Jangan Asal Sebar Hoaks, Ini Ancamannya Menurut Al-Quran

Jangan Asal Sebar Hoaks, Ini Ancamannya Menurut Al-Quran

- in Keagamaan
332
0
KpcVjuGJ32ADRGdecbgExump

Tidak hanya sekarang, fenomena hoaks atau berita bohong telah terjadi sejak dulu. Di masa Nabi tercatat dua nama penyebar hoaks, yaitu Abdullah Ibnu Ubay Ibnu Salul dan Walid Ibnu Uqbah.

Bedanya, dulu berita bohong atau hoaks jarang terjadi dan pelakunya terbilang sedikit. Sekarang, kehadiran informasi bohong tak henti-hentinya bermunculan di berbagai media. Informasi yang beredar seringkali berisi tentang kabar yang tidak benar, tidak valid dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Yang mendasari perbedaan itu, kalau pada masa sahabat tingkat kewaspadaan, kekritisan dan ketelitian mereka sangat tinggi. Kesadaran akan pengamalan nilai-nilai ajaran agama mendarah daging. Mereka sadar bahwa agama mengajarkan untuk tidak percaya begitu saja terhadap sebuah informasi. Terutama informasi yang sangat krusial menyangkut kehormatan orang lain. Itulah kenapa pada masa itu hoaks tidak semasif saat ini.

Generasi sekarang sebaliknya. Pemahaman teks agama lemah dan tingkat kesadaran untuk beragama secara baik juga lemah, sehingga tidak memiliki nalar kritis menilai suatu informasi. Banyak orang tidak berpikir panjang dampak negatif membuat dan menyebar berita hoaks. Juga, tidak berpikir bahwa membuat dan menyebar berita bohong memiliki sanksi hukum dalam agama.

Dalam al Qur’an “Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar karena pembicaraan kamu (tentang berita bohong) itu”. (QS. al Nur (24): 14).

Dalam Tafsir Jalalain karya Syaikh Jalaluddin al Suyuthi dan Syaikh Jalaluddin al Mahalli dijelaskan, ayat di atas merupakan peringatan tegas terhadap pelaku dan penyebar berita bohong. Baik di dunia maupun di akhirat akan ditimpakan azab pedih. Kalau di dunia tidak disiksa hal itu semata karena karunia dan rahmat Tuhan, tapi di akhir azab pedih itu pasti terjadi.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, orang-orang yang larut dalam berita bohong terpilah menjadi dua, sebagian ada yang diampuni karena mereka bertaubat dan karena keimanan mereka terhadap hari pembalasan. Namun sebagian yang lain tidak mendapatkan pengampunan dari Allah sebab mereka munafik, tidak memiliki iman dan amal saleh.

Mereka yang diampuni setelah bertaubat antara lain Misthah, Hassan dan Hamnah binti Jahsyi dan saudara perempuan Zainab binti Jahsyi. Mulanya, mereka semua percaya terhadap berita bohong yang disebarkan oleh Abdullah Ibnu Ubay Ibnu Salul bahwa Siti Aisyah telah menjalin hubungan gelap dengan Shafwan ibnu al Mu’aththilah.

Sementara pembuat dan penyebar berita bohong dari kelompok orang munafik tidak diampuni. Mereka adalah Abdullah Ibnu Ubay Ibnu Salul dan kawan-kawannya karena tidak memiliki iman dan amal shaleh yang mampu mengimbangi atau menutupi kesalahan tersebut.

Peringatan Allah berikutnya, “Ingatlah diwaktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya sesuatu yang ringan saja. Padahal, dia pada sisi Allah adalah besar”. (QS. al Nur (24): 15).

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa penyebaran dan perluasan informasi yang belum diketahui secara pasti kebenarannya adalah dilarang, dan menurut ayat di atas dosanya sangat besar. Ayat di atas juga mengingatkan, menyebarkan berita atau informasi yang belum diketahui secara persis akurasi kebenarannya dapat menyengsarakan orang lain.

Telah dimaklum, melakukan kezaliman kepada orang lain merupakan perbuatan terlarang, dosa akibat perbuatan tersebut tidak akan diampuni oleh Allah sebelum pelaku atau penyebar meminta maaf dan dimaafkan oleh korban.

Nabi mengingatkan: “Sesungguhnya seseorang mengucapkan sebuah kalimat yang mendatangkan kemarahan Allah sedang ia tidak menyadari akibatnya, sehingga menyebabkan ia tersungkur ke dalam api neraka lebih jauh dari pada jarak antara langit dan bumi “. (HR. Bukhari dan Muslim)

Quraisy Shihab dalam al Misbah menjelaskan, jangan menganggap remeh menyebarkan informasi yang belum diketahui kebenarannya, sebab hal itu merupakan dosa besar yang pasti akan dibalas dengan hukuman yang berat pula.

Tafsir tentang fenomena hoaks ini mengajak kita untuk sadar akan dosa yang dilakukan selama ini. Di media sosial, kita seringkali menganggap sepele “membagi, share, like dan komen” terhadap berita yang belum diketahui secara pasti kebenarannya. Padahal merupakan kesalahan dan berujung dosa yang harus dipertanggungjawabkan kelak.

Al Qur’an tegas melarang hal tersebut beserta ancaman hukuman yang berat karena penyebaran berita bohong akan berakibat merugikan masyarakat, memecah belah publik, memprovokasi atau memfitnah publik, adu domba dan menciptakan permusuhan dan ketakutan.

Hoaks menjadi dosa “jariyah” karena bisa menyebabkan orang lain membuat kesimpulan-kesimpulan yang salah, dan begitu seterusnya. Kesalahan itu menjalar tanpa ujung. Itulah dosa jariyah, dosa yang berkembang biak.

Penyebaran hoaks atau berita bohong tidak hanya membawa dampak negatif terhadap perorangan atau kelompok, tetapi juga menjadi masalah serius kebangsaan. Karena hoaks kebencian antar sesama akan subur, menciptakan konflik, permusuhan dan perpecahan.

Sebagai orang yang mengimani al Qur’an sebagai kitab suci, tentu tidak akan melakukan perbuatan hina hoaks. Tanpa pikir panjang dan dengan enteng menyebarkan suatu informasi yang diterima. Harus selektif, kritis dan teliti menyikapi suatu informasi. Sebab, kalau kita terbawa arus penyebaran hoaks maka otomatis kita ikut menanam saham kesalahan yang diancam oleh dua ayat al Qur’an di atas.

Karenanya, “berpikirlah sebelum berbuat”. Itu kata pepatah Arab. Jika selama ini larut akan kelalaian, menganggap bahwa melahap dan menyebar berita bohong atau hoaks perkara sepele belaka, sudah waktunya mengingat titah Allah dalam surat al Nur ayat 14-15 di atas.

Facebook Comments