyangkut perihal agama dan politik. Ini sangat logis mengingat tahun ini dan tahun depan adalah tahun politik (pilkada dan Pilpres). Sehingga, narasi-narasi politik yang “dibumbui” dengan agama.

Kita tentu sepakat bahwa agama dan politik tidak dapat dipisahkan. Namun yang menjadi persoalan adalah, ketika agama dijadikan sebagai “komoditas” politik untuk memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu saja dengan cara menghalalkan segala cara. Melalui dakwah provokatif di mimbar-mimbar ibadah, misalnya. Padahal, Allah sudah tegas berfirman: “Janganlah kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa..”(QS. al-Baqarah: 41).

Pembela atau Perusak?

Banyak kalangan menegaskan bahwa untuk menghancurkan lalu menguasai Indonesia, cukup dengan mengadu-domba masyarakatnya. Sejarah mencatat, Belanda menjajah Indonesia berkat menggunakan sistem politik adu domba (devide et impera). Politik macam ini sukses memecah-belah masyarakat Nusantara dan mengantarkan Belanda menguasasi seluruh kekayaan Nusantara selama ratusan tahun lamanya.

Sudah berkali-kali diingatkan, bahkan dalam bentuk tulisan seperti ini, bahwa sejarah panjang Indonesia dengan tegas menggoreskan bahwa umat Islam dan ulama adalah garda terdepan penjaga NKRI. Namun sayang seribu kali sayang, “penjajah” di dera sekarang ini justru dari kalangan rakyat Indonesia sendiri. Persis yang dikatakan oleh median Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Hampir semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara ada actor “penjajahnya” masing-masing. Bidang politik yang namanya bandit; bidang ekonomi ada yang namanya mafia dan lain sebagainya. Bahkan yang mencengangkan, bidang agama, yang digadang-gadang sebagai benteng moral bangsa ini, tak luput dari “mafia”.

Hal itu bisa dilihat dari beberapa hal. Pertama, membela agama, tapi tidak sesuai dengan spirit agama itu sendiri. Barangkali diantara kita ada yang tergetuk pintu hatinya karena digerakkan oleh sekelompok yang berkoar-koar membela agama. Benar. Lalu terciptalah suatu gerakan membela agama. Awalnya memang sih sakral, namun semakin ke sini, semakin menunjukkan bahwa semua itu mengarah pada kepentingan pragmatis kelompok tertentu saja.

Bayangkan saja, bergerak atas dasar agama, namun meng-kafirkan orang yang sama-sama mengucap syadat dan menunaikan shalat. Sekali lagi, hanya karena beda pandangan dalam aspek tertentu saja. Fanatismenya terlalu menguat.

Imam Az-Zuhri, ulama dikenal sebagai salah seorang pionir dalam penulisan hadis-hadis Nabi, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, pada suatu ketika ditanya oleh orang tentang fanatisme. Beliau menjawab: “Ia adalah yang memandang orang-orang (lain) buruk dan kelompoknya lebih baik ketimbang orang-orang baik dan kelompok lain.”

Kedua, selalu mencari borok pemerintah. Ulama wajib mengkritik umara, apabila umara melenceng dari tugas dan tanggung jawabnya untuk mengelola negara. Namun, kritik yang membangun, bukan mencari boroknya. Namun, lagi-lagi, ada kelompok yang gemar melakukan kritik untuk pemerintah secara membabi buta. Tujuannya sangat mudah ditebak, yakni membentuk opini publik, bahwa pemerintah telah gagal, sehingga rakyat un-trush (tidak percaya).

Jika situasi ini terjadi, maka negara gampang dibubarkan karena akan terjadi chaos– dimana-mana. Jika sudah chaos, bisa dengan mudah mendirikan sistem yang diinginkan kelompok ini. Lagi-lagi, diduga keras bahwa cara seperti ini konon dimotori oleh para ulama.

Ketiga, menciptakan kondisi bahwa umara tidak pro dengan ulama. Umat siapa yang tidak marah ketika pemimpin dan panutannya dikriminalisasi oleh negara? Secara pribadi, penulis pernah dalam kondisi seperti ini, yakni seolah-olah pemerintah tidak pro pada ulama. Atau, ulama disakiti bak rezim orde baru. Atau, peristiwa peristiwa Banyuwangi akan terjadi lagi.

Kondisi-kondisi inilah yang sengaja diciptakan oleh kelompok, yang di dalamnya “menjual” ulama sebagai “brand” untuk meyakinkan umat. Tentu, fenomena semacam ini tidak boleh didiamkan begitu saja. Artinya, harus ada kontranarasi, atau pelurusan sehingga rakyat tidak terkecoh atas apa yang mereka katakan dan lakukan.

Indonesia berdiri di bawah tengkorak para ulama dan umat Islam. Darah para syuhada menjadi pintu gerbang terwujudnya Indonesia merdeka. Dalam bingkai ini, sudah tidak ada alasan lagi bahwa umat Islam dan ulama untuk menjadi penjaga eksistensi NKRI. Melibas segala bentuk serangan yang dapat mengancam eksistensi NKRI, merupakan bagian dari kewajiban ulama dan umat Islam secara keseluruhan. Inilah tafsir kontekstual peristiwa Isra’ Mi’raj dalam bingkai keindonesiaan dan keislaman.

Facebook Comments