Masjid memang menjadi magnet bagi umat muslim. Selain menjadi tempat ibadah ritual, masjid juga seringkali dijadikan tempat ibadah sosial masyarakat. Seperti kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan, pendidikan, kebudayaan, dan kegiatan yang lainnya. Intinya masjid menjadi tempat yang strategis tercipta dan berlangsungnya kegiatan-kegiatan penting umat Islam.
Akhir-akhir ini justru masjid dijadikan ladang politik praktis. Sudah terbukti banyak sekali pihak-pihak yang memanfaatkan masjid untuk kegiatan yang berbau politis. Mempolitisasi masjid untuk kepentingan pribadi dan golongan. Padahal jamaah masjid biasanya terdiri dari berbagai latar belakang dan golongan. Selain itu, orang pergi ke masjid karena ingin mendapat ketenangan. Kalau masjid yang seharusnya yang menjadi tempat peraduan dan ketenagan umat Islam dipolitisasi, lalu ke manakah umat ini berlabuh?
Sumanto Al-Qurtuby, seorang antroplog dari King Fahd University of Petroleum dan Minerals Arab Saudi berpendapat bila tidak masalah membicarakan masalah kepolitikan di masjid. Tetapi menjadi masalah kalau masjid dipolitisir atau dipolitisasi sedemikian rupa untuk kepentingan politik praktis–kekuasaan dan menjadikan masjid sebagai alat untuk menyebarkan berbagai hoaks, agitasi, fitnah, kampanye, dan propaganda hitam untuk menjatuhkan lawan politik (meskipun sesama Muslim) dan memecah-belah masyarakat dan umat Islam.
Memonopoli masjid untuk kepentingan politik praktis akan menyebabkan perpecahan di masyarakat. Karena biasanya dalam politik jalan apa saja dipergunakan demi kepentingan tercapai. Termasuk cara-cara yang kotor yang justru bertentangan dengan agama Islam sendiri. Karena rumus dalam politik adalah kepentingan yang menjadi panglima.
Contoh mudahnya di media sosial. Karena mudahnya berekspresi serta kebebasan di media sosial, orang berlaku semaunya sendiri. Termasuk juga dalam menjalankan agenda politik. Pasti kita tidak jarang menemui agenda-agenda politik, baik itu dengan provokasi, agitasi, propaganda, melakukan fitnah hanya untuk membela kepentingan politiknya. Bahkan banyak juga yang memanfaatkan isu-isu SARA yang seharusnya tidak layak dikonsumsi masyarakat.
Dampak yang diakibatkan sangat membahayakan. Karena agenda politik (apalagi yang memakai black campaign) dapat menyebabkan perpecahan, perselisihan, ketidakpercayaan sosial, kemarahan, kerusuhan, dan hal negatif lainnya yang berujung pada kehancuran. Apalagi dalam dunia maya orang bebas berekspresi tanpa pikir panjang. Padahal dunia maya dihuni tidak hanya oleh orang dewasa dan berpendidikan. Tetapi juga oleh remaja dan anak-anak dari berbagai latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya yang berbeda. Tentu secara luas ini membahayakan kesatuan dan persautuan NKRI.
Oleh sebab itu membiarkan suatu kelompok atau golongan untuk melakukan politisasi di masjid sangat berbahaya. Bahkan lebih berbahaya daripada di dunia maya. Apalagi masjid mempunyai legitimasi kultural di mata masyarakat. Kebanyakan dari masyarakat kita beranggapan bila masjid adalah tempat sakral. Dan apapun yang terkait dengan masjid masyarakat mempercayai, pasti mempunyai impact yang positif. Tentu membiarkan agenda politik praktis di masjid berbahaya bagi kelangsungan bangsa dan negara.
Lawan Gerakan Esktrimis Radikalis
Sumanto juga menghimbau masyarakat untuk menjaga situasi kondusif di masyarakat yang majemuk. Masjid memang sebaiknya jangan digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik praktis. Bukan hanya itu saja, masjid idealnya juga jangan dipakai sebagai medium untuk menyebarkan intoleransi dan kebencian terhadap kelompok lain apalagi terhadap sesama umat Islam itu sendiri.
Terkait penyebaran intoleransi, kebencian dan radikalisme akhir-akhir ini masjid juga menjadi cerobong gerakan tersebut. Di berbagai daerah masjid dimanfaatkan untuk media dakwah oleh agen-agen gerakan Islam garis keras. Lalu bagaimana mungkin para agen gerakan garis keras memanfaatkan masjid bagi agenda mereka sedangkan masjid di Indonesia rata-rata sudah ada pengurus takmirnya, dan pengurus takmirnya direkrut tidak sembarangan oleh masyarakat?
Agen-agen garis keras ini bergerak secara terorganisir dan salah satu agenda gerakannya menginfiltrasi atau menyusupi masjid dengan ideologi mereka. Pertama-tama mereka melakukan pendekatan lewat pengurus ketakmiran masjid hingga akhirnya direkrut jadi pengurus takmir. Maka jangan heran bila sekarang banyak masjid yang jadi eksklusif. Menjauh dari masyarakat. Dan banyak kita dengar khutbah-khutbah Jumat dan pengajiannya isinya kebencian, intoleran dan radikalisme.
Tidak ada jalan lain bagi kita selain mengambil alih kembali masjid-masjid yang sudah disusupi agen radikalisme dan ekstrimisme. Serta kita counter attack wacana-wacana yang mereka bangun. Jangan hanya diam, karena diam akan mengakibatkan kita tenggelam dalam agenda radikalis dan ekstrimis yang mereka gelorakan. Dan masyarakat akan menganggap paham radikalis dan ekstrimislah yang benar karena tiada yang menyanggah apalagi melawan.